
Dalam Pandangan Asas dan Dasar menurut
Latihan Rohani Santo Ignatius
Dalam tradisi Jawa ada ungkapan “urip iku mung mampir ngombe” yang berarti hidup ini hanya mampir minum. Ungkapan tersebut mau mengatakan bahwa hidup ini hanya sebentar dan sementara karena tentu orang yang mampir untuk minum tentu tidak akan berlama-lama. Dari ungkapan tersebut seakan-akan manusia diajak untuk bertanya kepada dirinya sendiri: sebenarnya apakah tujuan hidupku di dunia ini? Bagaimana aku harus mengisi hidup yang sementara ini? Dan, bagaimana aku memaknai hidup ini?
Disisi lain, ungkapan atau istilah urip mung mampir ngombe bisa menimbulkan kesalahpahaman. Kesalahpahaman itu bisa muncul karena seakan-akan orang Jawa berpandangan bahwa hidup ini tidaklah terlalu berarti, sehingga bisa disepelekan. Padahal, istilah atau ungkapan tersebut sebenarnya mengandung pokok pikiran Jawa yang dalam mengenai ngelmu sangkan-paran atau ilmu asal dan tujuan hidup manusia. Dan yang perlu dipahami ialah bahwa dalam ilmu tersebut sesungguhnya tidak pernah memandang sepele kehidupan di dunia ini serta segala masalah-masalahnya.
Kesalahpahaman tentang urip mung mampir ngombe bisa diluruskan dengan mencermati tembang Dandhanggula yang merupakan sumber ungkapan atau istilah tersebut berasal:
Kawruhana sejatining urip pahamilah makna sejati hidup ini
Urip ana jroning alam ndonya hidup di dalam dunia ini
Bebasane mampir ngombe ibaratnya mampir minum
Umpama manuk mabur laksana burung terbang
Lunga saka kurungan neki pergi dari sarang
Pundi pencokan mbenjang hati-hati jangan sampai kesasar
Ywa konsi kaleru andaikan orang bertandang
Umpama lunga sesanja bertamu kemanapun
Njan sinanjan ora wurung bakal mulih akhirnya juga pulang
Mulih mula-mulanya kembali ke asal muasalnya sendiri
Dalam baris ketiga yang berisi delapan suku kata tersebut tidak ada kata mung, yang berarti “hanya” atau “sekadar”. Penambahan kata mung itu terjadi mungkin karena orang terpeleset dalam membunyikan tembang, sambil berusaha menepati aturan jumlah kata yang harus ada delapan dalam baris ketiga. Akibatnya, akhiran ne pada kata bebasane dihilangkan dan dan untuk gantinya ditambahkan kata mung. Penambahan ini memang kelihatannya sepele dan tidak memiliki makna, padahal justru disana akar salah tafsir tentang hidup iki mampir ngombe. Karena penambahan itu kalimat menjadi (urip iki) bebasane mung mampir ngombe, yang kemudian bisa ditafsirkan bahwa hidup ini seakan sekadar mampir minum belaka, karena itu hidup ini juga tidak terlalu berarti. Ini jelas berlawanan dengan maksud kalimat yang asli, apalagi kalau dilihat dari maksud seluruh tembang. Kekeliruan tersebut memang tidak banyak diketahui, sehingga mungkin banyak orang Jawa memahami bahwa hidup ini benar-benar “hanya” untuk mampir minum. Jika demikian, koreksi diatas kiranya menggugah orang untuk menafsirkan kembali paham hidup orang Jawa tersebut secara baru.
Tiga unsur ngelmu sangkan paran
Ungkapan urip mampir ngombe kiranya harus dijelaskan dari ngelmu sangkan paran (ilmu asal dan tujuan hidup manusia). Ilmu sangkan paran dipahami sebagai ilmu yang hanya membicarakan dua unsur ini, yakni urip iki saka sapa (asalnya dari mana), dan urip iki pungkasane piye (tujuannya ke mana). Sesungguhnya masih ada satu unsur penting di antara kedua unsur tersebut, yakni urip iki arep ngapa (hidup ini mau apa). Yang terakhir ini adalah unsur yang mengenai hidup di dunia ini. Jadi unsur sangkan paran adalah : pertama, asal hidup manusia ; kedua, hidup di dunia ini ; dan ketiga, tujuan hidup manusia. Yang pertama, berkenaan dengan kesadaran bahwa manusia berasal dari Tuhan. Yang ketiga, berkenaan dengan kepulangan manusia ke Tuhan. Yang kedua, berkenaan dengan tugas, kewajiban dan lakon hidup manusia di dunia ini. Tanpa yang kedua, yang pertama dan ketiga tidak mempunya arti apa-apa. Maksudnya, tak mungkin Tuhan menciptakan manusia dan kemudian menarik manusia lagi kepadaNya jika Tuhan tidak mempunyai maksud apa-apa dengan manusia tersebut selama ia hidup di dunia. Jadi Tuhan menghendaki agar manusia ini benar-benar urip (hidup), tidak sekadar urip-uripan (hidup-hidupan). Makudnya, agar manusia memandang dengan serius hidupnya di dunia ini. Urip mampir ngombe adalah hal yang berkenaan dengan unsur yang kedua itu.
Mau apa manusia hidup di dunia? Ia hidup di dunia bukan untuk bisa langsung ke surga, melainkan untuk menjalankan tugasnya di dunia sesuai dengan kodratnya. Kalau ia tidak menjalankan tugasnya di dunia, bagaimana mungkin ia bisa sampai ke surga? Dan yang patut diingat bahwa semua tugas tersebut harus dijalankan dengan sebaik-baiknya menurut pakem (aturan dan kebiasaan). Jadi jangan hanya menuntut semuanya pada ‘Sang Dalang’ saja.
Bisa disimpulkan bahwa hidup manusia itu begitu penting. Disini, manusia menjadi utusan ilahi dengan menjalankan tugasnya sebagai ibadah. Sebelum berpikir tentang surga, manusia harus menjalankan apa yang umum dijalankan manusia di dunia. Kalau yang umum itu dilupakan, manusia menjadi aneh; ia seperti bukan manusia. Jadi kalau manusia hanya memikirkan surga, ia juga ‘melanggar’ apa yang umum itu, dan menjadi aneh.
Meminum kagagalan hidup
Di dunia ini manusia harus belajar untuk ngombe (minum). Ngombe di sini tidak hanya berarti ngombe toya (minum air), melainkan juga ngombe rasa, ngombe ngelmu, ngombe pangerten, dan ngombe lelakon. Dengan ngombe rasa, manusia memperdalam hati dan perasaannya. Dengan ngombe ngelmu, manusia memperdalam kebatinannya. Dengan ngombe pangerten, manusia memperkaya budinya. Dengan ngombe lelakon, manusia menyempurnakan panggilan hidupnya. Dengan ngombe semuanya itu, urip tidak sekadar menjadi urip-uripan thok (hidup-hidupan saja), tetapi urip (hidup) benar-benar.
Khusus mengenai ngombe lelakon, orang patut memberi perhatian serius. Harus diakui , manusia mau menerima hidupnya jika hidupnya lurus, benar, dan baik. Padahal, yang terjadi justru sebaliknya. Manusialah yang sering tersesat, kesasar, dan keliru. Dan, manusia tidak mau menerima hidupnya yang demikian itu, termasuk keadaan yang ada di sekelilingnya. Ia tidak mau ngombe lelakon-nya. Artinya, ia tidak mau meminum lelakon kegagalannya. Bila demikian, manusia gagal menjadi manusia yang ganep (lengkap). Maka untuk ganepe urip (hidup yang lengkap), manusia harus berani menerima kegagalannya. Sering justru dengan minum kegagalannya itu, manusia bisa ngganepi dirinya sebagai manusia.
Jadi sebenarnya urip mampir ngombe itu mempunyai pesan: ngombe ya ngombe ning ora waton ngombe (minum ya minum, tapi jangan asal minum). Atau dengan kata lain urip itu memang mampir minum tetapi tidak asal minum. Nilai yang lain ialah sopo ngombe mesti nguyuh (siapa minum mesti kencing). Artinya, manusia juga harus berani membuang lagi apa yang telah diminumnya. Jelasnya, manusia harus berani membagikan harta-milik kepada sesama, karena pada prinsipnya semua berasal dari sesama. Kalau orang tidak mau berbagi tetapi hanya mau mencari, teru minum sampai kenyang, perutnya tidak bakal kuat menampung.
Jangan kesurga-surgaan
Dilihat sampai di sini, urip mampir ngombe itu sebenarnya adalah pegangan hidup yang menghormati dunia. Malahan, istilah urip mampir ngombe itu adalah kritik bagi pandangan yang kesurga-surgaan. Urip mampir ngombe itu mengingatkan bahwa manusia itu tidak hanya lahir dan mati, tetapi juga hidup. Sementara surga (atau neraka) belumlah jelas, hidup itu sendiri sudah sangat jelas manusia miliki. Maka sebaiknya manusia berpegangan pada apa yang jelas itu, yakni hidup di sunia ini, bukan hidup di dunia nanti.
Maka kurang tepat bila manusia hidup hanya berpikir tentang surga. Surga memang layak dan jelas menjadi sebuah cita-cita. Tetapi patut di ingat bahwa jalan ke sana adalah hidup ini sendiri. Jadi sebelum berpikir tentang surga, lebih baik mengolah manusianya terlebih dahulu. Maka, tidaklah tepat bila dalam berdoa, manusia hanya nyuwun swarga (meminta surga). Permintaan demikian kiranya keliru, karena permintaan itu terlalu ngangsa (memaksa-maksa). Dan permintaan itu kebangeten anggone njagakke (keterlaluan dalam mengharap). Yang perlu diminta sesungguhnya adalah rasa menyerah dan pasrah kepada Tuhan. Yang perlu diperhatikan ialah bahwa Allah Mahatahu, karena itu Dia juga paling tahu tentang apa yang kita tidak tahu tetapi kita butuhkan. Maka, penghormatan kepada Tuhan hanya dapat ditunjukkan ketika manusia hidup dalam dunia ini, di tengah-tengah berbagai soal-permasalahan hidup.
Urip mampir ngombe memang lebih berkenaan dengan ikhwal hidup di dunia ini. Tetapi patut diingat bahwa itu hanyalah salahsatu unsur dari ngelmu sangkan paran. Unsur lain dalam sangkan paran, yaitu: manusia masih harus pulang ke rumahnya yang sejati. Artinya, hidup ini bukanlah rumah yang abadi. Manusia masih harus berjalan menuju tujuan yang sejati. Jadi kendati manusia sungguh mencintai dunia, dia harus berani meninggalkannya agar sampai ke tempat yang melebihi dunia ini.
Sulit meninggalkan hidup di dunia ini. Berpisah dari hidup berarti meninggalkan pangkat, derajat dan harta. Itu semua tentu tidak mudah bagi manusia. Terlebih yang juga cukup berat adalah medhot katresnan, yaitu berpisah dari orang-orang yang dicintai. Jika pada saatnya nanti manusia berani meninggalkan dunia ini dengan ikhlas, manusia mengalami benar kesejatian dan kepastian, bahwa sungguh urip iki mampir ngombe.
Asas dan Dasar
Menarik sekali mengetahui sekelumit hal mengenai ngelmu sangkan paran. Sebagai seorang Yesuit, saya merasakan adanya unsur-unsur yang sejajar antara Latihan Rohani Santo Ignatius sebagai pondasi rohani saya dengan ngelmu sangkan paran sebagai sebuah buah renungan kebudayaan Jawa, meskipun tidak mutlak sama. Ada beberapa poin yang menjadi simpul-simpul penting dalam ngelmu sangkan paran yang kiranya juga terdapat dalam Latihan Rohani Santo Ignatius.
Berbicara mengenai Latihan Rohani, pertama-tama, yang merupakan dasar dari keseluruhan Latihan Rohani adalah Asas dan Dasar atau yang biasa disebut dengan Fundamentum, yang terdapat pada Latihan Rohani nomer 23. Beginilah bunyinya:
Manusia diciptakan untuk memuji, menghormati, serta mengabdi Allah Tuhan kita, dan dengan itu menyelamatkan jiwanya. Ciptaan lain di atas permukaan bumi diciptakan bagi manusia, untuk menolongnya dalam mengejar tujuan ia diciptakan. Karena itu manusia harus mempergunakannya, sejauh itu menolong untuk mencapai tujuan tadi, dan harus melepaskan diri dari barang-barang tersebut, sejauh itu merintangi dirinya. Oleh karena itu, kita perlu mengambil sikap lepas bebas terhadap segala ciptaan tersebut, sejauh pilihan merdeka ada pada pihak kita dan tak ada larangan. Maka dari itu dari pihak kita, kita tidak memilih kesehatan lebih daripada sakit, kekayaan lebih daripada kemiskinan, kehormatan lebih daripada penghinaan, hidup panjang lebih daripada hidup pendek. Begitu seterusnya mengenai hal-hal lain yang kita inginkan dan yang kita pilih ialah melulu apa yang lebih membawa ke tujuan kita diciptakan.
Disini, pertama-tama yang menjadi pengertian kunci dari Asas dan dasar tersebut ialah tentang penciptaan. Penciptaan bukan berarti bahwa Tuhan menciptakan semuanya sekali jadi. Juga bukan berarti awal atau titik berangkat bagi segala sesuatu untuk menjadi. Tetapi penciptaan itu berarti bahwa Tuhan terus-menerus dan setiap saat menciptakan segala sesuatu, termasuk manusia secara khusus. Seperti baris pertama Dandhanggula yang berbunyi kawruhana sejatining urip atau pahamilah makna sejati hidup ini, kesejatian itu kiranya dapat dipahami bila manusia tahu siapa sebenarnya dirinya; hakekat dirinya dan mengetahui untuk apa dia berada di dunia ini.
Asas dan Dasar menggariskan tujuan dan tugas hidup manusia dalam kalimat ini: manusia diciptakan untuk memuji, menghormati, serta mengabdi Allah Tuhan kita, dan dengan demikian menyelamatkan jiwanya. Memuji, menghormati, dan mengabdi Tuhan, itulah tujuan dan tugas manusia. Ketiga hal itu hanya bisa terjadi dalam tindakan, tidak dalam omongan. Malah tidak hanya dalam tindakan, ketiganya juga harus terjadi dalam diri manusia itu sendiri. Manusia menjadi manusia sesuai dengan tujuan ia diciptakan, begitu dirinya sendiri menjadi pujian, penghormatan dan pengabdian kepada Tuhan. Maka pujian, penghormatan dan pengabdian kepada Tuhan bukanlah sesuatu yang ditempelkan di luar, tetapi merupakan inti dan hakekat terdalam dari keberadaan manusia itu sendiri. Ngombe tidak sekadar ngombe, tetapi ngombe yang memiliki tujuan karena memang kebutuhan diri dan juga karena ada sesuatu yang hendak dicapai.
Justru karena memuji, manghormati, dan mengabdi Tuhan merupakan bagian terdalam dari hakekat manusia sendiri, maka ketiganya tidak bertentangan dengan kebebasan manusia. Manusia tidak hanya dengan bebas menerima dan melakukan ketiganya, tetapi juga dengan menerima dan melakukan ketiganya manusia merealisasikan kebebasannya. Karena, pada saat manusia melakukan ketiga hal itu, manusia kembali kepada dirinya, menjadi dirinya, sesuai dengan tujuan dia diciptakan, dan dengan demikian Tuhan sendirilah yang sekarang datang kepadanya.
Dunia di mana manusia berdiam ini diciptakan oleh Tuhan, dan itu berarti dunia merupakan anugerah dari Tuhan sendiri bagi manusia. Dunia bagi manusia berarti sungguh berarti karena manusia berada di dalamnya. Tanpa manusia dunia itu tidak berarti. Maka, jika manusia dapat menggunakannya untuk membantu dirinya meraih tujuan dia diciptakan, itu bukan demi egoisme pribadinya, tetapi demi “menyembah, menghormati, dan mengabdi Penciptanya”.
Kalimat berikutnya dalam Asas dan Dasar ialah “Ciptaan lain di atas permukaan bumi diciptakan bagi manusia, untuk menolongnya dalam mengejar tujuan ia diciptakan”. Yang dimaksud sebagai barang lain ialah dunia real, dunia sehari-hari yang digeluti, dunia tempat sejarah manusia terlaksana. Dalam konteks ini, dunia sebagai sebuah realitas ciptaan harus dipandang dengan rasa hormat sebagai sebuah sarana dimana manusia berhubungan dengan Penciptanya. Maka, jelas dunia tidak bisa disepelekan begitu saja karena merupakan pengantara antara dunia dan surga.
Dunia memiliki arti bila manusia dapat mempergunakan untuk meraih tujuan ia diciptakan, yaitu demi “menyembah, menghormati, dan mengabdi Penciptanya”. Maka, sebenarnya dunia ini pun mulia dan baik karena dapat mengantarkan manusia menuju tujuan ia diciptakan. Tetapi justru disinilah titik kritisnya, dimana dunia yang merupakan sarana bagi manusia, ternyata juga bisa diselewengkan. Maka, dunia yang sebenarnya mulia pun bisa menjadi ancaman, karena bisa menjauhkan atau bahkan menyesatkan manusia dari tujuan penciptaannya. Ibarat manuk mabur (burung terbang) dari sarangnya menuju sebuah tujuan tertentu, segala sesuatu yang ia temuia di perjalanan selain bisa menuntun menuju apa yang hendak dicapai, juga bisa menggoda dan membuat lupa apa sebenarnya tujuannya. Tetapi, tetap yang paling penting ialah senantiasa memandang dunia ini sebagai sarana yang penting untuk membantu mencapai tujuan manusia diciptakan. Karena itu, manusia harus mengambil indifferens, dimana Asas dan Dasar menuliskannya: “Karena itu manusia harus mempergunakannya, sejauh itu menolong untuk mencapai tujuan tadi, dan harus melepaskan diri dari barang-barang tersebut, sejauh itu merintangi dirinya. Oleh karena itu, kita perlu mengambil sikap lepas bebas terhadap segala ciptaan tersebut, sejauh pilihan merdeka ada pada pihak kita dan tak ada larangan. Maka dari itu dari pihak kita, kita tidak memilih kesehatan lebih daripada sakit, kekayaan lebih daripada kemiskinan, kehormatan lebih daripada penghinaan, hidup panjang lebih daripada hidup pendek. Begitu seterusnya mengenai hal-hal lain yang kita inginkan dan yang kita pilih ialah melulu apa yang lebih membawa ke tujuan kita diciptakan. “ Maka indifferens adalah soal lepas bebas. Indifferens bukanlah sikap asketis atau moral, karena sesungguhnya indifferens merupakan struktur hakiki dari manusia sebagai makhluk rohani, dimana ketika keberadaannya yang terbatas berhadapan dengan Sang Pencipta yang tak terbatas, maka membuatnya untuk menjadi tak bergantung pada yang terbatas. Disinilah, Asas dan Dasar menganjurkan agar manusia membuat dirinya lepas bebas, dan menyetel dirinya sesuai dengan kelepasbebasan itu. Itu artinya, dalam mengalami, menderita, atau mencinta, manusia harus mengiyakan keterbukaannya pada apa yang lebih besar dari pengalaman, penderitaan, dan cintanya. Atau dengan kata lain, manusia harus menginginkan agar dirinya menjadi transenden; melihat diri dalam konteks antara dia dengan penciptanya.
Sebagai sebuah proses, disinilah sulitnya, karena manusia ternyata lebih suka berhenti pada yang terbatas, memilikinya, dan bahkan menjadikannya sebagai pujaan hidupnya. Manusia tak mau melepaskan, mengorbankan, atau pergi meninggalkan apa yang telah membuatnya merasa nyaman, bahkan betapapun sepelenya hal itu. Maka, sikap lepas bebas atau indifferens tidak terjadi dengan sendirinya dalam diri manusia meskipun hal ini merupakan hakekat manusia itu sendiri. Begitu manusia hendak bertindak lepas bebas sesuai dengan pengetahuan dan kebebasannya, ia merasa berat, tidak rela, sedih, dan sakit. Maka kelepasbebasan itu sama dengan kesakitan, kesedihan, bahkan kematian dirinya sendiri. Setiap kali manusia mau lepas bebas sesuai dengan hakekat dirinya, pada saat itulah ia menemui musuhnya, yakni egoismenya sendiri. Proses melawan egoisme itulah yang menyakitkan, sulit, dan berat.
Manusia sering mengira, dengan apa yang ia miliki di dunia ini, maka ia akan menjadi bahagia. Karena itu, ia mengidentifikasikan dirinya dengan miliknya, dengan barangnya, dengan keberadaannya yang tadi. Padahal disini kelepasbebasan merupakan pengorbanan, pantang, penyangkalan diri, dan bahkan kematian diri. Tidak akan pernah ada kelepasbebasan bila manusia dan keseluruhan dirinya masih terlekat pada apa yang ada di dunia ini. Kelepasbebasan memang mudah untuk dipikirkan tetapi amat sulit untuk dipraktikan. Manusia adalah dia yang berani melepas sesuatu tetapi untuk kemudian mempertahankan sesuatu yang lain. Dalam kesadaran dan rasionalitasnya, ia bisa berkata bahwa ia sudah indifferens, sudah terlepas dari ini dan itu, padahal yang sebenarnya ialah ia menghancurkan sesuatu dan kemudian beralih ke yang lain dan memeluknya kembali. Bahkan pada apa yang kelihatannya baik secara moral dalam pandangan manusia. Memang untuk hal-hal yang besar manusia bisa lepas bebas. Tetapi yang dibutuhkan adalah kelepasbebasan yang mutlak, yang keseluruhan, dan biasanya itu malah ada pada hal-hal yang kecil dan kelihatan sepele. Dan seringkali manusia justru tidak mau berkorban untuk hal-hal yang kecil itu tadi. Dengan mudah manusia melewati yang besar tetapi tersandung dalam hal-hal kecil. Karena itu, kendati sudah lepas bebas dengan terhadap hal-hal yang besar, jangan kelepasbebasan terhadap hal-hal yang kecil disepelekan, dan dianggap tidak apa-apa. Karena dengan itu manusia justru terkurung dalam hal ikhwal yang berlawanan dengan Asas dan Dasar.
Menurut Asas dan Dasar, tujuan manusia adalah memuji, menghormati, dan mengabdi pada Tuhan. Untuk itu ia harus mencari, jalan atau cara mana di dunia ini yang akan menjadi lebih membimbing ke arah tujuan ia diciptakan (magis). Tujuan dan jalan itu memang berbeda, tetapi tak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Makin manusia mendekati tujuan, makin ia harus mencari jalan yang lebih membimbingnya ke arah tujuan itu. Karena itu, Asas dan Dasar mengajak manusia untuk selalu menjatuhkan pilihan, jalan mana yang lebih baik dalam membimbing ia ke arah tujuan ia diciptakan. Manusia harus selalu mencari dan makin mencari, menemukan dan makin menemukan jalan itu, karena untuk menuju Dia tak ada jalan sekali jadi dan pasti untuk selamanya. Dia adalah tujuan hidup yang yang penuh dengan rahasia dan tak terselami yang senantiasa penuh dengan hal-hal yang baru.
Maka tampak bahwa Asas dan Dasar adalah suatu kaidah hidup kerohanian yang amat memperhatikan dunia dan pengalaman manusia di dunia. Mistik Asas dan Dasar bukanlah mistik yang menarik diri dari dunia ini, melainkan mistik yang berkenaan dengan dunia ini. Allah dala Asas dan Dasar bukanlah Allah yang sudah jelas dengan sendirinya dan sekali jadi, melainkan Allah yang senantiasa dicari terus-menerus dalam pengalaman manusia dan kejadian di dunia ini. Allah yang mesti dicari dalam setiap pengalaman manusia, juga dalam pengalaman yang kelihatannya menolak Dia: dalam kekecewaan, keputusasaan, kemiskinan, dan juga penderitaan. Bahkan, Allah pun juga mesti dicari di tempat dimana kelihatannya Dia tidak ada, karena tidak mustahil Allah bisa juga ditemukan justru dalam hal-hal yang kelihatannya tak mengandung Dia.
Akhir kata, bisa dikatakan bahwa keliru bila hidup di dunia ini hanya sekadar mampir ngombe. Sebab sesungguhnya dunia ini adalah sakramen dari Allah sendiri. Dunia ini bukan hanya sekadar tanda bagi kehadiranNya, tetapi juga tempat dan kemungkinan satu-satunya di mana manusia sebagai ciptaan dapat menemukan diriNya. Dalam hidupnya, manusia tak boleh mengikatkan diri pada dunia ini, entah dalam kegembiraan entah dalam kekecewaannya. Karena dengan lepas dari keterikatannya di dunia ini, Allah pun dengan leluasa akan menciptakannya secara baru. Maka tak ada suatu pun yang tetap di dunia ini karena manusia juga turut diajak untuk turut serta dalam karya Tuhan yang senantiasa menciptakan. Dan disinilah Asas dan Dasar mengundang manusia untuk berani selalu memutuskan dalam setiap momen hidupnya.
N. Arya Dwiangga Martiar
No comments:
Post a Comment