Friday, 8 August 2008

NASIONALISME


Apa itu nasionalisme (bagi bangsa Indonesia)? Bagi Benedict Anderson, nasionalisme bukanlah sesuatu yang diwariskan oleh nenek moyang. Maka, nasionalisme bukanlah sesuatu yang sudah tua umurnya. Anggapan yang keliru seperti ini membuat nasionalisme terkesan sudah ada sejak lahir dan muncul secara alamiah dalam darah dan daging. Anggapan keliru lainnya ialah bahwa bangsa dengan negara adalah dua hal yang identik. Yang benar ialah bahwa negara jauh lebih tua daripada bangsa. Khususnya bagi Indonesia, pemerintahan kolonial sudah ada sebelum negara Indonesia terbentuk.

Menurut B.Anderson, nasionalisme merupakan sesuatu yang dibentuk (constructed). B.Anderson melihat nasionalisme sebagai sesuatu yang merupakan “proyek bersama” pada masa kini dan masa mendatang yang menuntut adanya pengorbanan diri, bukan pengorbanan orang lain. Nasionalisme tumbuh ketika, dalam sebuah wilayah tertentu, penduduknya mulai merasa bahwa mereka memiliki tujuan yang sama; mempunya masa depan yang sama. Mereka juga merasa terikat dengan sebuah persahabatan setara dan dalam yang tumbuh secara tiba-tiba dan cepat sebagai pembaruannya. Dengan kata lain, mereka terikat dengan visi dan harapan yang sama dengan orientasi pada masa depan dan berbasis pada kaum muda.

Jika nasionalisme merupakan sebuah proyek bersama untuk masa sekarang dan masa mendatang, maka pemenuhannya tidak akan pernah selesai. Nasionalisme harus senantiasa diperjuangkan dalam setiap generasi karena tidak serta-merta seeorang yang lahir di Indonesa langsung memiliki kesadaran sebagai orang Indonesia. Dia harus memperjuangkan keIndonesiaannya dengan resiko bahwa hal itu bisa gagal layaknya suatu pertaruhan. Pertaruhan antara mementingkan ambisi-ambisi pribadi dengan kesetiaan terhadap gagasan proyek bersama tersebut. Pertaruhan ini bisa dimenangkan jika orang-orang Indonesia berjiwa besar dan berpikiran luas untuk menerima keanekaragaman dan kompleksitas bangsa Indonesia.

Banyak orang Indonesia yang berpikir bahwa Indonesia adalah “warisan”, bukan sebagai sebuah proyek bersama. Karena Indonesia adalah warisan, berarti mereka yang hidup sesudahnya adalah pewaris yang memiliki hak terhadap warisan itu. Lalu timbulah perselisihan untuk memperebutkan warisan tersebut. Orang pun juga berpikir bahwa Indonesia sebagai suatu warisan berarti juga harus dipertahankan dengan segala cara. Inilah yang terjadi di Aceh dan Irian, di mana secara pemerintah pusat menekan rakyat setempat secara represif-militeristik karena dianggap pemberontak.

Berkaca dari pengalaman di Aceh dan Irian, hendaknya orang Indonesia berpikir realistis dan menyadari kebebasan yang asli, termasuk kemungkinan federalisasi Indonesia. Perlu adanya perubahan arah kebijakan. Jika memang Undang-Undang Dasar 1945 sudah tidak sesuai dengan dengan kondisi lingkungan yang terus-menerus berubah, maka bisa diadakan penyesuaian. Bahkan bila perlu pemeriksaan dan perbaikan menyeluruh terhadap UUD 1945. Kejadian tahun 65-66 dengan korban ratusan ribu orang memberi pengaruh sangat besar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia hingga saat ini. Suatu trauma yang berkepanjangan yang dibayang-bayangi kekejaman terhadap saudara sebangsa membentuk cara pandang manusia Indonesia yang berusaha menghindari kejadian-kejadian itu sebagai “yang dilakukan seseorang”. Kejadian ini bukannya untuk dihindari, melainkan harus disadari dan dengan kesatria berani meminta maaf atas kesalahan masa lalu tersebut.

Banyaknya organisasi-organisasi, institusi-institusi yang memperjuangkan hak-hak manusia sekarang ini merupakan suatu fenomena yang wajar. Bahkan memang sudah seharusnya demikian. Tetapi, dalam konteks ini, yang lebih mendesak ialah memperjuangkan hak-hak manusia Indonesia untuk berpartisipasi secara sukarela, bersemangat, bersama, dalam proyek bersama tanpa adanya ketakutan. “Hak-hak asasi manusia Indonesia” ini hanya bisa diperjuangkan dan direalisasikan oleh orang-orang Indonesia sendiri. Dan suatu kebangkitan yang nyata dari proyek bersama ini telah diprakarsai hampir seratus tahun yang lalu oleh tokoh-tokoh macam Dr. Soetomo, Natsir, Sjahrir, dsb.

Sekali lagi, kebangkitan kehidupan bangsa yang sesungguhnya akan membutuhkan suatu pemeriksaan menyeluruh atas sistem pemerintahan, terutama dalam kebijakan otonomi daerah. Dibutuhkan pula pertumbuhan budaya politik yang sehat dan ksatria serta penghilangan sadisme dan gangsterisme. Lalu diperlukan adanya cinta, cinta yang sebenarnya, bagi institusi-institusi nasional. Terakhir, yang dibutuhkan ialah rasa malu. Malu bila negaranya melakukan kejahatan, termasuk bagi mereka yang memusuhi teman sebangsanya. Meskipun dia sendiri tidak melakukan hal itu atau sesuuatu hal buruk yang lain, sebagai anggota dari proyek bersama, dia akan merasa tersangkut secara moral dalam segala sesuatu yang dilakukan dalam nama proyek bersama tersebut. Politik rasa malu seperti ini baik dan selalu dibutuhkan. Jika pandangan akan rasa malu ini dapat berkembang secara sehat di Indonesia, orang-orang Indonesia akan memiliki dorongan untuk menghadapi horor dari era orde baru tidak sebagai yang “dilakukan seseorang”, tetapi sebagai sebuah beban bersama.

No comments: