Wednesday, 20 August 2008

APA ITU BERAGAMA?




Bangsa Indonesia hampir berusia 63 tahun. Sebuah rentang waktu yang cukup panjang mengingat banyak hal yang telah terjadi mengisi tapak demi tapak sejarah bangsa Indonesia. Bila dibanding dengan sejarah umat manusia, umur ‘manusia Indonesia’ masih belum ada apa-apanya. Manusia ‘baru’ ada sekitar 2 juta tahun yang lalu dan itu jauh lebih kecil dibanding umur bumi yang 50 miliar tahun dan masih akan terus hidup hingga 5 miliar tahun ke depan, sebelum matahari membengkak 25 kali lipat dibanding sekarang dan menjadi bola raksasa merah yang mendidihkan segala air di bumi menjadi uap lebih dari 500 derajat celcius. Dibutuhkan 2 juta tahun evolusi untuk menjadikan manusia dari homo habilis (manusia terampil) menjadi homo sapiens (manusia bijak) hingga seperti sekarang ini .
Seiring dengan waktu dan jaman yang terus berjalan, banyak hal mengalir berkembang seiring dengan perkembangan manusia. Perkembangan manusia tidak pernah terlepas dari historisitasnya karena manusia merupakan pemain sekaligus menjadi penentu alur di dalamnya. Manusia membentuk berbagai macam pemikiran, dan pandangannya pun turut diubah seiring dengan arus tersebut. Romo Mangun mengatakan bahwa manusia sekarang ini adalah manusia pasca-Einstein yang sudah berbeda inti kedalamannya dengan manusia pra-Einstein dan itu berarti sangat memungkinkan adanya perbedaan penghayatan terhadap dimensi keilahiannya . Manusia yang dulu terpesona atas janji kemajuan humanisme renaisans dan diteruskan pada keoptimisan aufklarung karena dijanjikan bertemu dengan kebahagiaan melalui kebebasan akal budinya sekarang bergeser pada ilmu pengetahuan sebagai pencari kebenaran yang memuaskan. Lihat saja ilmu kedokteran barat dengan segala sistematikanya yang analitis, logis, lagi metodis-empiris, yang sedemikian maju sehingga orang berbondong-bondong datang ke rumah sakit demi mencicipi salah satu hasilnya. Apa yang nenek moyang dahulu katakan bahwa sakit itu karena mereka salah memberi sesaji kepada roh-roh danyang penunggu pohon beringin, jembatan, perempatan jalan, dan sebagainya , kini hanya menjadi gelengan kepala para sarjana yang telah melangkah jauh meneliti kromosom-kromosom atau atom-atom yang ternyata berbentuk gelombang sekaligus merupakan partikel-partikel berukuran mikro. Manusianya masih sama antara yang pra-Einstein dan pasca-Einstein, tetapi lain sama sekali cara berpikirnya, cara pandangnya, cara pengambilan reaksi, keputusan, serta kesimpulannya. Maka, banyak orang semakin sadar bahwa sekarang ilmu pengetahuan menjadi satu-satunya ‘agama’ yang dipercaya oleh banyak orang dan menyatukan banyak bangsa di seluruh muka bumi. Benar pula apa yang dikatakan Francis Bacon mengenai semboyan knowledge is power, bahwa akhirnya ilmu pengetahuan menjadi bahasa universal sekaligus kekuatan yang besar dalam kehidupan manusia . Lalu pertanyaannya, dengan situasi yang berkembang seperti ini apakah praktik hidup beragama masih relevan? Di satu sisi masih terdapat keinginan untuk beriman dan ingin beragama secara betul . Tetapi, di sisi lain ternyata ada perbedaan yang tidak bisa terjembatani hanya melalui ungkapan-ungkapan agama tradisional yang sudah ribuan tahun umurnya terhadap pengaruh dan dampak ilmu pengetahuan dan teknologi . Singkatnya, ada perbedaan ‘bahasa’ disitu.
Pertanyaan di atas tidaklah tanpa alasan. Secara sederhana kita bisa melihat bahwa metode ilmu pengetahuan yang senantiasa analitis, kritis dan empiris sudah kita jumpai sedari dini sejak TK hingga perguruan tinggi. Melalui percobaan-percobaan sistematis dengan pengukuran-pengukuran kuantitatif matematis dan pengujian pembenaran atau penyalahan menurut aturan sains yang ketat membuat manusia hanya mau menerima hal-hal yang dapat dibuktikan tampak-nyata oleh pancaindra dan pikiran . Maka, kebenaran mutlak tidak ada karena bagi manusia empiris yang ada hanyalah probability dan prinsip ketidakpastian yang dibatasi oleh keterangan “nyata bagi pengamat” . Hal ini tentu menjadi ancaman bagi agama tradisional yang lahir di masa lampau yang dibahasakan dengan menggunakan ekspresi zaman dan budaya nomad atau agraris . Ekstremnya, jikalau Tuhan tidak dapat dirumuskan secara empiris dengan perumusan matematika, maka Tuhan tidak ada atau nonsense bagi orang secara subjektif . Pandangan ini memang sangat radikal. Tetapi, kenyataan ini tidak untuk ditutup-tutupi, melainkan haruslah direfleksikan lebih lanjut bagi mereka yang masih menyadari bahwa di dalam lubuk hatinya yang paling dalam masih terdapat kerinduan untuk beriman karena disinilah religiositas menjadi memiliki arti.
Akhirnya menjadi sedikit jelas bahwa agama dengan praktiknya memiliki perbedaan bahasa dengan apa yang sekarang ini manusia geluti. Apa yang dahulu begitu mudah diikuti dan dihayati ternyata menjadi demikian sulit untuk diikuti dan diimani sekarang ini. Dengan kata lain, apa yang dahulu relevan menjadi tidak relevan lagi sekarang. Apa yang dahulu dianggap sebagai cara paling baik untuk mengungkapkan rasa syukur pada Tuhan sekarang sudah menjadi kata-kata kosong tanpa pemaknaan. Ada pergeseran nilai di situ. Untuk menyambungnya kembali, berarti salah satu harus menyesuaikan terhadap yang lain dan itu berarti praktik hidup beragama harus menyesuaikan dengan keadaan zaman yang memang menuntut demikian. Bisakah itu terjadi?



Daftar Pustaka
Hardiman, F. Budi. Filsafat Modern Dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004.
Mangunwijaya, Y. B. Manusia Pascamodern, Semesta, dan Tuhan. Yogyakarta: Kanisius, 1999.

N. Arya Dwiangga Martiar

No comments: