Wednesday, 13 August 2008

CINTA ITU TIDAK ADA



Bagiku tidak ada yang namanya cinta. Cinta saja tidak ada, terlebih juga dengan cinta sejati. Mengapa aku berani mengatakan bahwa cinta itu tidak ada? Argumenku yang pertama ialah bahwa (1) bila cinta itu ada maka dia tidak dapat tidak ada. (2) Bila cinta itu ada, maka cinta yang ada itu tidak dalam proses menjadi (becoming). Itu berarti bahwa terjadi proses dari yang tidak ada menjadi ada. Dengan kata lain, bila cinta itu memang ada maka cinta yang ada itu kekal; tidak mengenal awal dan akhir. (3) Bila cinta memang ada, maka cinta yang ada itu tidak berubah-ubah. Dengan kata lain, bila terjadi perubahan maka itu berarti cinta itu kadang ada dan kadang tidak ada.
Argumenku yang pertama ialah bahwa bila cinta itu ada maka dia tidak dapat tidak ada. Bila cinta memang ada dimiliki oleh semua orang maka tidak ada saat dimana cinta itu tidak ada atau hilang. Tetapi nyatanya dengan mudah ada orang berkata mengenai ‘tidak adanya cinta’ atau ‘belum adanya cinta’. Atau ketika orang dengan enteng berkata ‘cinta itu sudah pergi’. Lalu cinta sendiri itu apa? Kalau memang sungguh ada seharusnya cinta itu ada terus, bukannya harus ditunggu kedatangannya. Ada berarti ada, dan tidak ada berarti tidak ada. Yang ada tidak mungkin menjadi tidak ada dan sebaliknya.
Argumenku yang kedua ialah bila memang cinta itu ada, maka cinta yang ada itu tidak dalam proses menjadi (becoming). Tidak ada proses dari ketiadaan menjadi ada karena bila demikian berarti ada saat bahwa cinta itu tidak ada. Dengan kata lain, ada waktu dimana cinta itu ‘belum tercipta’ dan menunggu proses terciptanya cinta. Itu sama saja dengan menyatakan bahwa cinta itu tidak kekal karena mengalami proses dari tidak ada menjadi ada. Padahal bila cinta itu ada, maka cinta itu selalu ada dan tidak dapat tidak ada. dengan kata lain, cinta tidak mengenal awal dan akhir.
Argumenku yang ketiga ialah bila cinta itu ada, maka cinta yang ada itu tidak berubah-ubah atau mengalami perubahan. Melanjutkan argumenku yang kedua, bila cinta itu memang ada maka dia tetap dan tidak berubah-ubah. Perubahan menandakan masih adanya ‘ruang’ untuk berubah. Perubahan berarti menandakan masih terjadinya ‘pengurangan’ dan ‘penambahan’ atau ‘penyusutan’ dan ‘pengembangan’. Dengan kata lain, masih ada ruang untuk suatu proses. Kembali lagi ke argumenku yang kedua, bila memang cinta itu ada maka dia tidak dalam proses menjadi. Tidak pula dalam proses ‘berubah-ubah’.
Lalu apa yang selama ini disebut cinta oleh banyak orang? Menurutku, ‘cinta’ yang disebut itu tak lain adalah suatu pengobyekkan demi memuaskan hasrat, perasaan, ataupun bahkan nafsu keinginan diri yang egoistik. Aku sebut pengobyekkan karena yang terjadi bukan hubungan aku-engkau sebagai subyek dengan subyek, melainkan hubungan aku sebagai subyek terhadap engkau sebagai obyek. Obyek untuk apa? Tak lain sebagai obyek untuk memuaskan hasratku, keinginanku, dan juga egoku. Hubungan yang terjadi bukanlah hubungan kesetaraan, melainkan hubungan atas-bawah.
Bila orang berkata ‘ aku cinta kamu’, itu tak lain berarti bahwa ‘aku merasa cocok denganmu karena kamu adalah ini, itu, dst. ‘Aku cinta kamu’ berarti bahwa kamu sesuai dengan apa yang kuinginkan. Kamu sesuai dengan seleraku, dan dengan adanya kamu maka aku merasa terpuaskan. Maka dengan ‘aku cinta kamu’, itu berarti bahwa ‘kuharap dirimu tetap seperti itu dan jangan berubah menjadi apa yang bukan mauku. Bila engkau tidak lagi sesuai dengan mauku aku tidak akan mencintai engkau, karena engkau tidak lagi memuaskan diriku; tidak sesuai dengan seleraku’. Di titik itulah orang yang ‘kucintai’ menjadi obyek atas keinginanku, atas egoku belaka, tidak lebih. Dan biasanya disitulah titik rawan terjadinya paksaan-paksaan atas nama ‘cinta’ yang tak lain hanyalah kedok dari ego belaka. Lalu, dari situ mulai muncul apa yang disebut dengan ketidakbahagiaan atau kesedihan. Kesedihan atau ketidakbahagiaan itu terjadi tak lain karena ‘apa yang kuinginkan, apa yang bisa memuaskan egoku, tidak lagi menjadi “milikku” sehingga hasratku tidak terpuaskan’. Kata ‘milikku’ berarti bahwa orang lain kuanggap sebagai instrumen, sebagai alat, sebagai benda, yang ‘bisa dipakai’ untuk memuaskan egoku. Dengan kata lain, hubungan (kesalingan) cinta merupakan hubungan subyek-obyek yang tak lain adalah hubungan fungsionalitas belaka, tak lebih.
Lalu, adakah ‘cinta’? Silahkan cari jawaban atas pertanyaan ini dalam permenunganmu sendiri. Bila kau bertanya padaku, jawaban dan pendirianku sudah jelas: cinta itu tidak ada.

N. Arya Dwiangga Martiar

1 comment:

cebe said...

Jika cinta itu tidak ada atau tidak terjadi antar manusia tetapi Itu akan terjadi antara Tuhan dan manusia, karena Tuhan adalah CINTA.