Friday, 8 August 2008

KEBEBASAN



Tindakan secara tidak langsung menandakan kebebasan. Kebebasan dan eksistensi adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Seseorang tidak bisa menjadi bebas dengan terlebih dahulu eksis, baru kemudian bebas. Menjadi manusia berarti juga menjadi bebas dan hal ini sejalan dengan pandangan Sartre dan Kierkegaard bahwa eksistensi dan kebebasan adalah satu. Meski demikian, pemahaman ini tidak akan pernah membebaskan manusia untuk berurusan dengan permasalahan-permasalahan yang terkait dengan kebebasan karena senantiasa tercerai-berai dan tidak lengkap. Secara rhetorik memang dimungkinkan untuk mengenali kebebasan dan eksistensi, tetapi bagi filsafat permasalahannya ialah bagaimana menjelaskan perbedaan dalam penggunaan istilah-istilah ini.
Bagaimana mengkonseptualisasikan kebebasan? Bagi Sartre, hal itu bisa dibentuk melalui penyangkalan – penyangkalan dari ‘ada-dalam-itu-sendiri’ (in-itself-of-being), sehingga mungkin akan muncul dalam eksistensi, yaitu kebebasan yang rapuh pada ‘untuk-itu-sendiri’ (for-itself) tanpa ada dan dalam pencarian akan ada.
Bagi Berdyaev, pertanyaannya tidak terletak pada kebebasan kehendak sebagaimana biasanya terdapat pada pendapat-pendapat tradisional. Disitu terdapat kesulitan karena argumen-argumen tradisional mencoba untuk mengobjektifikasi kebebasan atau dengan menjadikan kebebasan suatu obyek yang bisa dirasakan, diselidiki, dan juga dibuktikan atau disangkal dari luar. Bagi kaum eksistensialis, kebebasan tidak untuk dibuktikan, tetapi lebih merupakan sebuah postulat dari aksi. Kebebasan telah ada disana sebagai sebuah kondisi dari keberadaan kita (termasuk pikiran kita). Kebebasan ada disana bahkan sebelum kita berpikir mengenai dunia.
Berdyaev melihat kebebasan sebagai sebuah misteri itu sendiri. Dia sering mengatakan bahwa kebebasan memiliki kelebihan yang melampaui ada. Dia juga mengatakan bahwa kebebasan beralih dari suatu yang tak terbatas yang mendahului ada…tindakan kebebasan adalah primordial dan sepenuhnya irasional. Kebebasan memang ‘meontic’ – sesuatu yang tak ada dibandingkan sebagai sesuatu yang ada karena lebih sebagai sebuah kemungkinan daripada sebuah keadaan yang sebenarnya. Kebebasan tidak dapat direngkuh melalui pikiran tetapi hanya diketahui melalui pengalaman kebebasan.
St. Agustinus mengatakan mengenai dua macam kebebasan: yakni libertas major dan libertas minor. Di dalam kebenaran kita melihat bahwa kebebasan memiliki dua makna. Dengan kebebasan dimaksudkan bahwa kebebasan primordial irasional yang mendahului baik dan buruk menentukan pilihan diantaranya. Sehingga di saat akhir muncul kebebasan yang beralasan, yakni kebebasan dalam kebaikan dan kebenaran. Hal ini mau mengatakan bahwa kebebasan dipahami sebagai titik awal dan jalan, serta sebagai akhir dan arah tujuan. Perbedaan kebebasan seperti ini bisa jadi gagal mengingatkan kita mengenai perbedaan yang sama seperti itu, yang dapat ditemui dalam Kierkegaard dan pemikir lainnya, yakni antara kegelisahan primordial yang datang sebelum kebebasan dan kegelisahan sesudahnya atau mengenai yang menemani manusia diseluruh hidupnya.
Kebebasan dihubungkan juga pada masalah baik dan buruk. Disini kebebasan menjadi sesuatu yang ambigu; dari dialektik menjadi lawannya; dari kebebasan primordial menjadi anarki. Kebebasan juga mengandung benih pengrusakan dalam dirinya sendiri. Meski kebebasan memiliki resiko yang tak dapat dihindari dan tragedi, para eksistensialis bersikeras bahwa kebebasan itu untuk dipertahankan dan dikembangkan karena jika kebebasan hampir identik dengan eksistensi itu sendiri, maka itu berarti tidak ada kemanusiaan tanpa kebebasan. Kebebasan bisa jadi berbahaya, tetapi takkan ada martabat manusia tanpa kebebasan sehingga resikonya harus diambil. Kebebasan terkait dengan kreativitas sebagai pencapaian tertinggi kemanusiaan dengan bentuk kuasa Allah sebagai Pencipta. Pembebasan manusia tidak hanya dari sesuatu, tetapi untuk sesuatu. Dan ‘untuk’ ini adalah kreatifitas manusia.


Keputusan dan Pilihan
Seorang manusia adalah keputusannya. Keputusan tidaklah semata-mata suatu pemenuhan diri, melainkan juga penolakan diri. Memutuskan satu kemungkinan berarti ipso facto menolak setiap kesempatan yang lain. Setiap keputusan ialah adalah suatu perlawanan bagi keputusan yang lain, dan setiap keputusan membatasi kemungkinan yang terbuka untuk keputusan di masa mendatang. Keputusan membawa manusia berhadapan dengan dirinya sendiri dan menyebabkan kegelisahan. Mengambil keputusan berarti, di satu sisi masuk ke suatu level eksistensi yang baru, tetapi di sisi lain mengambil resiko dengan memotong kemungkinan lain yang terbuka, dan hal ini akrab dalam hidup manusia melalui perkawinan, persahabatan, dan panggilan. Poin pentingnya ialah bahwa suatu keputusan atau komitmen mengikat manusia atas suatu peristiwa dan hal itu harus senantiasa dijaga melewati lingkungan dan perasaan yang senantiasa berubah-ubah. Keputusan haruslah diperkuat kembali sebagaimana ketika keputusan itu pertama kali diambil.
Marcel dan Sartre menggunakan istilah engagement untuk menggambarkan manusia yang berjanji pada dirinya sendiri untuk suatu hak di masa mendatang. Marcel melihat bahwa kesetiaan merupakan keutamaan dasar yang membuat masyarakat sejati menjadi mungkin. Bagaimanapun, apa yang sungguh dipilih ialah diri sendiri, yang keluar dari keputusan itu sendiri. Diri tidak begitu saja diberikan pada awal/permulaan. Apa yang diberikan adalah tempat dari berbagai kemungkinan, dan manusia memproyeksikan dirinya ke dalam berbagai kemungkinan tersebut, yang berarti menentukan akan ke mana dirinya. Kesetiaan dan loyalitas tidak hanya karena bagi yang lain, tetapi juga untuk suatu citra kemanusiaan bahwa seseorang berada dalam pencarian untuk mencari eksistensi yang aktual. Meski demikian, loyalitas bisa merosot menjadi sikap keras kepala atau bahkan fanatisme belaka.
Keputusan bisa membawa pada sebuah depresiasi tindakan yang saling berhubungan di mana elemen kesadaran dan keputusan tidak muncul. Sikap dan kebiasaan, cara-cara melakukan sesuatu secara rutin dan tradisional dikritik sedang berada di bawah level tindakan manusia yang sebenarnya. Keputusan telah dibuat bagi manusia, dan manusia diharapkan melaksanakan untuk memenuhinya.hal pertama yang harus dilakukan ialah menjatuhkan pilihan, karena memang di situlah permasalahannya. Manusia bertindak dalam ‘bad faith’ ketika ia menghindari suatu keputusan yang jujur, dan hendaknya ia mengakui bahwa masyarakat memiliki kebijaksanaan juga, yang tertanam dalam peraturan dan adat-kebiasaan. Dan hendaknya disadari juga bahwa di dalam suatu tindakan terdapat pula pemikiran, kebebasan, dan keputusan, dimana dengan itu semua manusia menjadi dirinya sendiri sesungguhnya dan seutuhnya.

N. Arya Dwiangga Martiar

No comments: