Tuesday, 29 March 2011
JAMAN MODERN
Jembatan antara abad pertengahan dan jaman modern disebut jaman renesanse, “kelahiran kembali”. Dalam jaman renesanse, periode antara 1400 dan 1600, manusia seakan-akan “lahir kembali” dari tidur abad pertengahan. Seluruh kebudayaan Barat dibangunkan dari suatu keadaan statis yang berlangsung seribu tahun. Mulai dari Itali kemudian menyebar ke negara-negara lain di Eropa, ilmu2 sastra, seni, dan sosial tiba-tiba memperlihatkan suatu perkembangan baru. Manusia berpikir secara baru, antara lain mengenai dirinya sendiri. Manusia tidak lagi menganggap dirinya sebagai viator mundi, orang yang berjiarah di dunia ini, melainkan sebagai faber mundi, orang yang menciptakan dunianya. Manusia sendiri mulai dianggap sebagai pusat kenyataan.
Tiga faktor yang mempercepat perkembangan baru dalam jaman renesanse adalah tiga penemuan baru, yaitu (1) pemakaian mesiu, (2) mesin cetak, dan (3) kompas. Penemuan mesiu berarti titik akhir kekuasaan feodal. Penemuan mesin cetak berarti pengetahuan tidak lagi merupakan milik eksklusif suatu elit intelektual, melainkan terbuka untuk banyak orang. Penemuan kompas berarti bahwa navigasi mulai aman, sehingga dimungkinkan perjalanan2 jauh yang membuka dunia baru. Tiba-tiba horizon manusia Barat menjadi jauh lebih luas.
Sebagai ahli waris jaman renasense, filsafat jaman modern itu bercorak “antroposentris”. Artinya, manusia menjadi pusat perhatian. Dalam jaman Yunani Kuno dan Abad Pertengahan, filsafat selalu mencari “substansi”, yakni prinsip induk yang “ada di bawah” seluruh kenyataan. Para filsuf Yunani menemukan unsur2 kosmologis sebagai prinsip induk (arche) ini. Bagi pemikir abad pertengahan, Tuhan adalah prinsip ini. Namun dalam jaman modern, peranan substansi diambil alih manusia sebagai “subyek”. Yang “terletak di bawah” seluruh kenyataan kita, yang memikul kenyataan itu bukan suatu prinsip di luar kita, melainkan kita sendiri.
Oleh karena itu jaman modern sering disebut “jaman pembentukan subyektivitas”. Seluruh sejarah filsafat jaman modern dapat dilihat sebagai satu rantai perkembangan pemikiran mengenai subyektivitas dengan menyelidiki segi-segi subyek “aku” sebagai pusat pemikiran, pusat pengamatan, pusat kebebasan, pusat tindakan, pusat kehendak, dan pusat perasaan.
Dalam “Jaman Barok”, periode antara sekitar 1600 dan 1700, penyelidikan subyektivitas manusia lebih berkisar pada “rasio” (akal budi). Semua pemikir besar jaman barok merupakan ahli matematika, seperti Descartes, Leibniz dan Spinoza yang mencoba menyusun suatu sistem filsafat dengan manusia yang sedang berpikir dalam pusatnya. Rasionalisme mereka, bahwa akal budi merupakan alat terpenting bagi manusia untuk mengerti dunianya dan mengatur hidupnya, ditolak oleh Pascal, seorang pemikir lain dari jaman barok. Menurut Pascal, unsur hati sering jauh lebih penting daripada unsur rasio.
Abad ke-18 di Eropa merupakan “jaman fajar budi”, jaman “pencerahan”, atau “penerangan” (enlightenment, Aufklarung). Jaman Fajar Budi bersifat sangat optimis. Setelah perkembangan dalam renesanse, reformasi dan jaman rasionalisme, setelah perkembangan dalam hidup intelektual dan sosial, manusia dianggap “dewasa”. Orang mengira bahwa berkat rasio semua soal dapat dipecahkan.
Sekitar tahun 1750 mulailah “jaman romantic”. Sebagai suatu reaksi terhadap semua tekanan atas ‘rasio’ dan “empiri”, maka timbul kecenderungan untuk mementingkan perasaan dan fantasi. Bila fajar budi lebih merupakan suatu gejala untuk dunia universiter dan lapisan paling atas masyarakat, maka jaman romantik merupakan sesuatu yang memengaruhi semua orang. Romantic merupakan suatu gerakan dalam agama, seni, puisi rakyat, sastra, musik, dan filsafat. Filsafat jaman romantic sering terikat pada kesusasteraan. Tokoh yang paling penting dalam filsafat jaman romantic adalah Fichte, Schelling, dan Hegel.
sumber: Harry Hamersma, "Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern", Gramedia, 1983.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment