Friday, 8 August 2008

EKSISTENSI DAN YANG LAIN


Being-with-Others” sebagai Karakteristik Dasar Eksistensi

Eksistensi tidak bisa dipisahkan dari dunia karena eksistensi adalah ‘being-in-the-world’ atau ‘ada-dalam-dunia’. Di sisi lain, manusia hidup bersama dengan manusia yang lain, berinteraksi dengan manusia lain. Maka eksistensi manusia ialah ‘being-with-others’ atau ‘bersama-dengan-yang-lain’. ‘Aku’ bisa diterangkan dalam hubungannya dengan manusia yang lain dan tanpa manusia yang lain maka ‘Aku’ menjadi tidak ada/eksis.

Eksistensi bisa dilihat dari keunikan yang dimiliki tiap-tiap individu sehingga eksistensi dibentuk dari apa yang ‘dimiliki’. Dalam pandangan antropolog kontemporer, individu atau seseorang muncul dari suatu kelompok. Meski demikian, masing-masing individu memiliki situasi dan kondisi uniknya sendiri serta mempunyai tanggung jawab untuk memutuskan bagi dirnya sendiri. Oleh karena itulah eksistensialisme tidak bisa diterangkan dalam kerangka kolektivisme karena hanya menempatkan manusia sebagai manusia yang seragam atau sama. ‘Being-with-others’ sebagai suatu relasi aku dengan sesamaku yang lain berarti aku dapat menemukan diriku dalam relasiku dengan sesamaku yang lain.

Komunitas adalah hasil dari ‘being-in-the-world’. Meski masing-masing individu memiliki perspektif mengenai dunia yang berbeda-beda, pemahaman mengenai manusia saling terhubung atau terkait dengan yang lain secara instrumental, yakni pemahaman dalam suatu keutuhan, bukan keterpisah-pisahan. Maka, ‘yang lain’ merupakan a priori ; mereka adalah kondisi dari eksistensi, bukan tambahan dalam eksistensi.

Argumen lain ialah memandang manusia dari sudut ruang dan waktu (spasial dan temporal). Ruang (space) yang dimiliki manusia bukanlah miliknya sendiri, melainkan ruang yang telah dibagi bersama dengan yang lain.

Being-with-others’ merupakan unsur fundamental eksistensi dan tidak bertentangan dengan manusia sebagai ‘being-in-the-world’. Martin Bubber menempatkan ‘being-with-others’ sebelum ‘being-in-the-world’. Dalam relasi “I-Thou”, “I” hanya dikenali dalam relasi “I-Thou” dan “I” dalam relasi “It”. Pandangan Bubber mengenai “I-Thou” ialah bahwa “I” secara implisit telah mengenali “Thou” melalui “aku” yang berbeda dari dirinya sendiri. Relasi “I-Thou” ini membuat kedirian dan kepribadian individual menjadi mungkin.

Pandangan lain yang juga mendukung komunitas sebagai hal mendasar bagi eksistensi manusia ialah adanya seksualitas dan bahasa. Sex menunjukkan fakta bahwa tubuh manusia itu tidak lengkap sehingga membutuhkan lawan jenisnya. Sedangkan fungsi penting bahasa ialah sebagai sarana komunikasi, suatu pertukaran yang penuh makna dari peribadi-pribadi. Bahasa adalah ungkapan pemikiran sehingga membuatnya dapat dijangkau oleh orang lain. Bahasa tidak sekadar fenomena, melainkan memiliki arti pokok ontologis yang penting, yakni sebagaikekuatan fundamental manusia.

Relasi Interpersonal

Eksistensi tidak hanya membutuhkan lingkungan duniawi saja, melainkan juga lingkungan personal. Di dalam dunia aku bertemu pribadi-pribadi yang lain. Mereka bukanlah obyek-obyek duniaku. Mereka adalah ‘sesamaku yang lain’ (co-existent) karena mereka sama halnya denganku ada di dunia.mereka ada bukan sebagai instrumen melainkan agent yang membentuk dunia sama sepertiku.

Relasi antara diri dengan dunia sehari-hari diterangkan dengan istilah ‘perhatian’ (concern). Sedang relasi antara diri dengan yang lain disebut ‘kepedulian’ (solicitude). Kedua istilah yang berasal dari buku Being and Time karya Heidegger tersebut kiranya tepat untuk menerangkan dua macam relasi di atas, meskipun secara teknis kata-kata tersebut tidak selalu mengandung makna seperti biasanya.

Mengenai dua relasi tersebut, Martin Buber menggunakan istilah “I-Thou” dan “I-It”. Perbedaan pertama antara kedua istilah tersebut ialah bahwa istilah “I-Thou” hanya dapat dikatakan dalam hubungannya dengan yang ada secara keseluruhan. Sedangkan istilah “I-It” tidak pernah bisa dikatakan dengan yang ada secara keseluruhan. Di dalam relasi “I-Thou” kita secara total berhubungan dengan yang lain dengan membuka diri baginya. Dia bukanlah yang berada ‘disana’, tidak juga sebagai sebuah akhir untuk beberapa kepuasan di luar dirinya sendiri.

Salah satu aspek yang tragis dari relasi tersebut ialah bahwa relasi ”I-Thou” merosot terus menjadi relasi ”I-It”. Kita berhubungan dengan pribadi yang lainnya tidak dalam keseluruhan dan keterbukaan, tetapi hanya sebagai suatu instrumen, benda. Maka, dimanapun ada eksploitasi, diskriminasi, ataupun prasangka, pribadi-pribadi dilihat tidak sebagai seorang pribadi.

Meski demikian ada kemungkinan lain bahwa sebuah relasi “I-It” menjadi sebuah relasi “I-Thou”. Relasi macam ini terjadi tidak antara manusia dengan manusia, melainkan manusia dengan alam dan manusia dengan apa yang disebut sebagai ‘ada spiritual’ (spiritual beings).

Harvey Cox mengatakan bahwa relasi “I-You” lebih tepat dibanding relasi “I-Thou”. Menurutnya, relasi “I-You” adalah relasi dimana seseorang menghormati kepribadian dan kemanusiaan yang lain tanpa adanya usaha untuk membangun suatu kedalaman dan kedekatan dengannya seperti yang terkandung dalam gagasan “I-Thou”.

Yang menjadi karakter dari pemikiran Buber ialah penggunaan kata ‘dialog’. Baginya relasi interpersonal adalah relasi dialogis dimana bersifat bersama atau kesalingan di dalamnya. Suatu relasi yang sejati dengan pribadi yang lain itu tidak bisa disatu sisikan, mendominasi, atau possesif. Relasi yang sejati harus terdiri dalam keterbukaan dan kemauan untuk mendengarkan dan menerima sebagaimana ketika berbicara dan memberi. Hal ini pula yang menjadi perbedaan antara relasi dengan manusia dan relasi dengan benda. ‘Relasi’ dan ‘jarak’ adalah kata-kata lain yang Buber pergunakan untuk pemikirannya pada persoalan ini. Kata ‘relasi’ dibatasi hanya untuk hubungan antara pribadi-pribadi sebagai salah satu yang mendasar dan permulaan dialam eksistensi manusia sebagaimana juga ‘jarak’. Maka disinilah sifat dialektik itu terjadi.

Sebuah relasi yang sejati menjaga yang lain dalam ‘kelainannya’ (otherness), dan dalam keunikannya. Relasi itu tidak possesif dan tidak membolehkan satu sisi digabungkan dalam yang lain. Ada penghargaan bagi yang lain dan tidak berusaha mengubahnya seperti apa yang diinginkan. Maka, disini aku diteguhkan oleh yanglain, dan aku sungguh menjadi diriku sendiri melalui relasi dengan yang lain. Dengan kata lain, tidak ada “I” tanpa “Thou”.

Gabriel Marcel, dalam pemahamannya mengenai relasi dengan yang lain, memberikan dua ungkapan, yakni ‘kesediaan’ (availability) dan ‘kesetiaan’ (fidelity-disponibility): aku harus mau memberikan diriku bagi yang lain. Akan tetapi banyak orang yang tidak demikian. Mereka dipenuhi hanya oleh dirinya sendiri dan menutup diri terhadap yang lain. Eksistensinya adalah apa yang dia ‘miliki’ dan ketidaksediaannya itu timbul dari kegelisahannya untuk selalu memperhatikan dirinya sendiri. Kesediaan sendiri ialah hadir bagi yang lain. Kehadiran menunjukkan sesuatu yang berbeda dan lebih komprehensif dibandingkan dengan hanya fakta berada di sana. Kehadiran tergantung pada pernyataan diri seseorang melampaui dirinya bagi yang lain.

Suatu aksi dasar manusia ialah melampaui dirinya dengan membuat semacam janji atau keterlibatan. Kita senantiasa mengikutsertakan diri kita, dan komunitas dibangun berdasarkan kesetiaan; kesetiaan pada janji atau ikatan yang telah dibuat atas diri kita. Orang, ikatan, komunitas, dan realitas dipandang oleh Marcel sebagai rangkaian berkelanjutan. Keterlibatan realitas dalam rangkaian tersebut menandakan bahwa janji atau ikatan dan kesetiaan akhirnya dapat memimpin menuju Tuhan.

Bagi Kierkegaard, yang lain bisa menjadi rintangan dalam relasi dengan Tuhan. Bagi Kierkegaard, perlu sekali menjadi ‘seorang yang sendiri’ supaya memiliki relasi dengan Tuhan. Akan tetapi, tentunya suatu jalan yang lebih berbuah pada Tuhan ialah melalui relasi dengan orang lain dan melalui keterlibatan di dalam hidup kelompok manusia.

Ada suatu pernyataan dari Sartre yakni ‘neraka ialah orang lain’. Alasan yang ada dibali pernyataan inbukanlah karena orang lain dianggap sebagai sebuah halangan dalam relasi dengan Tuhan, karena bagi Sartre Tuhan bukanlah realitas yang independen. Baginya, Tuhan sebuah bama menandakan suatu kepenuhan akan apa yang setiap manusia senantiasa cari. Ada yang terbatas ialah hasrat untuk menjadi Tuhan, meskipun faktanya pkluralitas dengan adanya yang lain menghalangi hasrat tersebut. Oleh karena itulah, yang lain dipandang sebagai halangan dalam memenuhi eksistensi.

Tubuh dan Yang Lain, dengan Referensi Khusus Terhadap Seksualitas

Being-with-others” hanya mungkin bila memiliki tubuh dan itu berarti ada di dalam dunia. Aku sadar ada yang lain karena aku menyentuhnya, melihatnya, mendengarnya melalui indera-indera. Aku berkomunikasi dengannya melalui perantara bahasa, tetapi bahasa hanya mungkin bila ada tubuh organ dan indera untuk menghasilkan ataupun menerimanya. Maka, “being-with-others” menyatakan eksistensi tubuh.

Ada 2 kemungkinan seseorang berhubungan dengan orang lain: dia adalah sebuah tubuh bagiku; obyek dari pandanganku, atau aku menjadi tubuh baginya dan mengalami diriku sebagai obyeknya. Sartre membuat 2 pandangan yang tajam mengenai cara dimana aku merasakan tubuh dari yang lain. Yang pertama ialah bahwa tubuh yang lain dirasakan dalam hubungan keseluruha situasi. Tubuh itu dilihat dalam relasinya dengan dunia bukan sebagai sebuah barang tetapi sebagai pemakai dunia. Pandangan yang kedua ialah bahwa kita merasakan tubuh yang lain sebagai suatu keseluruhan.

Tubuh yang lain bukanlah barang. Itu adalah pribadi yang lain. Tubuhku bukanlah obyek bagi yang lain sebagaimana tubuh yang lain bukanlah suatu obyek bagiku. Akan tetapi, ketika dia memperhatikan diriku, aku sadar diriku sebagai obyek pandangannya. Disini tidak hanya ada pandanganku sendiri, melainkan juga pandangan orang lain yang aku sendiri tidak pernah mengambilnya; tubuhku keluar seluruhnya dari diriku. Aku menjadi teralienasi dari tubuhku sendiri. Aku menjadi sadar mengenai tubuhku bukan sebagaimana tubuhku bagi diriku melainkan sebagai sesuatu bagi yang lain.

Bagaimana hal ini coba diatasi ? Aku mencoba untuk lari dari menjadi obyek bagi yang lain melalui cinta. Dalam konteks ini, cinta dipahami sebagai cinta yang possesif. Hal itu merupakan suatu hasrat untuk menerima yan lain ke dalam diriku. Akan tetapi, supaya hal ini bisa terjadi maka yang lain harus mencintai diriku. Untuk membuat yang lain mencintai diriku, aku harus menjadi obyek untuk menarik cinta itu. Maka relasi menjadi ambigu tak ada habisnya, terombang-ambing antara cinta dan benci, hasrat untuk memiliki dan untuk dimiliki, bahkan hasrat untuk menjadi daging dalam sifatnya sebagaimana en-soi.

Sifat gembira dari tindakan seksual menunjuk pada peranan penting dari tubuh dalam seks, karena ecstasis (gembira) adalah ‘ex-sistence’, keluar dari dirinya. Di dalam relasi seksual, individu keluar dari dirinya sendiri bagi yang lain dalam sebuah kesatuan dari ‘being-with-the-other’. Tindakan seks tidak hanya sekadar gembira tetapi juga total. Maka seks adalah suatu usaha total untuk berbagi. Seksualitas manusia sendiri juga tidak hanya merupakan suatu fungsi biologis melainkan memiliki dimensi ontologis yang mutlak.

Martin Buber menggambarkan perbedaan antara ”I-Thou” dan “I-It” ialah antara sesuatu yang mengalir dari diri keseluruhan dengan sesuatu yang mengalir kurang dari keseluruhan diri. Jika keseluruhan pribadi terlibat merupakan karakteristik dari relasi “I-Thou”, maka ada sebuah pandangan dimana tindakan seksual adalah contoh dari relasi tersebut; relasi yang gembira total, koneksi total, dan kesalingan/kebersamaan yang total.

Tindakan seksual terjadi tidak dalam keterisolasian atau kesendirian, melainkan dalam konteks relasi antara dua pribadi. Relasi ini sendiri lebih luas dan lebih kaya daripada tindakan seksual itu sendiri. Puncak seks dimana orang menjadi ‘satu daging’ merupakan suatu kegembiraan dimana satu dengan yang lain saling memberikan eksistensinya dan terlibat dalam suatu koneksi yang total.

Being-With-Others” yang Otentik dan yang Tidak Otentik

Relasi sosial manusia pada umumnya terdistorsi/menyimpang. “Being-with-others” tidak sungguh melibatkan dirinya dan tidak mengalir dari keseluruhan dirinya. Cara dimana orang secara normal bersama tidak cukup pantas untuk disebut sebagai kelompok atau komunitas. Yang ada hanyalah relasi yang menyimpang atau tersimpang/terdistorsi, dimana panggilan bagi individu datang dari kerumunan dan mengambil beban dari yang ada atas dirinya sendiri.

Kierkegaard memaknai kata ‘kerumunan’ atau ‘publik’ sebagai ketidakbenaran, dengan alasan mengenai adanya fakta bahwa hal itu membuat individu menjadi tidak menyesal dan tidak bertanggungjawab, atau sekurang-kurangnya memperlemah rasa tanggung jawabnya. Meski penyesalan dan tanggung jawab tidak bisa dikuantifikasikan atau dibagi, namun yang patut diperhatikan ialah bagaimana mereka mendapat perlakuan dalam kerumunan, dan hal ini berarti bahwa faktanya mereka disisihkan. Massa yang kolektif mendapat kekuatan atas individu melalui sebuah cara yang mengancam/menakutkan. Kierkegaard mungkin sudah memiliki konsep yang pada abad 19 diperdebatkan, yaitu konsep ‘Tuhan’ sebagai suatu nama mitologis untuk kelompok atau komunitas. Tetapi, dia sendiri protes melawan mereka yang memiliki kekuatan absolut bahwa kelompok tidak lambat-laun menanggung individu, dan peringatannya mengenai banyak pembalikan kepada Tuhan yang akibatnya terjadi di abad sesudahnya dalam pendewaan negara oleh Nazi.

Apa yang Kierkegaard kritik sebagai ‘kerumunan’, oleh Nietzsche disebut dengan istilah ‘kumpulan’ (the herd). Kumpulan itu telah menemukan suatu sistem-nilai yang mengontrol kehidupan manusia. Kumpulan itu juga dianggap telah mengambil alih hak istimewa Tuhan: ‘iman pada Tuhan telah mati’. Itulah hasrat untuk menjadi seorang yang berkuasa. Kumpulan itu dicirikan oleh sesuatu yang sedang-sedang saja; tak satupun yang hebat dan tak ada pengecualian. semua dalam kesamaan dan meratakan semuanya menjadi yang dikenal dan tak berbahaya.

Apa yang dijelaskan oleh Nietzsche dalam deskripsinya mengenai ‘mereka’, yaitu sebagai suatu kekuatan tak dikenal yang menguasai kita semua. Ungkapan ‘mereka’ seringkali juga terlontar dalam bibir kita. ‘Mereka’ ini bisa saja seseorang, setiap orang, atau bahkan tak seorang pun. Mereka adalah ‘yang lain’, tetapi bukan yang lain yang tertentu, dan hidup kita dikuasai oleh mereka. Heidegger sendiri juga senada dengan apa yang dimaksud dengan ‘mereka’ ini meskipun dia sendiri tidak membuat suatu poin baru mengenai relasi individu dalam kesehariannya dengan ‘mereka’. ‘Setiap orang adalah yang lain dan tak seorangpun adalah dirinya sendiri’. Diri sehari-hari Dasein adalah “diri-mereka”, yang kita bedakan dari diri otentik, yaitu diri yang telah diambil dalam dirinya sendiri. Sebagaimana “diri-mereka”, Dasein diuraikan menjadi “mereka”, dan harus pertama-tama menemukan dirinya sendiri. Tentu hal ini menandakan suatu keterlibatan individu yang tak terelakkan dengan yang lainnya; meski itu adalah suatu relasi yang menghilangkan individu dari kediriannya yang sebenarnya. Dia dikuasai olehnya dan menjadi subyek bagi yang lain meski secara paradoksal dia sendiri memberikan kekuasaan dari dirinya yang impersonal.

Lalu apa yang membedakan “being-with-others” yang otentik dengan yang tak otentik? “Being-with-others” yang otentik ialah bentuk relasi dengan yang lain yang memajukan eksistensi dalam arti yang sepenuhnya, yaitu membuat manusia berdiri sebagai manusia dalam kebbasan dan tanggung jawab. Sedang “being-with-others” yang tak otentik menekan manusia dan pribadi. Maka apapun relasi yang tidak memanusiawikan adalah relasi yang tidak otentik. Maka disini ada suatu paradoks. Suatu eksistensi individu belaka itu tidaklah mungkin dan tidak bisa secara tepat disebut ‘eksistensi’, karena juga dilihat bagaimana individu bebas dalam menjadi pribadi yang unik sebagaimana dirinya. Komunitas atau kelompok yang sejati pun mengijinkan untuk adanya perbedaan yang sebenarnya.

Being-with-others” yang tidak otentik itu memaksakan keseragaman, atau bisa disebut sebagai egalitarianisme yang keliru. Segala macam keunggulan ditekan. Hendaknya diperhatikan pula bahwa kerumunan merupakan ketidaktoleran dari kekurangan sebagaimana hal itu dalam kekuatan, kerendah dirian, atau merasa diri unggul. ”Being-together” atau ada-bersama yang tidak otentik tidak mentoleris mereka yang berbeda ;segala sesuatu yang menyimpang dari norma yang diterima. Dia berbeda maka ‘dia bukan salah satu dari kerumunan’. Ada suatu diskriminasi; mereka tidak sesuai dengan norma; mereka tidak seperti ‘mereka’.

Dalam tingkat relasi sehari-hari antar pribadi, banyak komunitas atau kelompok yang hanya semata-mata sebagai suatu kerumunan, kumpulan, atau juga ‘mereka’ dengan penekanan pada keseragaman. Maka, relasi yang menindas harus dipatahkan dan rasa kemerdekaan serta martabat harus dimiliki sebelum suatu relasi yang afirmatif dan asli dapat dibangun.

Jika para eksistensialis terlihat menunjukkan bahwa relasi interpersonal biasa pada tingkat yang tidak otentik dan jika mereka terlihat pula menganjurkan individualisme sebagai sebuah pemberontakan melawan ketidakotentikan tersebut, maka hal itu bukan berarti kata terakhir dalam analisis ini. Hal itu harus dikenali bahwa, bagaimanapun, bagi kebanyakan filosof ini, bentuk dari “being-with-others” yang tidak otentik tidak tergambarkan dengan cukup memadai.

N. Arya Dwiangga Martiar

No comments: