
Hanya yang ada itu ada
Biografi Singkat
Parmenides (540-570 SM) lahir di kota Elea (sekarang daerah Italia Selatan) sekitar tahun 540 SM (buku lain menuliskan tahun 515 SM). Parmenides adalah murid Xenophanes, pendiri mazhab Elea, meskipun pada akhirnya Parmenides lah yang menonjol diantara para penganut Mazhab Elea. Parmenide aktif dalam dunia politik dan konon dia ikut membentuk undang-undang bagi kotanya.
Latar belakang pemikiran
Sejak sekitar tahun 500 SM, ada sekelompok filosof di koloni Yunani bernama Elea. Mereka ini tertarik pada masalah perubahan, sebuah pemikiran yang muncul dalam menanggapi pemikiran 3 filosof Miletus – Thales, Anaximandros, Anaximenes – yang percaya pada keberadaan satu zat dasar sebagai sumber segala hal. Disini muncul pertanyaan: bagaimana mungkin satu zat dapat dengan tiba-tiba berubah menjadi sesuatu yang lain?
# Pemikiran
Parmenides mengarang filsafatnya dalam bentuk puisi yang terdiri dari prakata dan dua bagian, yaitu jalan kebenaran dan jalan pendapat.
1. jalan kebenaran
seluruh jalan kebenaran bersandar pada satu keyakinan: “yang ada itu ada”, dan itulah yang disebut dengan kebenaran. Menurutnya “yang ada” itu tidak bergerak, tidak berubah, tidak terhancurkan. Atau bisa diterangkan bahwa “yang ada” itu bersifat (1) tidak dalam proses menjadi, (2) tunggal, dan (3) sempurna (seperti bola yang mengisi semua tempat). Maka bisa dikatakan bahwa “yang ada” itu selalu dapat dikatakan, dipikirkan, dan didiskusikan.
2. jalan pendapat
jalan pendapat melukiskan susunan kosmos, yang bersandar pada dua prinsip: yang gelap dan yang terang. Jadi, kosmologi Parmenides menganut prinsip-prinsip yang berlawanan.
Secara singkat pandangan Parmenides membawa lebih jauh anggapan yang mengatakan bahwa sesuatu yang ada pasti selalu ada. Tidak ada sesuatu yang dapat muncul dari ketiadaan dan tiada sesuatu yang ada menjadi tiada. Dia beranggapan bahwa tidak ada yang disebut perubahan aktual. Tidak ada yang dapat menjadi sesuatu yang berbeda dari sebelumnya. Parmenides tidak mempercayai segala sesuatu sekalipun dia sudah melihatnya. Dia beranggapan bahwa indra-indra memberikan gambaran yang tidak tepat tentang dunia, suatu gambaran yang tidak sesuai dengan akal (rasionalisme).
Kritik terhadap pandangan Parmenides ialah bahwa dalam hidup sehari-hari terjadi perubahan terus-menerus (ex: dinosaurus). Menanggapi hal ini, Parmenides mengatakan bahwa pengalama inderawi itu menipu dan semu belaka. Sesungguhnya “yang ada” sebagai realitas sejati di balik segala perubahan itu tinggal tetap, abadi, dan tidak berubah.
Komentar
Kalau memang “yang ada” sebagai sebuah zat dasar itu selalu ada dan dimengerti sebagai sebuah “realitas sejati”, maka bagaimana dengan yang namanya penilaian seperti baik-buruk, jelek-cantik, salah-benar, dst itu dapat ada? Padahal pandangan seperti itu terbentuk oleh pengalaman inderawi yang dalam pandangan Parmenides disebutkan memberikan gambaran yang tidak tepat tentang dunia. Bukankah semuanya memang dimulai dari indera manusia? Atau dengan kata lain bukankah sebuah “realitas sejati” pun selalu diawali dari pengalaman inderawi yang pada akhirnya membentuk suatu konsep ‘ideal’ tentang suatu hal. Lalu bagaimana sebuah “realitas sejati” bisa didapat bila tidak mendapat pengalaman inderawi?
Yang kedua, apabila benar bahwa penilaian baik-buruk, jelek-cantik, salah-benar, dst, itu merupakan sebuah “realitas sejati” dan itu dimiliki oleh semua orang, mengapa tetap ada perbedaan-perbedaan penilaian? Bukankah disebutkan bahwa “yang ada” itu bersifat: tidak dalam proses menjadi, tunggal, dan sempurna? Dimanakah letak kesempurnaan itu? Apakah yang sempurna itu masih dapat ‘diutak-atik’?
Sumber Rangkuman
Bertens, K, Sejarah Filsafat Yunani, Penerbit Kanisius, Yogayakarta, (cetakan kesepuluh) 1993, 46-50.
Budi Hardiman, F, Filsafat Yunani Kuno (diktat kuliah Filsafat Yunani Kuno), Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara-Jakarta, 34-39.
Gaarder, Jostein, Dunia Sophie, Penerbit Mizan, 1996, 49-50.
Lili Tjahjadi, Simon Petrus, Petualangan Intelektual: Konfrontasi dengan para filsuf dari zaman Yunani hingga Zaman Modern, Penerbit Kanisius, 2004, 25-27.
N. Arya Dwiangga Martiar
No comments:
Post a Comment