
Tentang Seminari Garum? Wah, ngomongin Seminari Garum pasti jadi nostalgia yang enggak akan ada habisnya. Bagaimana bisa habis kalau ternyata banyak hal yang bisa digali dan didapat dari sana. Entah cuma sebentar ataupun yang sampai 4 tahun pasti merasakan sesuatu yang lain, termasuk saya juga. Di satu sisi senang juga bisa hidup dengan bermacam-macam orang dan belajar banyak hal, tapi di sisi lain eman-eman juga karena selama empat tahun-1460 hari hidup hanya di lingkungan yang homogen, teratur, disiplin-juga-ketat, yang rasanya bikin enggak bebas. Homogen? Ya jelaslah, kan semuanya cowok. Oke deh, masih ada perempuannya: suster dengan mbak-mbak di belakang yang bantu masak dan cuci itu khan. Tapi mereka kan pengecualian, dan enggak setiap waktu bisa ketemu kecuali bagi teman yang dalam kefungsionarisan menjabat jadi seksi refter. Serba teratur? Namanya seminari pasti teratur. Bel pagi sudah berdering jam 5 kurang 15 menit, padahal kalau di rumah jam segitu masih enak-enaknya tidur. Mau molor sebentar lagi juga boleh sih, tapi hati-hati kalau mas KU atau WKUnya muter lagi, pasti bakalan dikelinting lagi. Apalagi ngelintingnya pas di telinga! Lalu benarkah aturan yang ada di seminari bikin enggak bebas? Wah, bicara soal bebas-enggaknya di Seminari Garum pasti larinya selalu ke soal peraturan. Seperti tadi, yang jelas Seminari sejak jaman dulu sampai sekarang terkenal dengan kedisiplinannya. Tapi bukankah di situlah kekhasan seminari dan justru di situlah pribadi seminaris dibentuk? Tapi apakah kedisiplinan itu menghambat kebebasan tentu lain soal. Kebebasan macam apa dulu yang dimaksud?
Katanya, kelas 2 di seminari itu saat nakal-nakalnya seminaris. Kenapa kelas 2? Kalau kelas 1 biasanya enggak bakalan terjadi. Namanya juga baru masuk, tentu adaptasilah yang jadi fokus utama baik dalam hal bersosialisasi ataupun dalam hidup studi yang serba baru. Sedang kalau kelas 3 sudah saatnya ‘belajar beneran’ karena sebentar lagi mau ujian akhir. Masak mau enggak lulus? Kelas 4? Wah, malu dong (ketahuan) nakal. Khan sudah gedhe. Apalagi mereka juga diberi tanggung jawab menjadi pamong adik-adik kelas 1 baik di Dormit (Ruang Tidur) ataupun menjadi pamong studi. Ditambah lagi kesibukan ber-weekend pastoral di stasi sudah menyita banyak waktu disamping tugas untuk membuat karya tulis ilmiah. Dengan alasan itu, maka kelas 2 ialah saat yang paling ‘ideal’. Adaptasi terhadap tuntutan studi sudah mulai jalan ditambah sudah punya pandangan yang cukup luas menyangkut seluk-beluk lingkungan seminari. Kloplah! Tapi apakah selalu seperti itu?
Waktu itu jam studi malam di sebuah ruang kelas 2. Seorang teman sedang sharing pengalamannya dengan begitu semangat kepada teman-teman sekelasnya, termasuk saya di antaranya. Karena ceritanya lucu tentu semua yang mendengarkan tertawa semua sehingga tanpa sadar suasana yang semula hening menjadi ramai. Tanpa diketahui oleh siapapun, Romo disiplin yang waktu itu Romo Pratisto sudah memperhatikan tingkah kami sekelas dari luar jendela. Namanya saja enggak tahu maka keramaian pun tetap jalan terus hingga tiba-tiba duuarrr.....suara jendela bergetar. Rupanya kesabaran Romo Pratisto sudah habis sehingga jendela menjadi korban tangannya. Kami sekelas langsung terdiam. Teman yang sedang ber-sharing di depan kelas perlahan-lahan kembali ke tempat duduknya. Lalu kami semua disuruh keluar kelas dan melanjutkan belajar di lapangan basket dengan diterangi lampu lapangan yang besar-besar hingga waktu studi malam selesai. Wah, ini sih namanya ngawur. Enggak tahu waktu yang tepat mana saatnya untuk belajar dan mana saatnya untuk sharing dan ngobrol. Juga kurang awas dengan situasi dan kondisi yang ada di lapangan, sehingga kalau tahu ada Romo yang lewat bisa segera memberi kode agar semua diam. Mungkin ini sama juga ketika beberapa teman, termasuk saya, yang sedang asyik ‘memanen’ buah Apokat tetangga yang ada di sebelah luar belakang Dormit 2 dengan memanjat kamar mandi dam kebetulan ketahuan frater pamong yang sedang bersepeda keliling seminari dari luar. Memang terkesan nakal dan mungkin memang nakal beneran, tapi ini bukan penilaian soal gagal atau tidaknya karena disinilah seminaris belajar mengenal dirinya dan dunianya. Seminari sebagai tempat pembinaan calon imam justru menemukan maknanya ketika menjadi ‘laboratorium’ dimana seminaris berani mewujudkan idealismenya berhadapan dengan realita kemajemukan dan batas-batas norma serta aturan tetapi sekaligus berani bertanggung jawab dan belajar atas apa yang telah diperbuat.
Berbicara mengenai masalah tanggung jawab, saya teringat dengan salah satu pengalaman yang menghebohkan seminari dan mungkin menjadi salah satu lembaran abu-abu yang ada, yakni peristiwa kursi terbakar di ruang aula atas karena electric heater yang njebluk. Untung saja segera diketahui sehingga api bisa segera dipadamkan. Coba kalau tidak segera diketahui, bisa-bisa gedung dan aula yang baru dibangun itu habis dilalap api. Peristiwa heater njebluk itu sendiri telah membuat Romo Edi Laksito sebagai rektor (yang sekarang Vikjen Keuskupan Surabaya) sampai turun tangan termasuk dengan mengadakan misa berintensi khusus, serta interogasi besar-besaran oleh Romo Disiplin, Romo Pratisto, untuk menemukan siapa ‘dalang’ peristiwa itu. Waktu memimpin misa sendiri, Romo Edi sampai menangis karena tak ada yang berani bertanggung jawab atas peristiwa itu. Berkaitan dengan masalah tanggung jawab, apakah itu berarti seminari tidak berhasil menanamkan rasa tanggung dalam diri seminaris? Apakah ini berarti sebuah kegagalan seminari?
Kegagalan erat kaitannya dengan terputusnya suatu tujuan atau rencana yang telah disusun dan direncanakan sedari awal. Suatu hal juga dikatakan gagal bila tidak berhasil memenuhi atau mencapai rencana yang telah disusun. Seminari sendiri sebagai tempat pendidikan calon imam di tingkat menengah atas tentu memiliki tujuan, dan tujuan itu jelas yaitu mempersiapkan seminaris di jenjang menengah dan agar siap untuk melanjutkan ke jenjang formatio yang lebih tinggi. Tugas itu menjadi semakin berat karena Seminari tidak hanya mempersiapkan seminaris dari sisi kognitif saja, tetapi juga sisi afektif dan spiritual pula. Ditambah lagi seminaris datang dari berbagai macam latar belakang yang cukup beraneka ragam. Maka sangatlah biasa jika ketika masih di kelas 1 penyesuaian itu terasa begitu berat. Bagaimana harus belajar bersama-sama dalam satu kelas ketika sebelumnya biasa belajar sendiri. Bagaimana setiap malam harus ber-silentium magnum untuk belajar menghargai teman lainnya. Bagaimana melihat para formator sebagai orang tua melalui bimbingan rohani. bagaimana belajar mengungkapkan ide melalui kegiatan sidang akademi, serta Bagaimana ketika setiap seminaris harus belajar bertanggung jawab dalam kefungsionarisan, termasuk juga belajar bekerja sama dengan teman lain dalam sebuah kepanitiaan malam seni atau Hari Orang Tua, misalnya. Maka, melihat suatu hal di seminari harus dilihat pula dalam konteks seminari secara keseluruhan. Melihat secara keseluruhan berarti melihat bahwa banyak hal yang terkait dan terlibat entah secara langsung atau tidak langsung di dalam (proses pembinaan) seminari; para seminaris, para formator, para guru, para karyawan, perangkat aturannya, jadwal hariannya, dan yang tak bisa diabaikan begitu saja yakni latar belakang seminarisnya masing-masing. Di titik inilah harus disadari bahwa seminari tidak akan bisa merangkum dan menggantikan itu semua. Seminari pertama-tama bukanlah sebuah mesin yang bisa menghasilkan seminaris yang seragam. Seminari pertama-tama juga bukanlah mesin yang membentuk setiap seminaris (selalu) menjadi seorang yang baik dan sholeh setelah keluar dari situ. Seminari lebih merupakan sebuah laboratorium di mana seminaris berani mencoba mewujudkan idealismenya berhadapan dengan realita kemajemukan, aturan-aturan, norma-norma, serta mempertanggung- jawabkannya. Bahkan salah seorang Romo di seminari mengatakan bahwa kalau sudah di seminari itu yang dipikirkan pertama-tama bukanlah masalah besok jadi romo atau enggak, melainkan bagaimana hidup di seminari hic et nunc. Seminari tidak dalam kapasitas untuk membentuk seminaris (manusia) super. Seminari adalah tempat untuk membentuk manusia yang utuh, dan keutuhan itu bukanlah berarti kesempurnaan-tanpa-ada-kekurangan, melainkan utuh yang berarti perpaduan antara kelemahan yang dilengkapi dengan kelebihan. Manusia tanpa kekurangan bukanlah manusia lagi. Dalam kelemahannyalah manusia menemukan dirinya; menemukan keotentisitasannya. Dan eksistensi manusia itu menjadi utuh ketika dia ada bersama dengan yang lain.
Seminari Garum sudah berusia 60 tahun. Usia yang cukup panjang mengingat sudah sekian banyak seminaris yang pernah mengenyam pendidikan di seminaris sudah banyak yang berumur. Mengingat pula sudah sekian banyak imam yang lahir dari rahimnya. Mengingat juga banyak guru, karyawan, dan formator yang telah tiada. Dan yang terpenting ialah karena banyak anak manusia yang mengucapkan terima kasih kepada almamaternya karena menemukan keutuhan dirinya dalam Seminari Garum.
No comments:
Post a Comment