Thursday, 31 March 2011

ANAK JALANAN


Yang dimaksud dengan anak adalah individu yang dianggap belum matang, baik secara
biologis, psikologis, maupun secara sosial, sehingga dalam relasi sosial anak selalu berada dalam subordinat orang dewasa. Maka anak jalanan sendiri adalah individu yang bekerja di jalan, baik mereka yang sesekali bekerja di jalanan ataupun mereka yang sehari-hari hidup dan bekerja di jalanan. Lalu, mengapa ada anak jalanan dan dari mana anak jalanan itu berasal? Ada banyak hal yang menyebabkan seorang anak berada di jalanan. Salah satunya adalah karena lari atau pergi dari rumah karena salah perlakuan (abuse) yang terjadi di rumah. Misalnya, pertengkaran dengan orang tua, lalu kerasnya pendidikan yang diterapkan oleh orang tua sehingga membuat anak merasa kebebasannya terganggu dan memilih untuk pergi ke jalan. Alasan lain anak pergi ke jalan ialah untuk membantu ekonomi keluarga dikarenakan ketidakmampuan ekonomi keluarga, sehingga mereka terpaksa turun ke jalan untuk mencari uang.
Dari kedua alasan ini bisa dipahami bahwa anak jalanan pun digolongkan dalam beberapa kategori, yakni anak yang bekerja di jalan tetapi masih memiliki kontak dengan keluarganya, lalu anak yang hidup di jalan, dimana seluruh waktunya dihabiskan di jalan untuk mempertahankan hidup tanpa adanya kontak dengan keluarga, dan anak keluarga jalanan yang bersama dengan keluarganya hidup dan mencari nafkah di jalanan. Berdasarkan keterangan berikut, bisa disimpulkan bahwa anak jalanan bisa berasal dari keluarga biasa dengan ekonomi yang mapan maupun dari keluarga yang memang tidak mampu secara ekonomi.
Departemen Sosial memperkirakan bahwa pada tahun 1998 jumlah anak jalanan di Indonesia sekitar 170.000 jiwa , di mana menurut data resmi UNESCO Jakarta menempati urutan teratas dengan jumlah sekitar 30.000 anak . Angka ini diperkirakan akan terus meningkat termasuk di kota-kota seperti Surabaya, Semarang, Medan, Jogjakarta, dan sebagainya. Pertanyaannya: mengapa jumlah anak jalanan ini terus meningkat? Melihat data yang menyebutkan jumlah anak jalanan yang sedemikian besar dan juga melihat keterhubungan dengan berbagai masalah lain terutama keterkaitan dengan masalah kemiskinan seperti yang telah sedikit disinggung di atas, maka permasalahan anak jalanan ini bukan lagi menjadi masalah yang bersifat kedaerahan atau lokal, melainkan sudah merupakan permasalahan nasional yang harus ditangani oleh negara atau pemerintah. Sebenarnya, tanpa menjadi permasalahan yang berskala nasional pun permasalahan anak jalanan ini sudah merupakan tanggung jawab pemerintah karena dalam UUD 45 Pasal 34 ayat (1) disebutkan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Meski sudah disebut dalam UUD 45 dan diperjelas dengan dibuatnya Undang-Undang No 23/2002 tentang Perlindungan Anak, tetapi mereka tetap saja rentan terhadap berbagai bentuk eksploitasi tanpa ada langkah yang konkret dari pemerintah. Dengan kata lain bisa dikatakan bahwa eksistensi mereka tetap belum diakui sepenuhnya meski negara telah membuat Undang-Undang yang secara spesifik telah memberi jaminan perlindungan terhadap mereka. Maka pertanyaannya ialah: mengapa stereotip atau pandangan yang lebih merupakan hasil budaya ini bisa lebih kuat dibandingkan dengan Undang-Undang yang legal, konstitusional, dan memiliki kekuatan hukum?

Faktor-faktor penyebab terjadinya anak jalanan (perempuan) sebagai subordinat orang dewasa
Yang pertama adalah adanya persepsi yang tumbuh kuat dalam masyarakat bahwa “anak adalah aset bagi keluarga” sehingga membuat anak sejak dini sudah diharuskan untuk membantu keluarga. Sedangkan, membantu keluarga atau kewajiban anak terhadap keluarga ini sebenarnya merupakan penghalusan bahasa untuk bentuk eksploitasi ekonomi yang dilakukan keluarga terhadap anak. Yang kedua ialah adanya persepsi dalam masyarakat yang memandang bahwa anak adalah hak milik dari orang tua. Oleh karena hak milik, maka orang lain tidak mempunyai hak dan wewenang untuk melarang apapun yang dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya. Oleh karena itulah, eksploitasi anak sulit untuk dicegah karena komunitas di sekitar masih memandang itu merupakan urusan keluarga masing-masing. Dengan kata lain, stereotip, atau pandangan, atau persepsi ini menentukan posisi anak termasuk untuk mendapatkan hak-haknya.

Kerentanan anak perempuan daripada anak laki-laki sebagai anak jalanan dan relevansi konsep-konsep kemiskinan, ekslusi sosial, dengan gender
Sebagai anak itu sendiri, mereka dianggap sebagai individu yang belum matang, baik secara biologis, psikologis, maupun secara sosial. Sementara sebagai perempuan, individu sering ditempatkan dalam posisi nomor dua setelah laki-laki, di mana dalam budaya patriarkal posisi perempuan sangat lemah dan sering terdiskriminasi. Kedudukan, peran, dan jasanya seolah sengaja diletakkan pada bagian belakang kaum laki-laki yang berimplikasi pada hak-hak dan suaranya yang semakin tidak diperhitungkan. Dalam posisi yang demikian, tidak mengherankan apabila posisi tawar anak perempuan dalam interaksi sosial sangat rendah, bahkan cenderung tidak berdaya. Dan ini menjadi semakin berada dalam situasi yang tidak menguntungkan ketika mereka menjadi anak jalanan di mana seringkali dianggap tidak memiliki kehidupan yang normal dan sangat rentan untuk terjadinya relasi kuasa: menindas atau ditindas atau menguasai atau dikuasai. Ditambah lagi dengan adanya anggapan bahwa anak perempuan harus mengalah dengan saudara laki-lakinya (bila memiliki saudara laki-laki) serta lebih banyak berkorban untuk keluarga, merupakan faktor pendorong anak perempuan banyak turun ke jalan. Penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar (41,9%) anak perempuan turun ke jalanan untuk membantu menambah pendapatan orang tua baik atas kesadaran sendiri maupun disuruh orang tua .
Berdasarkan alasan-alasan di atas, menjadi lebih jelas bahwa anak perempuan lebih rentan terhadap segala bentuk eksploitasi dibandingkan dengan anak laki-laki. Apalagi dalam kehidupan jalanan di mana hukum rimba berlaku: yang kuat itu yang menang. Bisa dikatakan bahwa ‘keperempuanan’ atau karena seorang perempuan itulah yang menyebabkan anak perempuan lebih rentan dibanding dengan laki-laki. Di atas sudah disinggung sedikit bahwa dalam budaya patriarkal posisi perempuan sangat lemah dan sering terdiskriminasi. Pertanyaannya, mengapa dalam budaya patriarkal posisi perempuan lebih lemah? Atau, dalam hal apakah perempuan dianggap lemah dibanding laki-laki, sehingga menyebabkan anggapan bahwa perempuan hanya sekadar ‘konco wingking’?
Menurut Simone de Beauvoir, seorang eksistensialis feminis dalam bukunya The Second Sex, menuliskan bahwa hal-hal tertentu dari fakta reproduksi biologis telah diinterpretasikan oleh masyarakat untuk melanggengkan posisi perempuan sebagai ‘other’ . Meski fakta biologis saja tidak cukup untuk menjelaskan dengan tepat dan jelas posisi perempuan, tetapi tetap saja anggapan bahwa perempuan merupakan subordinat laki-laki merupakan hal yang lumrah dan diterima oleh semua pihak, bahkan juga bagi perempuan di mana mereka malah merasa ikhlas menerima peran tersebut . Maka perempuan selalu dianggap lebih lemah dibanding laki-laki dan karena itulah hak-hak dan suaranya cenderung tidak diperhitungkan. Pertanyannya, apakah anggapan atau stereotipe tersebut merupakan anggapan yang memang benar adanya, ataukah sebenarnya anggapan atau pandangan tersebut dibuat dan dipakai dengan tujuan tertentu sehingga untuk mempertahankan tujuan tersebut harus diusahakan agar perempuan tetap dan terus berstatus sebagai ‘other’? Dengan kata lain, benarkah perbedaan perlakuan maupun hak-hak yang diterima oleh perempuan dalam kehidupan sosial semata-mata ditentukan oleh karena perbedaan biologis, atau alasan akan perbedaan biologis tersebut hanyalah kedok yang dipakai untuk menutupi maksud yang sebenarnya?
Dalam pandangan umum, status perempuan senantiasa dihubungkan dengan status laki-laki. Mengenai hal ini, menurut Beauvoir, laki-laki mendefinisikan laki-laki sebagai ‘diri’ sedang perempuan mendefinisikan perempuan sebagai ‘other’ atau liyan. Jika liyan merupakan ancaman bagi ‘diri’; perempuan adalah ancaman bagi laki-laki, dan jika laki-laki ingin tetap bebas, maka laki-laki harus mensubordinasi perempuan. Laki-laki kemudian menemukan cara untuk mengontrol perempuan, yaitu dengan menciptakan mitos-mitos tentang perempuan; bahwa perempuan tidak rasional, kompleks, tidak dapat dimengerti, sehingga pada akhirnya perempuan tanpa sadar menerima dirinya sebagai objek, atau diobjekkan oleh laki-laki . Lama kelamaan, melalui proses yang yang terjadi dalam jangka waktu yang lama dalam kerangka budaya, pandangan atau stereotip ini menjadi suatu ‘ideologi’ mengenai seksisme yang pada dasarnya berusaha membenarkan suatu diskriminasi terhadap kelompok lain atas dasar anggapan bahwa perbedaan yang dibawa sejak lahir terkait dengan status yang lebih rendah. Misalnya saja seperti yang telah disinggung di atas bahwa dalam hal kecerdasan dan kekuatan fisik laki-laki melebihi perempuan, atau bahwa perempuan lebih emosional daripada laki-laki, sehingga hal ini membuat adanya diskriminasi terhadap perempuan tetap bertahan dalam hidup sehari-hari, terutama dalam konteks masyarakat dengan budaya patriarkal, meskipun ternyata dalam sistem kekerabatan matrilinial pun dominasi laki-laki tetap kuat .
Berkaitan dengan masalah anak yang bekerja di jalanan yang salah satu sebabnya – dan ini merupakan sebab dominan – adalah karena kemiskinan. Berbicara mengenai kemiskinan tidak bisa dilepaskan dari pertanyaan mengenai penyebab kemiskinan itu sendiri dan keterkaitannya dengan banyak hal yang kesemuanya itu saling mempengaruhi. Secara definitif kemiskinan berarti suatu keadaan di mana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok, dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental tenaga mental maupun fisiknya . Arti kemiskinan ini masih dalam arti luas, karena kemiskinan itu sendiri masih membutuhkan klasifikasi-klasifikasi tertentu agar menjadi lebih spesifik dan sesuai dengan konteks. Contohnya ialah arti kemiskinan pada masyarakat modern yang kompleks dibandingkan arti kemiskinan pada masyarakat yang susunan dan struktur organisasinya lebih sederhana.
Kemiskinan bisa dimengerti sebagai suatu keadaan yang berada dibawah satu garis kemiskinan tertentu atau suatu keadaan di mana seseorang kekurangan bahan-bahan mendasar untuk keperluan hidup seperti makanan, pakaian, dan kediaman (sandang, pangan, dan papan) . Secara lebih spesifik, PBB memakai ukuran yang ditetapkan oleh Bank Dunia, yaitu penghasilan kurang dari US$ 1 sebagai kategori kemiskinan ekstrem, antara US$ 1 hingga US$ 2 sebagai kategori miskin moderat, dan kemiskinan relatif yang berarti tingkat penghasilan rumah tangga di bawah proporsi tertentu dari rata-rata nasional . Sedikit berbeda, kemiskinan juga dapat digolongkan menjadi tiga pengertian: kemiskinan absolut, kemiskinan relatif dan kemiskinan kultural. Seseorang termasuk golongan miskin absolut apabila hasil pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan, tidak cukup untak memenuhi kebutuhan hidup minimum: pangan, sandang, kesehatan, papan, pendidikan. Seseorang yang tergolong miskin relatif sebenarnya telah hidup di atas garis kemiskinan namun masih berada di bawah kemampuan masyarakat sekitarnya. Sedang miskin kultural berkaitan erat dengan sikap seseorang atau sekelompok masyarakat yang tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupannya sekalipun ada usaha dari fihak lain yang membantunya .
Memang dalam kaitannya dengan anak jalanan, kemiskinan merupakan suatu masalah yang harus dipecahkan. Tetapi yang juga penting untuk diperhatikan ialah posisi mereka (anak jalanan perempuan) tidak hanya menunjukkan kekurangan dalam hal ekonomi saja, tetapi juga menunjukkan situasi di mana mereka tereksklusi dari masyarakat karena mereka entah dengan sengaja atau karena keterpaksaan menarik diri dari masyarakat, yang memang salah satunya penyebab utamanya ialah kemiskinan. Apalagi, nyatanya jalanan merupakan representasi tempat yang tepat untuk mengungkapkan bahwa kehidupan mereka tidak lagi ‘normal’ seperti layaknya masyarakat pada umumnya. Maka, masalah anak jalanan (perempuan) ini harus ditempatkan dalam konteks yang lebih luas, yakni dengan melihat bentuk-bentuk ketidakadilan yang berhubungan dengan masalah anak jalanan (perempuan), dan hal ini terlihat jelas bahwa perbedaan gender membuat posisi anak jalanan perempuan semakin tersisihkan, terutama dari hak-hak mereka. Kemiskinan memang membuat mereka tersisih, tetapi ‘keperempuan’ mereka semakin membuat mereka tersisih dan terabaikan. Ketersisihan mereka bukanlah suatu kodrat, melainkan karena bentukan atau hasil dari budaya yang menginginkan dominasi laki-laki dalam kehidupan. Dengan kata lain, kesetaraan gender berarti merombak semua pandangan atau stereotip tentang dominasi laki-laki terhadap perempuan.
Dalam konteks sebagai anak, memang benar bahwa anak dilahirkan oleh orang tua sehingga orang tua lebih berhak untuk merawat, mendidik, termasuk juga mengarahkan anak. Tetapi berhak tidak berarti memiliki. Dengan kata lain hak-hak anak tetap harus dihormati sebagai hak seorang pribadi, hak seorang manusia sepenuhnya. Maka bila hak anak dilanggar apalagi bila sudah merupakan bentuk eksploitasi, bahkan oleh orang tua sekalipun, orang lain atau pemerintah bisa menindak tegas orang tua tersebut. Disinilah akan terjadi konflik antara pandangan yang mengatakan bahwa anak adalah milik orang tua dengan pandangan bahwa anak pun berhak menentukan pilihannya sendiri. Mungkin orang tua akan berpendapat bahwa anak belum mampu membuat pilihan-pilihan, apalagi pilihan menyangkut hidup, karena mereka belum matang naik secara biologis maupun secara psikologis. Tetapi justru disinilah peran orang tua atau keluarga untuk mendidik mereka, bukannya mengeksploitasi mereka entah dengan dalih apapun. Masa kanak-kanak ialah masa pertumbuhan, maka hak mereka ialah untuk tumbuh berkembang menjadi pribadi yang sehat, bukannya diberi beban untuk bekerja layaknya orang dewasa.

No comments: