Thursday, 21 August 2008

Cerpen: LAZARUS DIBANGKITKAN




Mengingat kembali peristiwa itu, membuat diri Marta merasa demikian beruntung bisa bertemu dengan-Nya. Tidak hanya dirinya saja, tetapi juga Maria saudaranya. Tak mengira bahwa keajaiban itu akan terjadi di depan matanya. Semuanya nyata dan memang nyata. Dan karena Dialah semua hal ini terjadi.
Semua berawal ketika saudaranya yang paling muda, yakni Lazarus, menderita sakit parah karena terlalu lelah bekerja. Marta dan Maria mengira Lazarus hanya masuk angin ditambah demam karena terlalu capek. Apalagi Lazarus sendiri punya kebiasaan yang tidak baik, yaitu mandi malam-malam. Karena dianggap hanya masuk angina biasa, maka Lazarus hanya diobati dengan ramuan rempah-rempah biasa dengan minum sedikti anggur pahit. Tetapi lama-kelamaan sakit Lazarus bukannya hilang dan bertambah baik keadaannya, melainkan bertambah buruk dan itu berlangsung cukup lama. Akhirnya sampai suatu ketika Marta menemui Lazarus terbatuk-batuk mengeluarkan darah. Maka segera dipanggilnya seorang tabib dari kota, meski dia pun tidak dapat berbuat banyak. Dua hari setelah itu, Lazarus meninggal dunia.
“Semua ini salahku. Kalau saja aku segera memanggil tabib tentu keadaannya tidak akan jadi seperti ini..”, kata Marta lirih.
“Tidak, kau tidak bersalah. Akulah yang salah. Aku tidak merawatnya dengan baik,” kata Maria lirih di sela-sela isak tangisnya.
“Andaikata Tuhan ada disini…”, sambung Marta.
Di lain tempat, Yesus sedih mendengar berita kematian Lazarus. Setelah mendengar berita kematian Lazarus, Yesus mengajak murid-muridNya untuk kembali ke Betania meski sebenarnya mereka sedang dalam perjalanan menuju ke Galilea yang berlawanan arahnya.
“Guru, bukankah orang-orang Yahudi di sana baru saja ingin melempari Engkau dengan batu? Dengan kembali ke sana itu berarti sama saja Engkau hendak menyerahkan diriMu kepada mereka? Itu sama saja bunuh diri untukMu!”, kata salah seorang muridNya.
Jawab Yesus, “Saatku untuk itu belum tiba. Sebenarnya Lazarus saudara kita tidak mati, tetapi hanya tertidur. Dan Aku pergi ke sana untuk membangunkan dia dari tidurnya”.
Maka segeralah mereka berkemas dan pergi ke Yudea. Sementara itu di Betania upacara pemakaman baru saja dimulai. Setelah suatu upacara kematian yang dipimpin oleh seorang imam Yahudi selesai, jenazah Lazarus dibawa untuk dimakamkan di sebuah kubur yang terletak di sebuah lobang batu agak ke luar kampung dengan diiringi isak tangis Maria dan Marta dan banyak perempuan Yahudi lainnya dengan memakai pakaian serba hitam.
Setelah pemakaman, masa perkabungan masih akan berjalan selama seminggu lamanya. Maria dan Marta sendiri hanya berada di dalam kamar dalam masa perkabungan itu tanpa melakukan pekerjaan apa-apa selain menangis dan meratapi kepergian saudaranya. Mereka ditemani tetangga dan para sahabat yang berada di sekitar rumah mereka hingga masa perkabungan itu lewat.
Sementara masa perkabungan sudah berjalan 3 hari, datanglah Yesus ke rumah Maria dan Marta. Karena nama Yesus sudah banyak dikenal sebagai seorang pemuda yang pandai membuat mukjijat, maka berduyun-duyun datanglah orang-orang kampung ke rumah Maria dan Marta. Ketika salah seorang datang memberitahu Maria dan Marta bahwa Yesus dan para muridNya sudah ada di depan rumah, segeralah mereka berlari menyongsongNya. Dengan menangis tersedu-sedu mereka menceritakan semua telah yang terjadi kepada Yesus. Dan di akhir cerita mereka, Maria berkata lirih.
“Tuhan, andaikan saja Engkau di sini waktu itu…!”.
“Guru, bukankah Engkau mengatakan bahwa Lazarus hanya tertidur? Mengapa tidak Kau bangunkan saja dia dari tidurnya?”, sela salah seorang muridNya.
Maria dan Marta menangis semakin tersedu-sedu mendengar perkataan itu. Mereka tidak menyangka bahwa rupanya Yesus hanya menganggap Lazarus sedang tertidur. Di sela-sela isak tangisnya, berkatalah Marta kepada Yesus.
“Tuhan, Lazarus tidak tertidur. Dia sudah mati dan sudah dikuburkan 3 hari yang lalu”.
“Tidak Marta, Lazarus hanya tertidur panjang. Mari kita pergi ke sana dan membangunkannya”.
“Tuhan, kami semua di sini melihat sendiri bagaimana dia mati. Kalaupun dia memang tertidur, biarlah sekarang dia terlelap dalam tidur panjangnya”, sambung Maria.
“Tuhan, dengan berkata bahwa Lazarus hanya tertidur, itu sama saja Engkau menertawakan kami yang sedang berkabung untuk kematiannya. Tolong jangan menambah kesedihan lagi bagi kami”, ratap Marta.
Tanpa memperpanjang perdebatan itu, Yesus minta kepada diantar ke makam Lazarus kepada salah satu orang yang ada di sana. Segera saja tersiarlah berita bahwa Yesus hanya menganggap Lazarus tidur dan banyak orang segera pergi untuk melihat apakah benar Yesus hendak membangunkan Lazarus. Maria dan Marta mengikuti Yesus dan para muridNya dari belakang diikuti dengan orang banyak yang kebanyakan datang karena rasa penasaran.
Setibanya di sana, Yesus minta kepada beberapa orang untuk memindahkan batu besar yang menutupi kuburan itu. di belakangnya, Maria dan Marta hanya melihat dengan terisak-isak bersama beberapa wanita tetangga mereka. Mereka hanya bisa diam melihat apa yang dilakukan oleh Yesus. Sementara 3 orang pria memindahkan batu penutup makam, datanglah seseorang yang sudah beruban menghampiri Yesus. Rupanya ia adalah imam Yahudi yang memimpin upacara pemakaman Lazarus.
“Tuan, Lazarus sudah mati. Biarkan dia beristirahat dengan tenang. Tidakkah Engkau melihat bahwa perbuatanMu itu hanya semakin menambah kesedihan Maria dan Marta? Bukankah lebih baik bila kita menghibur mereka yang sedang berkabung karena ditinggalkan oleh Lazarus?”.
“Tuan, percayalah bahwa Lazarus hanya tertidur. Datang dan lihatlah!”, jawab Yesus.
Yesus berpaling menuju lubang yang merupakan pintu masuk ke makan Lazarus. Sejenak Dia terlihat diam memandang ke arah pintu itu. Setelah itu, Dia berkata dengan suara yang cukup keras.
“"Lazarus, marilah ke luar!”.
Semua yang ada di situ menatap ke pintu gua dan diam menunggu apa yang terjadi. Demikian pula Maria dan Marta, hanya terdiam dan menunggu. Lalu terjadilah hal itu. Perlahan-lahan muncullah Lazarus dengan kain kafan yang masih menutupi sekujur tubuhnya berjalan keluar menuju ke pintu gua. Semua yang ada di situ menahan nafasnya untuk sesaat. Mereka terkejut melihat hal itu. mereka semua tak menyangka bahwa Lazarus yang mereka lihat sudah mati ternyata sedang berjalan menuju mereka. Tiba-tiba saja Maria dan Marta menyeruak dari kerumunan dan berlari menuju Lazarus yang juga terheran-heran memandang mereka. Maria dan Marta menangis memeluk Lazarus sementara banyak orang mulai ramai menggumam, heran atas kejadian yang baru saja mereka lihat. Sementara Yesus menyuruh Lazarus untuk membuka kain yang menutupi sekujur tubuhnya, di tengah kerumunan orang banyak itu ada seorang yang melihat dengan takjub peristiwa itu dan berkata’
“Sungguh, Dia ini Anak Allah”.

N. Arya Dwiangga Martiar

MENJUAL MIMPI LEWAT SINETRON




Rasanya tak ada televisi di Indonesia yang lepas sepenuhnya dari tayangan sinetron. Lihat saja sedari pagi hingga malam, pasti ada stasiun televisi yang menayangkan tontonan sinetron. Sinetron yang merupakan singkatan dari sinema elektronik memang merupakan serial pendek yang perekamannya sendiri mengandalkan kecanggihan teknologi digital. Oleh karena itulah, tayangan itu disebut dengan sinetron, singkatan sinema elektronik.

Sinetron yang ditayangkan di televisi terkesan serba ‘wah’. Kesan ‘wah’ ini nampak secara fisik saja, dengan pemain-pemain serba cantik dan tampan, setting-nya kebanyakan berada di rumah-rumah mewah dengan interior yang terlihat mewah, meski kalau dilihat jalan ceritanya itu biasa-biasa saja bahkan boleh dibilang miskin kreasi. Semua melulu hanya bertemakan cinta antara sepasang kekasih dengan alur cerita ala film-film Bollywood atau Hollywood yang selalu happy ending. Tak ada yang istimewa selain ‘kelebihan’ yang ditawarkan melalui kemewahan berupa pemain-pemain yang selalu berdandan rapi, cantik dan tampan, rumah-rumah mewah dan besar, restoran-restoran mahal, mobil-mobil mulus, dan yang tak boleh dilupakan karena selalu jadi ciri khas sinetron, yaitu akting pemain-pemainnya yang serba berlebihan dan terlalu dibuat-buat.

Kalau diperhatikan dengan seksama, bisa dilihat bagaimana pemain-pemain dalam sinetron dalam situasi dan kondisi apapun selalu berdandan. Kalau yang pria selalu dengan pakaian yang rapi atau gaul dengan potongan rambut yang mungkin sedang jadi trend di kalangan anak muda, kalau wanita selalu dengan bibir bergincu aneka warna dengan wajah yang terlihat putih mulus karena riasan. Lalu kendaraan yang ditumpangi juga selalu mobil-mobil mewah dengan merek-merek terkenal yang di Indonesia pun hanya terdapat beberapa buah saja.

Dengan cerita yang monoton dan ditambah akting pemainnya yang biasa-biasa saja, maka sinetron tak lain hanyalah tayangan yang hanya menjual mimpi saja. Mimpi orang jaman sekarang yang selalu ingin kaya tanpa susah bekerja, punya rumah besar dan mobil mewah, selalu makan di restoran mahal, dan tampil cantik atau tampan di setiap kesempatan. Maka sinetron seperti itu hanya membuat orang bermimpi agar bisa seperti itu, tetapi di sisi lain juga menggeser nilai-nilai bahwa apa yang ‘baik’ dan ‘bagus’ itu seperti yang ada dalam sinetron, yakni wajah cantik atau tampan, juga kaya dan berduit, dalam kehidupan sehari-hari. Kalau makanan cepat saji disebut junk food, maka sinetron-sinetron macam ini boleh dikata sebagai junk show.


N. Arya Dwiangga Martiar

Wednesday, 20 August 2008

APA ITU BERAGAMA?




Bangsa Indonesia hampir berusia 63 tahun. Sebuah rentang waktu yang cukup panjang mengingat banyak hal yang telah terjadi mengisi tapak demi tapak sejarah bangsa Indonesia. Bila dibanding dengan sejarah umat manusia, umur ‘manusia Indonesia’ masih belum ada apa-apanya. Manusia ‘baru’ ada sekitar 2 juta tahun yang lalu dan itu jauh lebih kecil dibanding umur bumi yang 50 miliar tahun dan masih akan terus hidup hingga 5 miliar tahun ke depan, sebelum matahari membengkak 25 kali lipat dibanding sekarang dan menjadi bola raksasa merah yang mendidihkan segala air di bumi menjadi uap lebih dari 500 derajat celcius. Dibutuhkan 2 juta tahun evolusi untuk menjadikan manusia dari homo habilis (manusia terampil) menjadi homo sapiens (manusia bijak) hingga seperti sekarang ini .
Seiring dengan waktu dan jaman yang terus berjalan, banyak hal mengalir berkembang seiring dengan perkembangan manusia. Perkembangan manusia tidak pernah terlepas dari historisitasnya karena manusia merupakan pemain sekaligus menjadi penentu alur di dalamnya. Manusia membentuk berbagai macam pemikiran, dan pandangannya pun turut diubah seiring dengan arus tersebut. Romo Mangun mengatakan bahwa manusia sekarang ini adalah manusia pasca-Einstein yang sudah berbeda inti kedalamannya dengan manusia pra-Einstein dan itu berarti sangat memungkinkan adanya perbedaan penghayatan terhadap dimensi keilahiannya . Manusia yang dulu terpesona atas janji kemajuan humanisme renaisans dan diteruskan pada keoptimisan aufklarung karena dijanjikan bertemu dengan kebahagiaan melalui kebebasan akal budinya sekarang bergeser pada ilmu pengetahuan sebagai pencari kebenaran yang memuaskan. Lihat saja ilmu kedokteran barat dengan segala sistematikanya yang analitis, logis, lagi metodis-empiris, yang sedemikian maju sehingga orang berbondong-bondong datang ke rumah sakit demi mencicipi salah satu hasilnya. Apa yang nenek moyang dahulu katakan bahwa sakit itu karena mereka salah memberi sesaji kepada roh-roh danyang penunggu pohon beringin, jembatan, perempatan jalan, dan sebagainya , kini hanya menjadi gelengan kepala para sarjana yang telah melangkah jauh meneliti kromosom-kromosom atau atom-atom yang ternyata berbentuk gelombang sekaligus merupakan partikel-partikel berukuran mikro. Manusianya masih sama antara yang pra-Einstein dan pasca-Einstein, tetapi lain sama sekali cara berpikirnya, cara pandangnya, cara pengambilan reaksi, keputusan, serta kesimpulannya. Maka, banyak orang semakin sadar bahwa sekarang ilmu pengetahuan menjadi satu-satunya ‘agama’ yang dipercaya oleh banyak orang dan menyatukan banyak bangsa di seluruh muka bumi. Benar pula apa yang dikatakan Francis Bacon mengenai semboyan knowledge is power, bahwa akhirnya ilmu pengetahuan menjadi bahasa universal sekaligus kekuatan yang besar dalam kehidupan manusia . Lalu pertanyaannya, dengan situasi yang berkembang seperti ini apakah praktik hidup beragama masih relevan? Di satu sisi masih terdapat keinginan untuk beriman dan ingin beragama secara betul . Tetapi, di sisi lain ternyata ada perbedaan yang tidak bisa terjembatani hanya melalui ungkapan-ungkapan agama tradisional yang sudah ribuan tahun umurnya terhadap pengaruh dan dampak ilmu pengetahuan dan teknologi . Singkatnya, ada perbedaan ‘bahasa’ disitu.
Pertanyaan di atas tidaklah tanpa alasan. Secara sederhana kita bisa melihat bahwa metode ilmu pengetahuan yang senantiasa analitis, kritis dan empiris sudah kita jumpai sedari dini sejak TK hingga perguruan tinggi. Melalui percobaan-percobaan sistematis dengan pengukuran-pengukuran kuantitatif matematis dan pengujian pembenaran atau penyalahan menurut aturan sains yang ketat membuat manusia hanya mau menerima hal-hal yang dapat dibuktikan tampak-nyata oleh pancaindra dan pikiran . Maka, kebenaran mutlak tidak ada karena bagi manusia empiris yang ada hanyalah probability dan prinsip ketidakpastian yang dibatasi oleh keterangan “nyata bagi pengamat” . Hal ini tentu menjadi ancaman bagi agama tradisional yang lahir di masa lampau yang dibahasakan dengan menggunakan ekspresi zaman dan budaya nomad atau agraris . Ekstremnya, jikalau Tuhan tidak dapat dirumuskan secara empiris dengan perumusan matematika, maka Tuhan tidak ada atau nonsense bagi orang secara subjektif . Pandangan ini memang sangat radikal. Tetapi, kenyataan ini tidak untuk ditutup-tutupi, melainkan haruslah direfleksikan lebih lanjut bagi mereka yang masih menyadari bahwa di dalam lubuk hatinya yang paling dalam masih terdapat kerinduan untuk beriman karena disinilah religiositas menjadi memiliki arti.
Akhirnya menjadi sedikit jelas bahwa agama dengan praktiknya memiliki perbedaan bahasa dengan apa yang sekarang ini manusia geluti. Apa yang dahulu begitu mudah diikuti dan dihayati ternyata menjadi demikian sulit untuk diikuti dan diimani sekarang ini. Dengan kata lain, apa yang dahulu relevan menjadi tidak relevan lagi sekarang. Apa yang dahulu dianggap sebagai cara paling baik untuk mengungkapkan rasa syukur pada Tuhan sekarang sudah menjadi kata-kata kosong tanpa pemaknaan. Ada pergeseran nilai di situ. Untuk menyambungnya kembali, berarti salah satu harus menyesuaikan terhadap yang lain dan itu berarti praktik hidup beragama harus menyesuaikan dengan keadaan zaman yang memang menuntut demikian. Bisakah itu terjadi?



Daftar Pustaka
Hardiman, F. Budi. Filsafat Modern Dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004.
Mangunwijaya, Y. B. Manusia Pascamodern, Semesta, dan Tuhan. Yogyakarta: Kanisius, 1999.

N. Arya Dwiangga Martiar

Friday, 15 August 2008

TOTALITAS, RASIONALISASI, DAN KOMPROMI HIDUP BERKAUL


TOTALITAS, RASIONALISASI, DAN KOMPROMI
HIDUP BERKAUL

1. Sudah sejak awal pewahyuan dalam Perjanjian Lama, kalau Tuhan menjalin relasi dengan manusia, yang dituntut adalah relasi yang TOTAL: TIDAK SETENGAH-SETENGAH atau MENDUA. Kita dapat melihat hal itu misalnya ketika Allah mewahyukan diri dan menyampaikan Sepuluh Perintah-Nya kepada bangsa Yahudi: “Akulah Tuhan, Allahmu … Jangan ada padamu Allah lain di hadapanKu” (Kel 20:2-3). Allah itu tidak mau disaingi, tidak mau dinomorduakan. Beginilah firman Tuhan kepada Musa hambaNya untuk disampaikan kepada umat Israel: “Janganlah engkau sujud menyembah Allah lain, karena Tuhan, yang namanya Cemburuan, adalah Allah YANG CEMBURU.” Dan bangsa Yahudi yang mengikuti Allah dan mempersembahkan korban kepada Allah bangsa kafir disebut Tuhan dengan kata ‘BERZINAH’ (Kel 34:14-15). Mereka HARUS SECARA TOTAL MENYEMBAHNYA. Maka Musa pun menyampaikan hukum yang paling utama kepada bangsa Israel: “Dengarlah, hai orang Israel: Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu Esa! KASIHILAH TUHAN, ALLAHMU, DENGAN SEGENAP HATIMU DAN DENGAN SEGENAP JIWAMU DAN DENGAN SEGENAP KEKUATANMU” (Ul 6:4-5).

2. Yesus pun tetap menampilkan sifat Allah yang khusus ini, ialah ‘suka cemburu’, TIDAK MAU DINOMORDUAKAN, tidak mau disaingi. Bila orang mau berelasi dengan Dia, maka harus TOTAL dan SEPENUH HATI. Ini nampak jelas dalam kata-kataNya yang keras: “Jikalau seorang datang kepadaKu dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi muridKu” (Luk 14:26). Perikop: Hal Mengikuti Yesus dalam Luk 9:57-62 itu sarat dengan tuntutan Yesus yang keras dan menantang. Berpamitan dengan keluarganya saja tidak boleh: “Setiap orang yang siap untuk membajak tetapi MENOLEH KE BELAKANG, TIDAK LAYAK untuk Kerajaan Allah” (Luk 9:62).

3. Jelas bahwa TUNTUTAN INI untuk manusia dengan segala kelemahannya di sepanjang jaman SANGATLAH BERAT. Maka berkali-kali bangsa Yahudi ‘berzinah’ terhadap Yahwe Allah mereka; dengan mengikuti berhala-berhala kafir. Mereka ingin beribadat secara konkret, melihat siapa yang mereka sembah, seperti bangsa-bangsa lain. Lalu mereka buat patung anak lembu tuangan dari emas dan berseru: “Hai Israel, inilah Allahmu yang telah menuntun engkau keluar dari tanah Mesir” (Kel 32:8). Ini salah satu bentuk RASIONALISASI: mencari alasan untuk membenarkan apa yang diinginkan. Beribadat secara konkret?? Apakah ini pasti lebih benar dan lebih baik? Ataukah sebenarnya hanya mencari kepuasan sensasi belaka dan ikut arus supaya aman??

Contoh rasionalisasi dalam Injil mungkin boleh kita sebut: Orang-orang yang mencari alasan untuk tidak memenuhi undangan perjamuan besar (Luk 14-16-24). Apakah harus pada saat pesta itu diselenggarakan, seorang harus melihat tanah yang baru saja dibeli? Atau, seorang yang lain harus mencoba lima pasang lembu? Atau, seorang yang lain berkata: “Aku baru kawin … (I have just got married)”. Dengan kata lain: bukan sedang mengadakan pesta nikah sendiri, melainkan baru saja selesai. Bukankah lebih tepat bila datang berdua sebagai penganin baru? Rupanya justru hadir itulah yang mau dihindari. Kita pun juga pandai mencari berbagai alasan untuk menghindari sutau hal, tugas, atau situasi yang tidak kita kehendaki. Bahkan mungkin lebih cerdik dan lebih canggih daripada orang itu tadi, sehingga alasan kita lebih berbobot, lebih masuk akal, dan bahkan lebih pantas dipertimbangkan. Itu semua merupakan REASONABLE REASON, alasan yang masuk akal. Tetapi apakah itu memang THE REAL REASON? Apakah itu itu memang alasan yang sesungguhnya, yang sejujurnya? Hendaknya kita bisa MEMBEDAKAN DUA ALASAN ini dengan jelas. Kalau tidak, kita akan terjebak dalam penipuan diri di bawah sadar, padahal orang lain jelas-jelas melihatnya.

4. TUNTUTAN TOTALITAS dari Tuhan yang terasa berat oleh orang ‘yang dipanggil’ ini menimbulkan berbagai sikap. Ada yang menolak, ada yang menerima, ada yang KOMPROMI. Marilah kita bicara tentang yang terakhir ini saja, khususnya dalam panggilan hidup bakti/panggilan sebagai religius. Berkaul KETAATAN tetapi selalu berhasil mendapat tugas yang dipilih sendiri. Berkaul KEMISKINAN tetapi mempunyai semua fasilitas yang disenangi (BUKAN YANG PERLU). Berkaul KEMURNIAN tetapi menikmati kehangatan afeksi yang dianggapnya wajar, padahal orang lain yang melihat mengatakan bahwa itu sudah KELEWAT BATAS. Mestinya sikap macam ini yang dikecam Tuhan sebagai SUAM-SUAM KUKU dalam Why 3:16. lalu teks itu dapat dibaca: “Karena kamu BUKAN AWAM (karena berkaul) dan BUKAN RELIGIUS (karena tidak menghayati kaul) Aku akan memuntahkan engkau …” Sikap kompromi akibat rasionalisasi ini kiranya memang sungguh MEMUAKKAN TUHAN dan memang pantas DIMUNTAHKANNYA.

PS: Terima kasih sebesar-besarnya untuk Rm. Udyasusanta, SJ untuk bahan ini dan untuk bimbingan beliau bagi saya dalam mencari kehendakNya.

Wednesday, 13 August 2008

CINTA ITU TIDAK ADA



Bagiku tidak ada yang namanya cinta. Cinta saja tidak ada, terlebih juga dengan cinta sejati. Mengapa aku berani mengatakan bahwa cinta itu tidak ada? Argumenku yang pertama ialah bahwa (1) bila cinta itu ada maka dia tidak dapat tidak ada. (2) Bila cinta itu ada, maka cinta yang ada itu tidak dalam proses menjadi (becoming). Itu berarti bahwa terjadi proses dari yang tidak ada menjadi ada. Dengan kata lain, bila cinta itu memang ada maka cinta yang ada itu kekal; tidak mengenal awal dan akhir. (3) Bila cinta memang ada, maka cinta yang ada itu tidak berubah-ubah. Dengan kata lain, bila terjadi perubahan maka itu berarti cinta itu kadang ada dan kadang tidak ada.
Argumenku yang pertama ialah bahwa bila cinta itu ada maka dia tidak dapat tidak ada. Bila cinta memang ada dimiliki oleh semua orang maka tidak ada saat dimana cinta itu tidak ada atau hilang. Tetapi nyatanya dengan mudah ada orang berkata mengenai ‘tidak adanya cinta’ atau ‘belum adanya cinta’. Atau ketika orang dengan enteng berkata ‘cinta itu sudah pergi’. Lalu cinta sendiri itu apa? Kalau memang sungguh ada seharusnya cinta itu ada terus, bukannya harus ditunggu kedatangannya. Ada berarti ada, dan tidak ada berarti tidak ada. Yang ada tidak mungkin menjadi tidak ada dan sebaliknya.
Argumenku yang kedua ialah bila memang cinta itu ada, maka cinta yang ada itu tidak dalam proses menjadi (becoming). Tidak ada proses dari ketiadaan menjadi ada karena bila demikian berarti ada saat bahwa cinta itu tidak ada. Dengan kata lain, ada waktu dimana cinta itu ‘belum tercipta’ dan menunggu proses terciptanya cinta. Itu sama saja dengan menyatakan bahwa cinta itu tidak kekal karena mengalami proses dari tidak ada menjadi ada. Padahal bila cinta itu ada, maka cinta itu selalu ada dan tidak dapat tidak ada. dengan kata lain, cinta tidak mengenal awal dan akhir.
Argumenku yang ketiga ialah bila cinta itu ada, maka cinta yang ada itu tidak berubah-ubah atau mengalami perubahan. Melanjutkan argumenku yang kedua, bila cinta itu memang ada maka dia tetap dan tidak berubah-ubah. Perubahan menandakan masih adanya ‘ruang’ untuk berubah. Perubahan berarti menandakan masih terjadinya ‘pengurangan’ dan ‘penambahan’ atau ‘penyusutan’ dan ‘pengembangan’. Dengan kata lain, masih ada ruang untuk suatu proses. Kembali lagi ke argumenku yang kedua, bila memang cinta itu ada maka dia tidak dalam proses menjadi. Tidak pula dalam proses ‘berubah-ubah’.
Lalu apa yang selama ini disebut cinta oleh banyak orang? Menurutku, ‘cinta’ yang disebut itu tak lain adalah suatu pengobyekkan demi memuaskan hasrat, perasaan, ataupun bahkan nafsu keinginan diri yang egoistik. Aku sebut pengobyekkan karena yang terjadi bukan hubungan aku-engkau sebagai subyek dengan subyek, melainkan hubungan aku sebagai subyek terhadap engkau sebagai obyek. Obyek untuk apa? Tak lain sebagai obyek untuk memuaskan hasratku, keinginanku, dan juga egoku. Hubungan yang terjadi bukanlah hubungan kesetaraan, melainkan hubungan atas-bawah.
Bila orang berkata ‘ aku cinta kamu’, itu tak lain berarti bahwa ‘aku merasa cocok denganmu karena kamu adalah ini, itu, dst. ‘Aku cinta kamu’ berarti bahwa kamu sesuai dengan apa yang kuinginkan. Kamu sesuai dengan seleraku, dan dengan adanya kamu maka aku merasa terpuaskan. Maka dengan ‘aku cinta kamu’, itu berarti bahwa ‘kuharap dirimu tetap seperti itu dan jangan berubah menjadi apa yang bukan mauku. Bila engkau tidak lagi sesuai dengan mauku aku tidak akan mencintai engkau, karena engkau tidak lagi memuaskan diriku; tidak sesuai dengan seleraku’. Di titik itulah orang yang ‘kucintai’ menjadi obyek atas keinginanku, atas egoku belaka, tidak lebih. Dan biasanya disitulah titik rawan terjadinya paksaan-paksaan atas nama ‘cinta’ yang tak lain hanyalah kedok dari ego belaka. Lalu, dari situ mulai muncul apa yang disebut dengan ketidakbahagiaan atau kesedihan. Kesedihan atau ketidakbahagiaan itu terjadi tak lain karena ‘apa yang kuinginkan, apa yang bisa memuaskan egoku, tidak lagi menjadi “milikku” sehingga hasratku tidak terpuaskan’. Kata ‘milikku’ berarti bahwa orang lain kuanggap sebagai instrumen, sebagai alat, sebagai benda, yang ‘bisa dipakai’ untuk memuaskan egoku. Dengan kata lain, hubungan (kesalingan) cinta merupakan hubungan subyek-obyek yang tak lain adalah hubungan fungsionalitas belaka, tak lebih.
Lalu, adakah ‘cinta’? Silahkan cari jawaban atas pertanyaan ini dalam permenunganmu sendiri. Bila kau bertanya padaku, jawaban dan pendirianku sudah jelas: cinta itu tidak ada.

N. Arya Dwiangga Martiar

Friday, 8 August 2008

NASIONALISME


Apa itu nasionalisme (bagi bangsa Indonesia)? Bagi Benedict Anderson, nasionalisme bukanlah sesuatu yang diwariskan oleh nenek moyang. Maka, nasionalisme bukanlah sesuatu yang sudah tua umurnya. Anggapan yang keliru seperti ini membuat nasionalisme terkesan sudah ada sejak lahir dan muncul secara alamiah dalam darah dan daging. Anggapan keliru lainnya ialah bahwa bangsa dengan negara adalah dua hal yang identik. Yang benar ialah bahwa negara jauh lebih tua daripada bangsa. Khususnya bagi Indonesia, pemerintahan kolonial sudah ada sebelum negara Indonesia terbentuk.

Menurut B.Anderson, nasionalisme merupakan sesuatu yang dibentuk (constructed). B.Anderson melihat nasionalisme sebagai sesuatu yang merupakan “proyek bersama” pada masa kini dan masa mendatang yang menuntut adanya pengorbanan diri, bukan pengorbanan orang lain. Nasionalisme tumbuh ketika, dalam sebuah wilayah tertentu, penduduknya mulai merasa bahwa mereka memiliki tujuan yang sama; mempunya masa depan yang sama. Mereka juga merasa terikat dengan sebuah persahabatan setara dan dalam yang tumbuh secara tiba-tiba dan cepat sebagai pembaruannya. Dengan kata lain, mereka terikat dengan visi dan harapan yang sama dengan orientasi pada masa depan dan berbasis pada kaum muda.

Jika nasionalisme merupakan sebuah proyek bersama untuk masa sekarang dan masa mendatang, maka pemenuhannya tidak akan pernah selesai. Nasionalisme harus senantiasa diperjuangkan dalam setiap generasi karena tidak serta-merta seeorang yang lahir di Indonesa langsung memiliki kesadaran sebagai orang Indonesia. Dia harus memperjuangkan keIndonesiaannya dengan resiko bahwa hal itu bisa gagal layaknya suatu pertaruhan. Pertaruhan antara mementingkan ambisi-ambisi pribadi dengan kesetiaan terhadap gagasan proyek bersama tersebut. Pertaruhan ini bisa dimenangkan jika orang-orang Indonesia berjiwa besar dan berpikiran luas untuk menerima keanekaragaman dan kompleksitas bangsa Indonesia.

Banyak orang Indonesia yang berpikir bahwa Indonesia adalah “warisan”, bukan sebagai sebuah proyek bersama. Karena Indonesia adalah warisan, berarti mereka yang hidup sesudahnya adalah pewaris yang memiliki hak terhadap warisan itu. Lalu timbulah perselisihan untuk memperebutkan warisan tersebut. Orang pun juga berpikir bahwa Indonesia sebagai suatu warisan berarti juga harus dipertahankan dengan segala cara. Inilah yang terjadi di Aceh dan Irian, di mana secara pemerintah pusat menekan rakyat setempat secara represif-militeristik karena dianggap pemberontak.

Berkaca dari pengalaman di Aceh dan Irian, hendaknya orang Indonesia berpikir realistis dan menyadari kebebasan yang asli, termasuk kemungkinan federalisasi Indonesia. Perlu adanya perubahan arah kebijakan. Jika memang Undang-Undang Dasar 1945 sudah tidak sesuai dengan dengan kondisi lingkungan yang terus-menerus berubah, maka bisa diadakan penyesuaian. Bahkan bila perlu pemeriksaan dan perbaikan menyeluruh terhadap UUD 1945. Kejadian tahun 65-66 dengan korban ratusan ribu orang memberi pengaruh sangat besar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia hingga saat ini. Suatu trauma yang berkepanjangan yang dibayang-bayangi kekejaman terhadap saudara sebangsa membentuk cara pandang manusia Indonesia yang berusaha menghindari kejadian-kejadian itu sebagai “yang dilakukan seseorang”. Kejadian ini bukannya untuk dihindari, melainkan harus disadari dan dengan kesatria berani meminta maaf atas kesalahan masa lalu tersebut.

Banyaknya organisasi-organisasi, institusi-institusi yang memperjuangkan hak-hak manusia sekarang ini merupakan suatu fenomena yang wajar. Bahkan memang sudah seharusnya demikian. Tetapi, dalam konteks ini, yang lebih mendesak ialah memperjuangkan hak-hak manusia Indonesia untuk berpartisipasi secara sukarela, bersemangat, bersama, dalam proyek bersama tanpa adanya ketakutan. “Hak-hak asasi manusia Indonesia” ini hanya bisa diperjuangkan dan direalisasikan oleh orang-orang Indonesia sendiri. Dan suatu kebangkitan yang nyata dari proyek bersama ini telah diprakarsai hampir seratus tahun yang lalu oleh tokoh-tokoh macam Dr. Soetomo, Natsir, Sjahrir, dsb.

Sekali lagi, kebangkitan kehidupan bangsa yang sesungguhnya akan membutuhkan suatu pemeriksaan menyeluruh atas sistem pemerintahan, terutama dalam kebijakan otonomi daerah. Dibutuhkan pula pertumbuhan budaya politik yang sehat dan ksatria serta penghilangan sadisme dan gangsterisme. Lalu diperlukan adanya cinta, cinta yang sebenarnya, bagi institusi-institusi nasional. Terakhir, yang dibutuhkan ialah rasa malu. Malu bila negaranya melakukan kejahatan, termasuk bagi mereka yang memusuhi teman sebangsanya. Meskipun dia sendiri tidak melakukan hal itu atau sesuuatu hal buruk yang lain, sebagai anggota dari proyek bersama, dia akan merasa tersangkut secara moral dalam segala sesuatu yang dilakukan dalam nama proyek bersama tersebut. Politik rasa malu seperti ini baik dan selalu dibutuhkan. Jika pandangan akan rasa malu ini dapat berkembang secara sehat di Indonesia, orang-orang Indonesia akan memiliki dorongan untuk menghadapi horor dari era orde baru tidak sebagai yang “dilakukan seseorang”, tetapi sebagai sebuah beban bersama.

KEUTUHAN SEMINARI(S)



Tentang Seminari Garum? Wah, ngomongin Seminari Garum pasti jadi nostalgia yang enggak akan ada habisnya. Bagaimana bisa habis kalau ternyata banyak hal yang bisa digali dan didapat dari sana. Entah cuma sebentar ataupun yang sampai 4 tahun pasti merasakan sesuatu yang lain, termasuk saya juga. Di satu sisi senang juga bisa hidup dengan bermacam-macam orang dan belajar banyak hal, tapi di sisi lain eman-eman juga karena selama empat tahun-1460 hari hidup hanya di lingkungan yang homogen, teratur, disiplin-juga-ketat, yang rasanya bikin enggak bebas. Homogen? Ya jelaslah, kan semuanya cowok. Oke deh, masih ada perempuannya: suster dengan mbak-mbak di belakang yang bantu masak dan cuci itu khan. Tapi mereka kan pengecualian, dan enggak setiap waktu bisa ketemu kecuali bagi teman yang dalam kefungsionarisan menjabat jadi seksi refter. Serba teratur? Namanya seminari pasti teratur. Bel pagi sudah berdering jam 5 kurang 15 menit, padahal kalau di rumah jam segitu masih enak-enaknya tidur. Mau molor sebentar lagi juga boleh sih, tapi hati-hati kalau mas KU atau WKUnya muter lagi, pasti bakalan dikelinting lagi. Apalagi ngelintingnya pas di telinga! Lalu benarkah aturan yang ada di seminari bikin enggak bebas? Wah, bicara soal bebas-enggaknya di Seminari Garum pasti larinya selalu ke soal peraturan. Seperti tadi, yang jelas Seminari sejak jaman dulu sampai sekarang terkenal dengan kedisiplinannya. Tapi bukankah di situlah kekhasan seminari dan justru di situlah pribadi seminaris dibentuk? Tapi apakah kedisiplinan itu menghambat kebebasan tentu lain soal. Kebebasan macam apa dulu yang dimaksud?

Katanya, kelas 2 di seminari itu saat nakal-nakalnya seminaris. Kenapa kelas 2? Kalau kelas 1 biasanya enggak bakalan terjadi. Namanya juga baru masuk, tentu adaptasilah yang jadi fokus utama baik dalam hal bersosialisasi ataupun dalam hidup studi yang serba baru. Sedang kalau kelas 3 sudah saatnya ‘belajar beneran’ karena sebentar lagi mau ujian akhir. Masak mau enggak lulus? Kelas 4? Wah, malu dong (ketahuan) nakal. Khan sudah gedhe. Apalagi mereka juga diberi tanggung jawab menjadi pamong adik-adik kelas 1 baik di Dormit (Ruang Tidur) ataupun menjadi pamong studi. Ditambah lagi kesibukan ber-weekend pastoral di stasi sudah menyita banyak waktu disamping tugas untuk membuat karya tulis ilmiah. Dengan alasan itu, maka kelas 2 ialah saat yang paling ‘ideal’. Adaptasi terhadap tuntutan studi sudah mulai jalan ditambah sudah punya pandangan yang cukup luas menyangkut seluk-beluk lingkungan seminari. Kloplah! Tapi apakah selalu seperti itu?

Waktu itu jam studi malam di sebuah ruang kelas 2. Seorang teman sedang sharing pengalamannya dengan begitu semangat kepada teman-teman sekelasnya, termasuk saya di antaranya. Karena ceritanya lucu tentu semua yang mendengarkan tertawa semua sehingga tanpa sadar suasana yang semula hening menjadi ramai. Tanpa diketahui oleh siapapun, Romo disiplin yang waktu itu Romo Pratisto sudah memperhatikan tingkah kami sekelas dari luar jendela. Namanya saja enggak tahu maka keramaian pun tetap jalan terus hingga tiba-tiba duuarrr.....suara jendela bergetar. Rupanya kesabaran Romo Pratisto sudah habis sehingga jendela menjadi korban tangannya. Kami sekelas langsung terdiam. Teman yang sedang ber­-sharing di depan kelas perlahan-lahan kembali ke tempat duduknya. Lalu kami semua disuruh keluar kelas dan melanjutkan belajar di lapangan basket dengan diterangi lampu lapangan yang besar-besar hingga waktu studi malam selesai. Wah, ini sih namanya ngawur. Enggak tahu waktu yang tepat mana saatnya untuk belajar dan mana saatnya untuk sharing dan ngobrol. Juga kurang awas dengan situasi dan kondisi yang ada di lapangan, sehingga kalau tahu ada Romo yang lewat bisa segera memberi kode agar semua diam. Mungkin ini sama juga ketika beberapa teman, termasuk saya, yang sedang asyik ‘memanen’ buah Apokat tetangga yang ada di sebelah luar belakang Dormit 2 dengan memanjat kamar mandi dam kebetulan ketahuan frater pamong yang sedang bersepeda keliling seminari dari luar. Memang terkesan nakal dan mungkin memang nakal beneran, tapi ini bukan penilaian soal gagal atau tidaknya karena disinilah seminaris belajar mengenal dirinya dan dunianya. Seminari sebagai tempat pembinaan calon imam justru menemukan maknanya ketika menjadi ‘laboratorium’ dimana seminaris berani mewujudkan idealismenya berhadapan dengan realita kemajemukan dan batas-batas norma serta aturan tetapi sekaligus berani bertanggung jawab dan belajar atas apa yang telah diperbuat.

Berbicara mengenai masalah tanggung jawab, saya teringat dengan salah satu pengalaman yang menghebohkan seminari dan mungkin menjadi salah satu lembaran abu-abu yang ada, yakni peristiwa kursi terbakar di ruang aula atas karena electric heater yang njebluk. Untung saja segera diketahui sehingga api bisa segera dipadamkan. Coba kalau tidak segera diketahui, bisa-bisa gedung dan aula yang baru dibangun itu habis dilalap api. Peristiwa heater njebluk itu sendiri telah membuat Romo Edi Laksito sebagai rektor (yang sekarang Vikjen Keuskupan Surabaya) sampai turun tangan termasuk dengan mengadakan misa berintensi khusus, serta interogasi besar-besaran oleh Romo Disiplin, Romo Pratisto, untuk menemukan siapa ‘dalang’ peristiwa itu. Waktu memimpin misa sendiri, Romo Edi sampai menangis karena tak ada yang berani bertanggung jawab atas peristiwa itu. Berkaitan dengan masalah tanggung jawab, apakah itu berarti seminari tidak berhasil menanamkan rasa tanggung dalam diri seminaris? Apakah ini berarti sebuah kegagalan seminari?

Kegagalan erat kaitannya dengan terputusnya suatu tujuan atau rencana yang telah disusun dan direncanakan sedari awal. Suatu hal juga dikatakan gagal bila tidak berhasil memenuhi atau mencapai rencana yang telah disusun. Seminari sendiri sebagai tempat pendidikan calon imam di tingkat menengah atas tentu memiliki tujuan, dan tujuan itu jelas yaitu mempersiapkan seminaris di jenjang menengah dan agar siap untuk melanjutkan ke jenjang formatio yang lebih tinggi. Tugas itu menjadi semakin berat karena Seminari tidak hanya mempersiapkan seminaris dari sisi kognitif saja, tetapi juga sisi afektif dan spiritual pula. Ditambah lagi seminaris datang dari berbagai macam latar belakang yang cukup beraneka ragam. Maka sangatlah biasa jika ketika masih di kelas 1 penyesuaian itu terasa begitu berat. Bagaimana harus belajar bersama-sama dalam satu kelas ketika sebelumnya biasa belajar sendiri. Bagaimana setiap malam harus ber-silentium magnum untuk belajar menghargai teman lainnya. Bagaimana melihat para formator sebagai orang tua melalui bimbingan rohani. bagaimana belajar mengungkapkan ide melalui kegiatan sidang akademi, serta Bagaimana ketika setiap seminaris harus belajar bertanggung jawab dalam kefungsionarisan, termasuk juga belajar bekerja sama dengan teman lain dalam sebuah kepanitiaan malam seni atau Hari Orang Tua, misalnya. Maka, melihat suatu hal di seminari harus dilihat pula dalam konteks seminari secara keseluruhan. Melihat secara keseluruhan berarti melihat bahwa banyak hal yang terkait dan terlibat entah secara langsung atau tidak langsung di dalam (proses pembinaan) seminari; para seminaris, para formator, para guru, para karyawan, perangkat aturannya, jadwal hariannya, dan yang tak bisa diabaikan begitu saja yakni latar belakang seminarisnya masing-masing. Di titik inilah harus disadari bahwa seminari tidak akan bisa merangkum dan menggantikan itu semua. Seminari pertama-tama bukanlah sebuah mesin yang bisa menghasilkan seminaris yang seragam. Seminari pertama-tama juga bukanlah mesin yang membentuk setiap seminaris (selalu) menjadi seorang yang baik dan sholeh setelah keluar dari situ. Seminari lebih merupakan sebuah laboratorium di mana seminaris berani mencoba mewujudkan idealismenya berhadapan dengan realita kemajemukan, aturan-aturan, norma-norma, serta mempertanggung- jawabkannya. Bahkan salah seorang Romo di seminari mengatakan bahwa kalau sudah di seminari itu yang dipikirkan pertama-tama bukanlah masalah besok jadi romo atau enggak, melainkan bagaimana hidup di seminari hic et nunc. Seminari tidak dalam kapasitas untuk membentuk seminaris (manusia) super. Seminari adalah tempat untuk membentuk manusia yang utuh, dan keutuhan itu bukanlah berarti kesempurnaan-tanpa-ada-kekurangan, melainkan utuh yang berarti perpaduan antara kelemahan yang dilengkapi dengan kelebihan. Manusia tanpa kekurangan bukanlah manusia lagi. Dalam kelemahannyalah manusia menemukan dirinya; menemukan keotentisitasannya. Dan eksistensi manusia itu menjadi utuh ketika dia ada bersama dengan yang lain.

Seminari Garum sudah berusia 60 tahun. Usia yang cukup panjang mengingat sudah sekian banyak seminaris yang pernah mengenyam pendidikan di seminaris sudah banyak yang berumur. Mengingat pula sudah sekian banyak imam yang lahir dari rahimnya. Mengingat juga banyak guru, karyawan, dan formator yang telah tiada. Dan yang terpenting ialah karena banyak anak manusia yang mengucapkan terima kasih kepada almamaternya karena menemukan keutuhan dirinya dalam Seminari Garum.

EKSISTENSI DAN YANG LAIN


Being-with-Others” sebagai Karakteristik Dasar Eksistensi

Eksistensi tidak bisa dipisahkan dari dunia karena eksistensi adalah ‘being-in-the-world’ atau ‘ada-dalam-dunia’. Di sisi lain, manusia hidup bersama dengan manusia yang lain, berinteraksi dengan manusia lain. Maka eksistensi manusia ialah ‘being-with-others’ atau ‘bersama-dengan-yang-lain’. ‘Aku’ bisa diterangkan dalam hubungannya dengan manusia yang lain dan tanpa manusia yang lain maka ‘Aku’ menjadi tidak ada/eksis.

Eksistensi bisa dilihat dari keunikan yang dimiliki tiap-tiap individu sehingga eksistensi dibentuk dari apa yang ‘dimiliki’. Dalam pandangan antropolog kontemporer, individu atau seseorang muncul dari suatu kelompok. Meski demikian, masing-masing individu memiliki situasi dan kondisi uniknya sendiri serta mempunyai tanggung jawab untuk memutuskan bagi dirnya sendiri. Oleh karena itulah eksistensialisme tidak bisa diterangkan dalam kerangka kolektivisme karena hanya menempatkan manusia sebagai manusia yang seragam atau sama. ‘Being-with-others’ sebagai suatu relasi aku dengan sesamaku yang lain berarti aku dapat menemukan diriku dalam relasiku dengan sesamaku yang lain.

Komunitas adalah hasil dari ‘being-in-the-world’. Meski masing-masing individu memiliki perspektif mengenai dunia yang berbeda-beda, pemahaman mengenai manusia saling terhubung atau terkait dengan yang lain secara instrumental, yakni pemahaman dalam suatu keutuhan, bukan keterpisah-pisahan. Maka, ‘yang lain’ merupakan a priori ; mereka adalah kondisi dari eksistensi, bukan tambahan dalam eksistensi.

Argumen lain ialah memandang manusia dari sudut ruang dan waktu (spasial dan temporal). Ruang (space) yang dimiliki manusia bukanlah miliknya sendiri, melainkan ruang yang telah dibagi bersama dengan yang lain.

Being-with-others’ merupakan unsur fundamental eksistensi dan tidak bertentangan dengan manusia sebagai ‘being-in-the-world’. Martin Bubber menempatkan ‘being-with-others’ sebelum ‘being-in-the-world’. Dalam relasi “I-Thou”, “I” hanya dikenali dalam relasi “I-Thou” dan “I” dalam relasi “It”. Pandangan Bubber mengenai “I-Thou” ialah bahwa “I” secara implisit telah mengenali “Thou” melalui “aku” yang berbeda dari dirinya sendiri. Relasi “I-Thou” ini membuat kedirian dan kepribadian individual menjadi mungkin.

Pandangan lain yang juga mendukung komunitas sebagai hal mendasar bagi eksistensi manusia ialah adanya seksualitas dan bahasa. Sex menunjukkan fakta bahwa tubuh manusia itu tidak lengkap sehingga membutuhkan lawan jenisnya. Sedangkan fungsi penting bahasa ialah sebagai sarana komunikasi, suatu pertukaran yang penuh makna dari peribadi-pribadi. Bahasa adalah ungkapan pemikiran sehingga membuatnya dapat dijangkau oleh orang lain. Bahasa tidak sekadar fenomena, melainkan memiliki arti pokok ontologis yang penting, yakni sebagaikekuatan fundamental manusia.

Relasi Interpersonal

Eksistensi tidak hanya membutuhkan lingkungan duniawi saja, melainkan juga lingkungan personal. Di dalam dunia aku bertemu pribadi-pribadi yang lain. Mereka bukanlah obyek-obyek duniaku. Mereka adalah ‘sesamaku yang lain’ (co-existent) karena mereka sama halnya denganku ada di dunia.mereka ada bukan sebagai instrumen melainkan agent yang membentuk dunia sama sepertiku.

Relasi antara diri dengan dunia sehari-hari diterangkan dengan istilah ‘perhatian’ (concern). Sedang relasi antara diri dengan yang lain disebut ‘kepedulian’ (solicitude). Kedua istilah yang berasal dari buku Being and Time karya Heidegger tersebut kiranya tepat untuk menerangkan dua macam relasi di atas, meskipun secara teknis kata-kata tersebut tidak selalu mengandung makna seperti biasanya.

Mengenai dua relasi tersebut, Martin Buber menggunakan istilah “I-Thou” dan “I-It”. Perbedaan pertama antara kedua istilah tersebut ialah bahwa istilah “I-Thou” hanya dapat dikatakan dalam hubungannya dengan yang ada secara keseluruhan. Sedangkan istilah “I-It” tidak pernah bisa dikatakan dengan yang ada secara keseluruhan. Di dalam relasi “I-Thou” kita secara total berhubungan dengan yang lain dengan membuka diri baginya. Dia bukanlah yang berada ‘disana’, tidak juga sebagai sebuah akhir untuk beberapa kepuasan di luar dirinya sendiri.

Salah satu aspek yang tragis dari relasi tersebut ialah bahwa relasi ”I-Thou” merosot terus menjadi relasi ”I-It”. Kita berhubungan dengan pribadi yang lainnya tidak dalam keseluruhan dan keterbukaan, tetapi hanya sebagai suatu instrumen, benda. Maka, dimanapun ada eksploitasi, diskriminasi, ataupun prasangka, pribadi-pribadi dilihat tidak sebagai seorang pribadi.

Meski demikian ada kemungkinan lain bahwa sebuah relasi “I-It” menjadi sebuah relasi “I-Thou”. Relasi macam ini terjadi tidak antara manusia dengan manusia, melainkan manusia dengan alam dan manusia dengan apa yang disebut sebagai ‘ada spiritual’ (spiritual beings).

Harvey Cox mengatakan bahwa relasi “I-You” lebih tepat dibanding relasi “I-Thou”. Menurutnya, relasi “I-You” adalah relasi dimana seseorang menghormati kepribadian dan kemanusiaan yang lain tanpa adanya usaha untuk membangun suatu kedalaman dan kedekatan dengannya seperti yang terkandung dalam gagasan “I-Thou”.

Yang menjadi karakter dari pemikiran Buber ialah penggunaan kata ‘dialog’. Baginya relasi interpersonal adalah relasi dialogis dimana bersifat bersama atau kesalingan di dalamnya. Suatu relasi yang sejati dengan pribadi yang lain itu tidak bisa disatu sisikan, mendominasi, atau possesif. Relasi yang sejati harus terdiri dalam keterbukaan dan kemauan untuk mendengarkan dan menerima sebagaimana ketika berbicara dan memberi. Hal ini pula yang menjadi perbedaan antara relasi dengan manusia dan relasi dengan benda. ‘Relasi’ dan ‘jarak’ adalah kata-kata lain yang Buber pergunakan untuk pemikirannya pada persoalan ini. Kata ‘relasi’ dibatasi hanya untuk hubungan antara pribadi-pribadi sebagai salah satu yang mendasar dan permulaan dialam eksistensi manusia sebagaimana juga ‘jarak’. Maka disinilah sifat dialektik itu terjadi.

Sebuah relasi yang sejati menjaga yang lain dalam ‘kelainannya’ (otherness), dan dalam keunikannya. Relasi itu tidak possesif dan tidak membolehkan satu sisi digabungkan dalam yang lain. Ada penghargaan bagi yang lain dan tidak berusaha mengubahnya seperti apa yang diinginkan. Maka, disini aku diteguhkan oleh yanglain, dan aku sungguh menjadi diriku sendiri melalui relasi dengan yang lain. Dengan kata lain, tidak ada “I” tanpa “Thou”.

Gabriel Marcel, dalam pemahamannya mengenai relasi dengan yang lain, memberikan dua ungkapan, yakni ‘kesediaan’ (availability) dan ‘kesetiaan’ (fidelity-disponibility): aku harus mau memberikan diriku bagi yang lain. Akan tetapi banyak orang yang tidak demikian. Mereka dipenuhi hanya oleh dirinya sendiri dan menutup diri terhadap yang lain. Eksistensinya adalah apa yang dia ‘miliki’ dan ketidaksediaannya itu timbul dari kegelisahannya untuk selalu memperhatikan dirinya sendiri. Kesediaan sendiri ialah hadir bagi yang lain. Kehadiran menunjukkan sesuatu yang berbeda dan lebih komprehensif dibandingkan dengan hanya fakta berada di sana. Kehadiran tergantung pada pernyataan diri seseorang melampaui dirinya bagi yang lain.

Suatu aksi dasar manusia ialah melampaui dirinya dengan membuat semacam janji atau keterlibatan. Kita senantiasa mengikutsertakan diri kita, dan komunitas dibangun berdasarkan kesetiaan; kesetiaan pada janji atau ikatan yang telah dibuat atas diri kita. Orang, ikatan, komunitas, dan realitas dipandang oleh Marcel sebagai rangkaian berkelanjutan. Keterlibatan realitas dalam rangkaian tersebut menandakan bahwa janji atau ikatan dan kesetiaan akhirnya dapat memimpin menuju Tuhan.

Bagi Kierkegaard, yang lain bisa menjadi rintangan dalam relasi dengan Tuhan. Bagi Kierkegaard, perlu sekali menjadi ‘seorang yang sendiri’ supaya memiliki relasi dengan Tuhan. Akan tetapi, tentunya suatu jalan yang lebih berbuah pada Tuhan ialah melalui relasi dengan orang lain dan melalui keterlibatan di dalam hidup kelompok manusia.

Ada suatu pernyataan dari Sartre yakni ‘neraka ialah orang lain’. Alasan yang ada dibali pernyataan inbukanlah karena orang lain dianggap sebagai sebuah halangan dalam relasi dengan Tuhan, karena bagi Sartre Tuhan bukanlah realitas yang independen. Baginya, Tuhan sebuah bama menandakan suatu kepenuhan akan apa yang setiap manusia senantiasa cari. Ada yang terbatas ialah hasrat untuk menjadi Tuhan, meskipun faktanya pkluralitas dengan adanya yang lain menghalangi hasrat tersebut. Oleh karena itulah, yang lain dipandang sebagai halangan dalam memenuhi eksistensi.

Tubuh dan Yang Lain, dengan Referensi Khusus Terhadap Seksualitas

Being-with-others” hanya mungkin bila memiliki tubuh dan itu berarti ada di dalam dunia. Aku sadar ada yang lain karena aku menyentuhnya, melihatnya, mendengarnya melalui indera-indera. Aku berkomunikasi dengannya melalui perantara bahasa, tetapi bahasa hanya mungkin bila ada tubuh organ dan indera untuk menghasilkan ataupun menerimanya. Maka, “being-with-others” menyatakan eksistensi tubuh.

Ada 2 kemungkinan seseorang berhubungan dengan orang lain: dia adalah sebuah tubuh bagiku; obyek dari pandanganku, atau aku menjadi tubuh baginya dan mengalami diriku sebagai obyeknya. Sartre membuat 2 pandangan yang tajam mengenai cara dimana aku merasakan tubuh dari yang lain. Yang pertama ialah bahwa tubuh yang lain dirasakan dalam hubungan keseluruha situasi. Tubuh itu dilihat dalam relasinya dengan dunia bukan sebagai sebuah barang tetapi sebagai pemakai dunia. Pandangan yang kedua ialah bahwa kita merasakan tubuh yang lain sebagai suatu keseluruhan.

Tubuh yang lain bukanlah barang. Itu adalah pribadi yang lain. Tubuhku bukanlah obyek bagi yang lain sebagaimana tubuh yang lain bukanlah suatu obyek bagiku. Akan tetapi, ketika dia memperhatikan diriku, aku sadar diriku sebagai obyek pandangannya. Disini tidak hanya ada pandanganku sendiri, melainkan juga pandangan orang lain yang aku sendiri tidak pernah mengambilnya; tubuhku keluar seluruhnya dari diriku. Aku menjadi teralienasi dari tubuhku sendiri. Aku menjadi sadar mengenai tubuhku bukan sebagaimana tubuhku bagi diriku melainkan sebagai sesuatu bagi yang lain.

Bagaimana hal ini coba diatasi ? Aku mencoba untuk lari dari menjadi obyek bagi yang lain melalui cinta. Dalam konteks ini, cinta dipahami sebagai cinta yang possesif. Hal itu merupakan suatu hasrat untuk menerima yan lain ke dalam diriku. Akan tetapi, supaya hal ini bisa terjadi maka yang lain harus mencintai diriku. Untuk membuat yang lain mencintai diriku, aku harus menjadi obyek untuk menarik cinta itu. Maka relasi menjadi ambigu tak ada habisnya, terombang-ambing antara cinta dan benci, hasrat untuk memiliki dan untuk dimiliki, bahkan hasrat untuk menjadi daging dalam sifatnya sebagaimana en-soi.

Sifat gembira dari tindakan seksual menunjuk pada peranan penting dari tubuh dalam seks, karena ecstasis (gembira) adalah ‘ex-sistence’, keluar dari dirinya. Di dalam relasi seksual, individu keluar dari dirinya sendiri bagi yang lain dalam sebuah kesatuan dari ‘being-with-the-other’. Tindakan seks tidak hanya sekadar gembira tetapi juga total. Maka seks adalah suatu usaha total untuk berbagi. Seksualitas manusia sendiri juga tidak hanya merupakan suatu fungsi biologis melainkan memiliki dimensi ontologis yang mutlak.

Martin Buber menggambarkan perbedaan antara ”I-Thou” dan “I-It” ialah antara sesuatu yang mengalir dari diri keseluruhan dengan sesuatu yang mengalir kurang dari keseluruhan diri. Jika keseluruhan pribadi terlibat merupakan karakteristik dari relasi “I-Thou”, maka ada sebuah pandangan dimana tindakan seksual adalah contoh dari relasi tersebut; relasi yang gembira total, koneksi total, dan kesalingan/kebersamaan yang total.

Tindakan seksual terjadi tidak dalam keterisolasian atau kesendirian, melainkan dalam konteks relasi antara dua pribadi. Relasi ini sendiri lebih luas dan lebih kaya daripada tindakan seksual itu sendiri. Puncak seks dimana orang menjadi ‘satu daging’ merupakan suatu kegembiraan dimana satu dengan yang lain saling memberikan eksistensinya dan terlibat dalam suatu koneksi yang total.

Being-With-Others” yang Otentik dan yang Tidak Otentik

Relasi sosial manusia pada umumnya terdistorsi/menyimpang. “Being-with-others” tidak sungguh melibatkan dirinya dan tidak mengalir dari keseluruhan dirinya. Cara dimana orang secara normal bersama tidak cukup pantas untuk disebut sebagai kelompok atau komunitas. Yang ada hanyalah relasi yang menyimpang atau tersimpang/terdistorsi, dimana panggilan bagi individu datang dari kerumunan dan mengambil beban dari yang ada atas dirinya sendiri.

Kierkegaard memaknai kata ‘kerumunan’ atau ‘publik’ sebagai ketidakbenaran, dengan alasan mengenai adanya fakta bahwa hal itu membuat individu menjadi tidak menyesal dan tidak bertanggungjawab, atau sekurang-kurangnya memperlemah rasa tanggung jawabnya. Meski penyesalan dan tanggung jawab tidak bisa dikuantifikasikan atau dibagi, namun yang patut diperhatikan ialah bagaimana mereka mendapat perlakuan dalam kerumunan, dan hal ini berarti bahwa faktanya mereka disisihkan. Massa yang kolektif mendapat kekuatan atas individu melalui sebuah cara yang mengancam/menakutkan. Kierkegaard mungkin sudah memiliki konsep yang pada abad 19 diperdebatkan, yaitu konsep ‘Tuhan’ sebagai suatu nama mitologis untuk kelompok atau komunitas. Tetapi, dia sendiri protes melawan mereka yang memiliki kekuatan absolut bahwa kelompok tidak lambat-laun menanggung individu, dan peringatannya mengenai banyak pembalikan kepada Tuhan yang akibatnya terjadi di abad sesudahnya dalam pendewaan negara oleh Nazi.

Apa yang Kierkegaard kritik sebagai ‘kerumunan’, oleh Nietzsche disebut dengan istilah ‘kumpulan’ (the herd). Kumpulan itu telah menemukan suatu sistem-nilai yang mengontrol kehidupan manusia. Kumpulan itu juga dianggap telah mengambil alih hak istimewa Tuhan: ‘iman pada Tuhan telah mati’. Itulah hasrat untuk menjadi seorang yang berkuasa. Kumpulan itu dicirikan oleh sesuatu yang sedang-sedang saja; tak satupun yang hebat dan tak ada pengecualian. semua dalam kesamaan dan meratakan semuanya menjadi yang dikenal dan tak berbahaya.

Apa yang dijelaskan oleh Nietzsche dalam deskripsinya mengenai ‘mereka’, yaitu sebagai suatu kekuatan tak dikenal yang menguasai kita semua. Ungkapan ‘mereka’ seringkali juga terlontar dalam bibir kita. ‘Mereka’ ini bisa saja seseorang, setiap orang, atau bahkan tak seorang pun. Mereka adalah ‘yang lain’, tetapi bukan yang lain yang tertentu, dan hidup kita dikuasai oleh mereka. Heidegger sendiri juga senada dengan apa yang dimaksud dengan ‘mereka’ ini meskipun dia sendiri tidak membuat suatu poin baru mengenai relasi individu dalam kesehariannya dengan ‘mereka’. ‘Setiap orang adalah yang lain dan tak seorangpun adalah dirinya sendiri’. Diri sehari-hari Dasein adalah “diri-mereka”, yang kita bedakan dari diri otentik, yaitu diri yang telah diambil dalam dirinya sendiri. Sebagaimana “diri-mereka”, Dasein diuraikan menjadi “mereka”, dan harus pertama-tama menemukan dirinya sendiri. Tentu hal ini menandakan suatu keterlibatan individu yang tak terelakkan dengan yang lainnya; meski itu adalah suatu relasi yang menghilangkan individu dari kediriannya yang sebenarnya. Dia dikuasai olehnya dan menjadi subyek bagi yang lain meski secara paradoksal dia sendiri memberikan kekuasaan dari dirinya yang impersonal.

Lalu apa yang membedakan “being-with-others” yang otentik dengan yang tak otentik? “Being-with-others” yang otentik ialah bentuk relasi dengan yang lain yang memajukan eksistensi dalam arti yang sepenuhnya, yaitu membuat manusia berdiri sebagai manusia dalam kebbasan dan tanggung jawab. Sedang “being-with-others” yang tak otentik menekan manusia dan pribadi. Maka apapun relasi yang tidak memanusiawikan adalah relasi yang tidak otentik. Maka disini ada suatu paradoks. Suatu eksistensi individu belaka itu tidaklah mungkin dan tidak bisa secara tepat disebut ‘eksistensi’, karena juga dilihat bagaimana individu bebas dalam menjadi pribadi yang unik sebagaimana dirinya. Komunitas atau kelompok yang sejati pun mengijinkan untuk adanya perbedaan yang sebenarnya.

Being-with-others” yang tidak otentik itu memaksakan keseragaman, atau bisa disebut sebagai egalitarianisme yang keliru. Segala macam keunggulan ditekan. Hendaknya diperhatikan pula bahwa kerumunan merupakan ketidaktoleran dari kekurangan sebagaimana hal itu dalam kekuatan, kerendah dirian, atau merasa diri unggul. ”Being-together” atau ada-bersama yang tidak otentik tidak mentoleris mereka yang berbeda ;segala sesuatu yang menyimpang dari norma yang diterima. Dia berbeda maka ‘dia bukan salah satu dari kerumunan’. Ada suatu diskriminasi; mereka tidak sesuai dengan norma; mereka tidak seperti ‘mereka’.

Dalam tingkat relasi sehari-hari antar pribadi, banyak komunitas atau kelompok yang hanya semata-mata sebagai suatu kerumunan, kumpulan, atau juga ‘mereka’ dengan penekanan pada keseragaman. Maka, relasi yang menindas harus dipatahkan dan rasa kemerdekaan serta martabat harus dimiliki sebelum suatu relasi yang afirmatif dan asli dapat dibangun.

Jika para eksistensialis terlihat menunjukkan bahwa relasi interpersonal biasa pada tingkat yang tidak otentik dan jika mereka terlihat pula menganjurkan individualisme sebagai sebuah pemberontakan melawan ketidakotentikan tersebut, maka hal itu bukan berarti kata terakhir dalam analisis ini. Hal itu harus dikenali bahwa, bagaimanapun, bagi kebanyakan filosof ini, bentuk dari “being-with-others” yang tidak otentik tidak tergambarkan dengan cukup memadai.

N. Arya Dwiangga Martiar

KEBEBASAN



Tindakan secara tidak langsung menandakan kebebasan. Kebebasan dan eksistensi adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Seseorang tidak bisa menjadi bebas dengan terlebih dahulu eksis, baru kemudian bebas. Menjadi manusia berarti juga menjadi bebas dan hal ini sejalan dengan pandangan Sartre dan Kierkegaard bahwa eksistensi dan kebebasan adalah satu. Meski demikian, pemahaman ini tidak akan pernah membebaskan manusia untuk berurusan dengan permasalahan-permasalahan yang terkait dengan kebebasan karena senantiasa tercerai-berai dan tidak lengkap. Secara rhetorik memang dimungkinkan untuk mengenali kebebasan dan eksistensi, tetapi bagi filsafat permasalahannya ialah bagaimana menjelaskan perbedaan dalam penggunaan istilah-istilah ini.
Bagaimana mengkonseptualisasikan kebebasan? Bagi Sartre, hal itu bisa dibentuk melalui penyangkalan – penyangkalan dari ‘ada-dalam-itu-sendiri’ (in-itself-of-being), sehingga mungkin akan muncul dalam eksistensi, yaitu kebebasan yang rapuh pada ‘untuk-itu-sendiri’ (for-itself) tanpa ada dan dalam pencarian akan ada.
Bagi Berdyaev, pertanyaannya tidak terletak pada kebebasan kehendak sebagaimana biasanya terdapat pada pendapat-pendapat tradisional. Disitu terdapat kesulitan karena argumen-argumen tradisional mencoba untuk mengobjektifikasi kebebasan atau dengan menjadikan kebebasan suatu obyek yang bisa dirasakan, diselidiki, dan juga dibuktikan atau disangkal dari luar. Bagi kaum eksistensialis, kebebasan tidak untuk dibuktikan, tetapi lebih merupakan sebuah postulat dari aksi. Kebebasan telah ada disana sebagai sebuah kondisi dari keberadaan kita (termasuk pikiran kita). Kebebasan ada disana bahkan sebelum kita berpikir mengenai dunia.
Berdyaev melihat kebebasan sebagai sebuah misteri itu sendiri. Dia sering mengatakan bahwa kebebasan memiliki kelebihan yang melampaui ada. Dia juga mengatakan bahwa kebebasan beralih dari suatu yang tak terbatas yang mendahului ada…tindakan kebebasan adalah primordial dan sepenuhnya irasional. Kebebasan memang ‘meontic’ – sesuatu yang tak ada dibandingkan sebagai sesuatu yang ada karena lebih sebagai sebuah kemungkinan daripada sebuah keadaan yang sebenarnya. Kebebasan tidak dapat direngkuh melalui pikiran tetapi hanya diketahui melalui pengalaman kebebasan.
St. Agustinus mengatakan mengenai dua macam kebebasan: yakni libertas major dan libertas minor. Di dalam kebenaran kita melihat bahwa kebebasan memiliki dua makna. Dengan kebebasan dimaksudkan bahwa kebebasan primordial irasional yang mendahului baik dan buruk menentukan pilihan diantaranya. Sehingga di saat akhir muncul kebebasan yang beralasan, yakni kebebasan dalam kebaikan dan kebenaran. Hal ini mau mengatakan bahwa kebebasan dipahami sebagai titik awal dan jalan, serta sebagai akhir dan arah tujuan. Perbedaan kebebasan seperti ini bisa jadi gagal mengingatkan kita mengenai perbedaan yang sama seperti itu, yang dapat ditemui dalam Kierkegaard dan pemikir lainnya, yakni antara kegelisahan primordial yang datang sebelum kebebasan dan kegelisahan sesudahnya atau mengenai yang menemani manusia diseluruh hidupnya.
Kebebasan dihubungkan juga pada masalah baik dan buruk. Disini kebebasan menjadi sesuatu yang ambigu; dari dialektik menjadi lawannya; dari kebebasan primordial menjadi anarki. Kebebasan juga mengandung benih pengrusakan dalam dirinya sendiri. Meski kebebasan memiliki resiko yang tak dapat dihindari dan tragedi, para eksistensialis bersikeras bahwa kebebasan itu untuk dipertahankan dan dikembangkan karena jika kebebasan hampir identik dengan eksistensi itu sendiri, maka itu berarti tidak ada kemanusiaan tanpa kebebasan. Kebebasan bisa jadi berbahaya, tetapi takkan ada martabat manusia tanpa kebebasan sehingga resikonya harus diambil. Kebebasan terkait dengan kreativitas sebagai pencapaian tertinggi kemanusiaan dengan bentuk kuasa Allah sebagai Pencipta. Pembebasan manusia tidak hanya dari sesuatu, tetapi untuk sesuatu. Dan ‘untuk’ ini adalah kreatifitas manusia.


Keputusan dan Pilihan
Seorang manusia adalah keputusannya. Keputusan tidaklah semata-mata suatu pemenuhan diri, melainkan juga penolakan diri. Memutuskan satu kemungkinan berarti ipso facto menolak setiap kesempatan yang lain. Setiap keputusan ialah adalah suatu perlawanan bagi keputusan yang lain, dan setiap keputusan membatasi kemungkinan yang terbuka untuk keputusan di masa mendatang. Keputusan membawa manusia berhadapan dengan dirinya sendiri dan menyebabkan kegelisahan. Mengambil keputusan berarti, di satu sisi masuk ke suatu level eksistensi yang baru, tetapi di sisi lain mengambil resiko dengan memotong kemungkinan lain yang terbuka, dan hal ini akrab dalam hidup manusia melalui perkawinan, persahabatan, dan panggilan. Poin pentingnya ialah bahwa suatu keputusan atau komitmen mengikat manusia atas suatu peristiwa dan hal itu harus senantiasa dijaga melewati lingkungan dan perasaan yang senantiasa berubah-ubah. Keputusan haruslah diperkuat kembali sebagaimana ketika keputusan itu pertama kali diambil.
Marcel dan Sartre menggunakan istilah engagement untuk menggambarkan manusia yang berjanji pada dirinya sendiri untuk suatu hak di masa mendatang. Marcel melihat bahwa kesetiaan merupakan keutamaan dasar yang membuat masyarakat sejati menjadi mungkin. Bagaimanapun, apa yang sungguh dipilih ialah diri sendiri, yang keluar dari keputusan itu sendiri. Diri tidak begitu saja diberikan pada awal/permulaan. Apa yang diberikan adalah tempat dari berbagai kemungkinan, dan manusia memproyeksikan dirinya ke dalam berbagai kemungkinan tersebut, yang berarti menentukan akan ke mana dirinya. Kesetiaan dan loyalitas tidak hanya karena bagi yang lain, tetapi juga untuk suatu citra kemanusiaan bahwa seseorang berada dalam pencarian untuk mencari eksistensi yang aktual. Meski demikian, loyalitas bisa merosot menjadi sikap keras kepala atau bahkan fanatisme belaka.
Keputusan bisa membawa pada sebuah depresiasi tindakan yang saling berhubungan di mana elemen kesadaran dan keputusan tidak muncul. Sikap dan kebiasaan, cara-cara melakukan sesuatu secara rutin dan tradisional dikritik sedang berada di bawah level tindakan manusia yang sebenarnya. Keputusan telah dibuat bagi manusia, dan manusia diharapkan melaksanakan untuk memenuhinya.hal pertama yang harus dilakukan ialah menjatuhkan pilihan, karena memang di situlah permasalahannya. Manusia bertindak dalam ‘bad faith’ ketika ia menghindari suatu keputusan yang jujur, dan hendaknya ia mengakui bahwa masyarakat memiliki kebijaksanaan juga, yang tertanam dalam peraturan dan adat-kebiasaan. Dan hendaknya disadari juga bahwa di dalam suatu tindakan terdapat pula pemikiran, kebebasan, dan keputusan, dimana dengan itu semua manusia menjadi dirinya sendiri sesungguhnya dan seutuhnya.

N. Arya Dwiangga Martiar

PARMENIDES



Hanya yang ada itu ada

Biografi Singkat
Parmenides (540-570 SM) lahir di kota Elea (sekarang daerah Italia Selatan) sekitar tahun 540 SM (buku lain menuliskan tahun 515 SM). Parmenides adalah murid Xenophanes, pendiri mazhab Elea, meskipun pada akhirnya Parmenides lah yang menonjol diantara para penganut Mazhab Elea. Parmenide aktif dalam dunia politik dan konon dia ikut membentuk undang-undang bagi kotanya.

Latar belakang pemikiran
Sejak sekitar tahun 500 SM, ada sekelompok filosof di koloni Yunani bernama Elea. Mereka ini tertarik pada masalah perubahan, sebuah pemikiran yang muncul dalam menanggapi pemikiran 3 filosof Miletus – Thales, Anaximandros, Anaximenes – yang percaya pada keberadaan satu zat dasar sebagai sumber segala hal. Disini muncul pertanyaan: bagaimana mungkin satu zat dapat dengan tiba-tiba berubah menjadi sesuatu yang lain?
# Pemikiran
Parmenides mengarang filsafatnya dalam bentuk puisi yang terdiri dari prakata dan dua bagian, yaitu jalan kebenaran dan jalan pendapat.
1. jalan kebenaran
seluruh jalan kebenaran bersandar pada satu keyakinan: “yang ada itu ada”, dan itulah yang disebut dengan kebenaran. Menurutnya “yang ada” itu tidak bergerak, tidak berubah, tidak terhancurkan. Atau bisa diterangkan bahwa “yang ada” itu bersifat (1) tidak dalam proses menjadi, (2) tunggal, dan (3) sempurna (seperti bola yang mengisi semua tempat). Maka bisa dikatakan bahwa “yang ada” itu selalu dapat dikatakan, dipikirkan, dan didiskusikan.
2. jalan pendapat
jalan pendapat melukiskan susunan kosmos, yang bersandar pada dua prinsip: yang gelap dan yang terang. Jadi, kosmologi Parmenides menganut prinsip-prinsip yang berlawanan.

Secara singkat pandangan Parmenides membawa lebih jauh anggapan yang mengatakan bahwa sesuatu yang ada pasti selalu ada. Tidak ada sesuatu yang dapat muncul dari ketiadaan dan tiada sesuatu yang ada menjadi tiada. Dia beranggapan bahwa tidak ada yang disebut perubahan aktual. Tidak ada yang dapat menjadi sesuatu yang berbeda dari sebelumnya. Parmenides tidak mempercayai segala sesuatu sekalipun dia sudah melihatnya. Dia beranggapan bahwa indra-indra memberikan gambaran yang tidak tepat tentang dunia, suatu gambaran yang tidak sesuai dengan akal (rasionalisme).
Kritik terhadap pandangan Parmenides ialah bahwa dalam hidup sehari-hari terjadi perubahan terus-menerus (ex: dinosaurus). Menanggapi hal ini, Parmenides mengatakan bahwa pengalama inderawi itu menipu dan semu belaka. Sesungguhnya “yang ada” sebagai realitas sejati di balik segala perubahan itu tinggal tetap, abadi, dan tidak berubah.

Komentar
Kalau memang “yang ada” sebagai sebuah zat dasar itu selalu ada dan dimengerti sebagai sebuah “realitas sejati”, maka bagaimana dengan yang namanya penilaian seperti baik-buruk, jelek-cantik, salah-benar, dst itu dapat ada? Padahal pandangan seperti itu terbentuk oleh pengalaman inderawi yang dalam pandangan Parmenides disebutkan memberikan gambaran yang tidak tepat tentang dunia. Bukankah semuanya memang dimulai dari indera manusia? Atau dengan kata lain bukankah sebuah “realitas sejati” pun selalu diawali dari pengalaman inderawi yang pada akhirnya membentuk suatu konsep ‘ideal’ tentang suatu hal. Lalu bagaimana sebuah “realitas sejati” bisa didapat bila tidak mendapat pengalaman inderawi?
Yang kedua, apabila benar bahwa penilaian baik-buruk, jelek-cantik, salah-benar, dst, itu merupakan sebuah “realitas sejati” dan itu dimiliki oleh semua orang, mengapa tetap ada perbedaan-perbedaan penilaian? Bukankah disebutkan bahwa “yang ada” itu bersifat: tidak dalam proses menjadi, tunggal, dan sempurna? Dimanakah letak kesempurnaan itu? Apakah yang sempurna itu masih dapat ‘diutak-atik’?

Sumber Rangkuman
Bertens, K, Sejarah Filsafat Yunani, Penerbit Kanisius, Yogayakarta, (cetakan kesepuluh) 1993, 46-50.
Budi Hardiman, F, Filsafat Yunani Kuno (diktat kuliah Filsafat Yunani Kuno), Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara-Jakarta, 34-39.
Gaarder, Jostein, Dunia Sophie, Penerbit Mizan, 1996, 49-50.
Lili Tjahjadi, Simon Petrus, Petualangan Intelektual: Konfrontasi dengan para filsuf dari zaman Yunani hingga Zaman Modern, Penerbit Kanisius, 2004, 25-27.

N. Arya Dwiangga Martiar

URIP MAMPIR NGOMBE




Dalam Pandangan Asas dan Dasar menurut
Latihan Rohani Santo Ignatius

Dalam tradisi Jawa ada ungkapan “urip iku mung mampir ngombe” yang berarti hidup ini hanya mampir minum. Ungkapan tersebut mau mengatakan bahwa hidup ini hanya sebentar dan sementara karena tentu orang yang mampir untuk minum tentu tidak akan berlama-lama. Dari ungkapan tersebut seakan-akan manusia diajak untuk bertanya kepada dirinya sendiri: sebenarnya apakah tujuan hidupku di dunia ini? Bagaimana aku harus mengisi hidup yang sementara ini? Dan, bagaimana aku memaknai hidup ini?
Disisi lain, ungkapan atau istilah urip mung mampir ngombe bisa menimbulkan kesalahpahaman. Kesalahpahaman itu bisa muncul karena seakan-akan orang Jawa berpandangan bahwa hidup ini tidaklah terlalu berarti, sehingga bisa disepelekan. Padahal, istilah atau ungkapan tersebut sebenarnya mengandung pokok pikiran Jawa yang dalam mengenai ngelmu sangkan-paran atau ilmu asal dan tujuan hidup manusia. Dan yang perlu dipahami ialah bahwa dalam ilmu tersebut sesungguhnya tidak pernah memandang sepele kehidupan di dunia ini serta segala masalah-masalahnya.
Kesalahpahaman tentang urip mung mampir ngombe bisa diluruskan dengan mencermati tembang Dandhanggula yang merupakan sumber ungkapan atau istilah tersebut berasal:

Kawruhana sejatining urip pahamilah makna sejati hidup ini
Urip ana jroning alam ndonya hidup di dalam dunia ini
Bebasane mampir ngombe ibaratnya mampir minum
Umpama manuk mabur laksana burung terbang
Lunga saka kurungan neki pergi dari sarang
Pundi pencokan mbenjang hati-hati jangan sampai kesasar
Ywa konsi kaleru andaikan orang bertandang
Umpama lunga sesanja bertamu kemanapun
Njan sinanjan ora wurung bakal mulih akhirnya juga pulang
Mulih mula-mulanya kembali ke asal muasalnya sendiri

Dalam baris ketiga yang berisi delapan suku kata tersebut tidak ada kata mung, yang berarti “hanya” atau “sekadar”. Penambahan kata mung itu terjadi mungkin karena orang terpeleset dalam membunyikan tembang, sambil berusaha menepati aturan jumlah kata yang harus ada delapan dalam baris ketiga. Akibatnya, akhiran ne pada kata bebasane dihilangkan dan dan untuk gantinya ditambahkan kata mung. Penambahan ini memang kelihatannya sepele dan tidak memiliki makna, padahal justru disana akar salah tafsir tentang hidup iki mampir ngombe. Karena penambahan itu kalimat menjadi (urip iki) bebasane mung mampir ngombe, yang kemudian bisa ditafsirkan bahwa hidup ini seakan sekadar mampir minum belaka, karena itu hidup ini juga tidak terlalu berarti. Ini jelas berlawanan dengan maksud kalimat yang asli, apalagi kalau dilihat dari maksud seluruh tembang. Kekeliruan tersebut memang tidak banyak diketahui, sehingga mungkin banyak orang Jawa memahami bahwa hidup ini benar-benar “hanya” untuk mampir minum. Jika demikian, koreksi diatas kiranya menggugah orang untuk menafsirkan kembali paham hidup orang Jawa tersebut secara baru.
Tiga unsur ngelmu sangkan paran
Ungkapan urip mampir ngombe kiranya harus dijelaskan dari ngelmu sangkan paran (ilmu asal dan tujuan hidup manusia). Ilmu sangkan paran dipahami sebagai ilmu yang hanya membicarakan dua unsur ini, yakni urip iki saka sapa (asalnya dari mana), dan urip iki pungkasane piye (tujuannya ke mana). Sesungguhnya masih ada satu unsur penting di antara kedua unsur tersebut, yakni urip iki arep ngapa (hidup ini mau apa). Yang terakhir ini adalah unsur yang mengenai hidup di dunia ini. Jadi unsur sangkan paran adalah : pertama, asal hidup manusia ; kedua, hidup di dunia ini ; dan ketiga, tujuan hidup manusia. Yang pertama, berkenaan dengan kesadaran bahwa manusia berasal dari Tuhan. Yang ketiga, berkenaan dengan kepulangan manusia ke Tuhan. Yang kedua, berkenaan dengan tugas, kewajiban dan lakon hidup manusia di dunia ini. Tanpa yang kedua, yang pertama dan ketiga tidak mempunya arti apa-apa. Maksudnya, tak mungkin Tuhan menciptakan manusia dan kemudian menarik manusia lagi kepadaNya jika Tuhan tidak mempunyai maksud apa-apa dengan manusia tersebut selama ia hidup di dunia. Jadi Tuhan menghendaki agar manusia ini benar-benar urip (hidup), tidak sekadar urip-uripan (hidup-hidupan). Makudnya, agar manusia memandang dengan serius hidupnya di dunia ini. Urip mampir ngombe adalah hal yang berkenaan dengan unsur yang kedua itu.
Mau apa manusia hidup di dunia? Ia hidup di dunia bukan untuk bisa langsung ke surga, melainkan untuk menjalankan tugasnya di dunia sesuai dengan kodratnya. Kalau ia tidak menjalankan tugasnya di dunia, bagaimana mungkin ia bisa sampai ke surga? Dan yang patut diingat bahwa semua tugas tersebut harus dijalankan dengan sebaik-baiknya menurut pakem (aturan dan kebiasaan). Jadi jangan hanya menuntut semuanya pada ‘Sang Dalang’ saja.
Bisa disimpulkan bahwa hidup manusia itu begitu penting. Disini, manusia menjadi utusan ilahi dengan menjalankan tugasnya sebagai ibadah. Sebelum berpikir tentang surga, manusia harus menjalankan apa yang umum dijalankan manusia di dunia. Kalau yang umum itu dilupakan, manusia menjadi aneh; ia seperti bukan manusia. Jadi kalau manusia hanya memikirkan surga, ia juga ‘melanggar’ apa yang umum itu, dan menjadi aneh.
Meminum kagagalan hidup
Di dunia ini manusia harus belajar untuk ngombe (minum). Ngombe di sini tidak hanya berarti ngombe toya (minum air), melainkan juga ngombe rasa, ngombe ngelmu, ngombe pangerten, dan ngombe lelakon. Dengan ngombe rasa, manusia memperdalam hati dan perasaannya. Dengan ngombe ngelmu, manusia memperdalam kebatinannya. Dengan ngombe pangerten, manusia memperkaya budinya. Dengan ngombe lelakon, manusia menyempurnakan panggilan hidupnya. Dengan ngombe semuanya itu, urip tidak sekadar menjadi urip-uripan thok (hidup-hidupan saja), tetapi urip (hidup) benar-benar.
Khusus mengenai ngombe lelakon, orang patut memberi perhatian serius. Harus diakui , manusia mau menerima hidupnya jika hidupnya lurus, benar, dan baik. Padahal, yang terjadi justru sebaliknya. Manusialah yang sering tersesat, kesasar, dan keliru. Dan, manusia tidak mau menerima hidupnya yang demikian itu, termasuk keadaan yang ada di sekelilingnya. Ia tidak mau ngombe lelakon-nya. Artinya, ia tidak mau meminum lelakon kegagalannya. Bila demikian, manusia gagal menjadi manusia yang ganep (lengkap). Maka untuk ganepe urip (hidup yang lengkap), manusia harus berani menerima kegagalannya. Sering justru dengan minum kegagalannya itu, manusia bisa ngganepi dirinya sebagai manusia.
Jadi sebenarnya urip mampir ngombe itu mempunyai pesan: ngombe ya ngombe ning ora waton ngombe (minum ya minum, tapi jangan asal minum). Atau dengan kata lain urip itu memang mampir minum tetapi tidak asal minum. Nilai yang lain ialah sopo ngombe mesti nguyuh (siapa minum mesti kencing). Artinya, manusia juga harus berani membuang lagi apa yang telah diminumnya. Jelasnya, manusia harus berani membagikan harta-milik kepada sesama, karena pada prinsipnya semua berasal dari sesama. Kalau orang tidak mau berbagi tetapi hanya mau mencari, teru minum sampai kenyang, perutnya tidak bakal kuat menampung.
Jangan kesurga-surgaan
Dilihat sampai di sini, urip mampir ngombe itu sebenarnya adalah pegangan hidup yang menghormati dunia. Malahan, istilah urip mampir ngombe itu adalah kritik bagi pandangan yang kesurga-surgaan. Urip mampir ngombe itu mengingatkan bahwa manusia itu tidak hanya lahir dan mati, tetapi juga hidup. Sementara surga (atau neraka) belumlah jelas, hidup itu sendiri sudah sangat jelas manusia miliki. Maka sebaiknya manusia berpegangan pada apa yang jelas itu, yakni hidup di sunia ini, bukan hidup di dunia nanti.
Maka kurang tepat bila manusia hidup hanya berpikir tentang surga. Surga memang layak dan jelas menjadi sebuah cita-cita. Tetapi patut di ingat bahwa jalan ke sana adalah hidup ini sendiri. Jadi sebelum berpikir tentang surga, lebih baik mengolah manusianya terlebih dahulu. Maka, tidaklah tepat bila dalam berdoa, manusia hanya nyuwun swarga (meminta surga). Permintaan demikian kiranya keliru, karena permintaan itu terlalu ngangsa (memaksa-maksa). Dan permintaan itu kebangeten anggone njagakke (keterlaluan dalam mengharap). Yang perlu diminta sesungguhnya adalah rasa menyerah dan pasrah kepada Tuhan. Yang perlu diperhatikan ialah bahwa Allah Mahatahu, karena itu Dia juga paling tahu tentang apa yang kita tidak tahu tetapi kita butuhkan. Maka, penghormatan kepada Tuhan hanya dapat ditunjukkan ketika manusia hidup dalam dunia ini, di tengah-tengah berbagai soal-permasalahan hidup.
Urip mampir ngombe memang lebih berkenaan dengan ikhwal hidup di dunia ini. Tetapi patut diingat bahwa itu hanyalah salahsatu unsur dari ngelmu sangkan paran. Unsur lain dalam sangkan paran, yaitu: manusia masih harus pulang ke rumahnya yang sejati. Artinya, hidup ini bukanlah rumah yang abadi. Manusia masih harus berjalan menuju tujuan yang sejati. Jadi kendati manusia sungguh mencintai dunia, dia harus berani meninggalkannya agar sampai ke tempat yang melebihi dunia ini.
Sulit meninggalkan hidup di dunia ini. Berpisah dari hidup berarti meninggalkan pangkat, derajat dan harta. Itu semua tentu tidak mudah bagi manusia. Terlebih yang juga cukup berat adalah medhot katresnan, yaitu berpisah dari orang-orang yang dicintai. Jika pada saatnya nanti manusia berani meninggalkan dunia ini dengan ikhlas, manusia mengalami benar kesejatian dan kepastian, bahwa sungguh urip iki mampir ngombe.

Asas dan Dasar
Menarik sekali mengetahui sekelumit hal mengenai ngelmu sangkan paran. Sebagai seorang Yesuit, saya merasakan adanya unsur-unsur yang sejajar antara Latihan Rohani Santo Ignatius sebagai pondasi rohani saya dengan ngelmu sangkan paran sebagai sebuah buah renungan kebudayaan Jawa, meskipun tidak mutlak sama. Ada beberapa poin yang menjadi simpul-simpul penting dalam ngelmu sangkan paran yang kiranya juga terdapat dalam Latihan Rohani Santo Ignatius.
Berbicara mengenai Latihan Rohani, pertama-tama, yang merupakan dasar dari keseluruhan Latihan Rohani adalah Asas dan Dasar atau yang biasa disebut dengan Fundamentum, yang terdapat pada Latihan Rohani nomer 23. Beginilah bunyinya:

Manusia diciptakan untuk memuji, menghormati, serta mengabdi Allah Tuhan kita, dan dengan itu menyelamatkan jiwanya. Ciptaan lain di atas permukaan bumi diciptakan bagi manusia, untuk menolongnya dalam mengejar tujuan ia diciptakan. Karena itu manusia harus mempergunakannya, sejauh itu menolong untuk mencapai tujuan tadi, dan harus melepaskan diri dari barang-barang tersebut, sejauh itu merintangi dirinya. Oleh karena itu, kita perlu mengambil sikap lepas bebas terhadap segala ciptaan tersebut, sejauh pilihan merdeka ada pada pihak kita dan tak ada larangan. Maka dari itu dari pihak kita, kita tidak memilih kesehatan lebih daripada sakit, kekayaan lebih daripada kemiskinan, kehormatan lebih daripada penghinaan, hidup panjang lebih daripada hidup pendek. Begitu seterusnya mengenai hal-hal lain yang kita inginkan dan yang kita pilih ialah melulu apa yang lebih membawa ke tujuan kita diciptakan.

Disini, pertama-tama yang menjadi pengertian kunci dari Asas dan dasar tersebut ialah tentang penciptaan. Penciptaan bukan berarti bahwa Tuhan menciptakan semuanya sekali jadi. Juga bukan berarti awal atau titik berangkat bagi segala sesuatu untuk menjadi. Tetapi penciptaan itu berarti bahwa Tuhan terus-menerus dan setiap saat menciptakan segala sesuatu, termasuk manusia secara khusus. Seperti baris pertama Dandhanggula yang berbunyi kawruhana sejatining urip atau pahamilah makna sejati hidup ini, kesejatian itu kiranya dapat dipahami bila manusia tahu siapa sebenarnya dirinya; hakekat dirinya dan mengetahui untuk apa dia berada di dunia ini.
Asas dan Dasar menggariskan tujuan dan tugas hidup manusia dalam kalimat ini: manusia diciptakan untuk memuji, menghormati, serta mengabdi Allah Tuhan kita, dan dengan demikian menyelamatkan jiwanya. Memuji, menghormati, dan mengabdi Tuhan, itulah tujuan dan tugas manusia. Ketiga hal itu hanya bisa terjadi dalam tindakan, tidak dalam omongan. Malah tidak hanya dalam tindakan, ketiganya juga harus terjadi dalam diri manusia itu sendiri. Manusia menjadi manusia sesuai dengan tujuan ia diciptakan, begitu dirinya sendiri menjadi pujian, penghormatan dan pengabdian kepada Tuhan. Maka pujian, penghormatan dan pengabdian kepada Tuhan bukanlah sesuatu yang ditempelkan di luar, tetapi merupakan inti dan hakekat terdalam dari keberadaan manusia itu sendiri. Ngombe tidak sekadar ngombe, tetapi ngombe yang memiliki tujuan karena memang kebutuhan diri dan juga karena ada sesuatu yang hendak dicapai.
Justru karena memuji, manghormati, dan mengabdi Tuhan merupakan bagian terdalam dari hakekat manusia sendiri, maka ketiganya tidak bertentangan dengan kebebasan manusia. Manusia tidak hanya dengan bebas menerima dan melakukan ketiganya, tetapi juga dengan menerima dan melakukan ketiganya manusia merealisasikan kebebasannya. Karena, pada saat manusia melakukan ketiga hal itu, manusia kembali kepada dirinya, menjadi dirinya, sesuai dengan tujuan dia diciptakan, dan dengan demikian Tuhan sendirilah yang sekarang datang kepadanya.
Dunia di mana manusia berdiam ini diciptakan oleh Tuhan, dan itu berarti dunia merupakan anugerah dari Tuhan sendiri bagi manusia. Dunia bagi manusia berarti sungguh berarti karena manusia berada di dalamnya. Tanpa manusia dunia itu tidak berarti. Maka, jika manusia dapat menggunakannya untuk membantu dirinya meraih tujuan dia diciptakan, itu bukan demi egoisme pribadinya, tetapi demi “menyembah, menghormati, dan mengabdi Penciptanya”.
Kalimat berikutnya dalam Asas dan Dasar ialah “Ciptaan lain di atas permukaan bumi diciptakan bagi manusia, untuk menolongnya dalam mengejar tujuan ia diciptakan”. Yang dimaksud sebagai barang lain ialah dunia real, dunia sehari-hari yang digeluti, dunia tempat sejarah manusia terlaksana. Dalam konteks ini, dunia sebagai sebuah realitas ciptaan harus dipandang dengan rasa hormat sebagai sebuah sarana dimana manusia berhubungan dengan Penciptanya. Maka, jelas dunia tidak bisa disepelekan begitu saja karena merupakan pengantara antara dunia dan surga.
Dunia memiliki arti bila manusia dapat mempergunakan untuk meraih tujuan ia diciptakan, yaitu demi “menyembah, menghormati, dan mengabdi Penciptanya”. Maka, sebenarnya dunia ini pun mulia dan baik karena dapat mengantarkan manusia menuju tujuan ia diciptakan. Tetapi justru disinilah titik kritisnya, dimana dunia yang merupakan sarana bagi manusia, ternyata juga bisa diselewengkan. Maka, dunia yang sebenarnya mulia pun bisa menjadi ancaman, karena bisa menjauhkan atau bahkan menyesatkan manusia dari tujuan penciptaannya. Ibarat manuk mabur (burung terbang) dari sarangnya menuju sebuah tujuan tertentu, segala sesuatu yang ia temuia di perjalanan selain bisa menuntun menuju apa yang hendak dicapai, juga bisa menggoda dan membuat lupa apa sebenarnya tujuannya. Tetapi, tetap yang paling penting ialah senantiasa memandang dunia ini sebagai sarana yang penting untuk membantu mencapai tujuan manusia diciptakan. Karena itu, manusia harus mengambil indifferens, dimana Asas dan Dasar menuliskannya: “Karena itu manusia harus mempergunakannya, sejauh itu menolong untuk mencapai tujuan tadi, dan harus melepaskan diri dari barang-barang tersebut, sejauh itu merintangi dirinya. Oleh karena itu, kita perlu mengambil sikap lepas bebas terhadap segala ciptaan tersebut, sejauh pilihan merdeka ada pada pihak kita dan tak ada larangan. Maka dari itu dari pihak kita, kita tidak memilih kesehatan lebih daripada sakit, kekayaan lebih daripada kemiskinan, kehormatan lebih daripada penghinaan, hidup panjang lebih daripada hidup pendek. Begitu seterusnya mengenai hal-hal lain yang kita inginkan dan yang kita pilih ialah melulu apa yang lebih membawa ke tujuan kita diciptakan. “ Maka indifferens adalah soal lepas bebas. Indifferens bukanlah sikap asketis atau moral, karena sesungguhnya indifferens merupakan struktur hakiki dari manusia sebagai makhluk rohani, dimana ketika keberadaannya yang terbatas berhadapan dengan Sang Pencipta yang tak terbatas, maka membuatnya untuk menjadi tak bergantung pada yang terbatas. Disinilah, Asas dan Dasar menganjurkan agar manusia membuat dirinya lepas bebas, dan menyetel dirinya sesuai dengan kelepasbebasan itu. Itu artinya, dalam mengalami, menderita, atau mencinta, manusia harus mengiyakan keterbukaannya pada apa yang lebih besar dari pengalaman, penderitaan, dan cintanya. Atau dengan kata lain, manusia harus menginginkan agar dirinya menjadi transenden; melihat diri dalam konteks antara dia dengan penciptanya.
Sebagai sebuah proses, disinilah sulitnya, karena manusia ternyata lebih suka berhenti pada yang terbatas, memilikinya, dan bahkan menjadikannya sebagai pujaan hidupnya. Manusia tak mau melepaskan, mengorbankan, atau pergi meninggalkan apa yang telah membuatnya merasa nyaman, bahkan betapapun sepelenya hal itu. Maka, sikap lepas bebas atau indifferens tidak terjadi dengan sendirinya dalam diri manusia meskipun hal ini merupakan hakekat manusia itu sendiri. Begitu manusia hendak bertindak lepas bebas sesuai dengan pengetahuan dan kebebasannya, ia merasa berat, tidak rela, sedih, dan sakit. Maka kelepasbebasan itu sama dengan kesakitan, kesedihan, bahkan kematian dirinya sendiri. Setiap kali manusia mau lepas bebas sesuai dengan hakekat dirinya, pada saat itulah ia menemui musuhnya, yakni egoismenya sendiri. Proses melawan egoisme itulah yang menyakitkan, sulit, dan berat.
Manusia sering mengira, dengan apa yang ia miliki di dunia ini, maka ia akan menjadi bahagia. Karena itu, ia mengidentifikasikan dirinya dengan miliknya, dengan barangnya, dengan keberadaannya yang tadi. Padahal disini kelepasbebasan merupakan pengorbanan, pantang, penyangkalan diri, dan bahkan kematian diri. Tidak akan pernah ada kelepasbebasan bila manusia dan keseluruhan dirinya masih terlekat pada apa yang ada di dunia ini. Kelepasbebasan memang mudah untuk dipikirkan tetapi amat sulit untuk dipraktikan. Manusia adalah dia yang berani melepas sesuatu tetapi untuk kemudian mempertahankan sesuatu yang lain. Dalam kesadaran dan rasionalitasnya, ia bisa berkata bahwa ia sudah indifferens, sudah terlepas dari ini dan itu, padahal yang sebenarnya ialah ia menghancurkan sesuatu dan kemudian beralih ke yang lain dan memeluknya kembali. Bahkan pada apa yang kelihatannya baik secara moral dalam pandangan manusia. Memang untuk hal-hal yang besar manusia bisa lepas bebas. Tetapi yang dibutuhkan adalah kelepasbebasan yang mutlak, yang keseluruhan, dan biasanya itu malah ada pada hal-hal yang kecil dan kelihatan sepele. Dan seringkali manusia justru tidak mau berkorban untuk hal-hal yang kecil itu tadi. Dengan mudah manusia melewati yang besar tetapi tersandung dalam hal-hal kecil. Karena itu, kendati sudah lepas bebas dengan terhadap hal-hal yang besar, jangan kelepasbebasan terhadap hal-hal yang kecil disepelekan, dan dianggap tidak apa-apa. Karena dengan itu manusia justru terkurung dalam hal ikhwal yang berlawanan dengan Asas dan Dasar.
Menurut Asas dan Dasar, tujuan manusia adalah memuji, menghormati, dan mengabdi pada Tuhan. Untuk itu ia harus mencari, jalan atau cara mana di dunia ini yang akan menjadi lebih membimbing ke arah tujuan ia diciptakan (magis). Tujuan dan jalan itu memang berbeda, tetapi tak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Makin manusia mendekati tujuan, makin ia harus mencari jalan yang lebih membimbingnya ke arah tujuan itu. Karena itu, Asas dan Dasar mengajak manusia untuk selalu menjatuhkan pilihan, jalan mana yang lebih baik dalam membimbing ia ke arah tujuan ia diciptakan. Manusia harus selalu mencari dan makin mencari, menemukan dan makin menemukan jalan itu, karena untuk menuju Dia tak ada jalan sekali jadi dan pasti untuk selamanya. Dia adalah tujuan hidup yang yang penuh dengan rahasia dan tak terselami yang senantiasa penuh dengan hal-hal yang baru.
Maka tampak bahwa Asas dan Dasar adalah suatu kaidah hidup kerohanian yang amat memperhatikan dunia dan pengalaman manusia di dunia. Mistik Asas dan Dasar bukanlah mistik yang menarik diri dari dunia ini, melainkan mistik yang berkenaan dengan dunia ini. Allah dala Asas dan Dasar bukanlah Allah yang sudah jelas dengan sendirinya dan sekali jadi, melainkan Allah yang senantiasa dicari terus-menerus dalam pengalaman manusia dan kejadian di dunia ini. Allah yang mesti dicari dalam setiap pengalaman manusia, juga dalam pengalaman yang kelihatannya menolak Dia: dalam kekecewaan, keputusasaan, kemiskinan, dan juga penderitaan. Bahkan, Allah pun juga mesti dicari di tempat dimana kelihatannya Dia tidak ada, karena tidak mustahil Allah bisa juga ditemukan justru dalam hal-hal yang kelihatannya tak mengandung Dia.
Akhir kata, bisa dikatakan bahwa keliru bila hidup di dunia ini hanya sekadar mampir ngombe. Sebab sesungguhnya dunia ini adalah sakramen dari Allah sendiri. Dunia ini bukan hanya sekadar tanda bagi kehadiranNya, tetapi juga tempat dan kemungkinan satu-satunya di mana manusia sebagai ciptaan dapat menemukan diriNya. Dalam hidupnya, manusia tak boleh mengikatkan diri pada dunia ini, entah dalam kegembiraan entah dalam kekecewaannya. Karena dengan lepas dari keterikatannya di dunia ini, Allah pun dengan leluasa akan menciptakannya secara baru. Maka tak ada suatu pun yang tetap di dunia ini karena manusia juga turut diajak untuk turut serta dalam karya Tuhan yang senantiasa menciptakan. Dan disinilah Asas dan Dasar mengundang manusia untuk berani selalu memutuskan dalam setiap momen hidupnya.

N. Arya Dwiangga Martiar