Thursday, 31 March 2011

BUSUNG LAPAR



Kemiskinan merupakan penyebab utama terjadinya busung lapar. Kemiskinan itu sendiri muncul karena terdapat faktor-faktor lain yang secara tidak langsung menyebabkan atau memicu kemiskinan, yaitu (1) lapangan kerja terbatas, (2) merosotnya daya beli yang disebabkan oleh naiknya harga bahan pokok, (3) kegagalan panen karena faktor alam dan penggusuran yang terjadi di perkotaan, serta (4) melemahnya jaring pengaman sosial sehingga masalah busung lapar ini tidak terdeteksi sejak dini. Hal ini masih ditambah dengan rendahnya kepedulian dan rendahnya kinerja aparat yang memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat.

Terjadinya busung lapar bukanlah sesuatu yang mendadak seperti gempa bumi atau tsunami, tetapi melalui proses dan tahapan, yakni dari kondisi kurang gizi, gizi buruk, baru kemudian memasuki tahap busung lapar yang memerlukan waktu kurang-lebih 1 sampai 5 tahun. Semestinya hal itu dapat dideteksi sebelumnya, sehingga secara dini dapat segera diatasi . Pertanyannya: mengapa kondisi itu terlambat diketahui sehingga pencegahan tidak mungkin dilakukan karena sudah sampai pada tahapan yang paling buruk? Padahal sebelum munculnya masalah busung lapar ini, UNDP telah melaporkan bahwa Indonesia termasuk negara yang mempunyai Human Development Index (HDI) atau kualitas hidup manusia rendah, yakni menempati rangking ke 117 diantara l70 negara didunia yang jadi sasaran surveynya . Seharusnya laporan semacam ini bisa menjadi peringatan awal adanya ketidakberesan bagi pemerintah dan para penguasa tentang adanya masalah yang terjadi dalam masyarakat yang mungkin saja tidak secara langsung berhubungan dengan suatu “bencana” tertentu tetapi ditengarai mengarah ke suatu hal tertentu. Tetapi nyatanya tanggapan itu baru ada ketika busung lapar sudah terjadi, dan itu berarti sudah terlambat. Penanganan busung lapar sendiripun ditanggapi dan ditangani seperti layaknya ‘bencana alam’ dan tidak diletakkan dalam konteks jangka panjang. Bahkan ada pemimpin daerah yang menyatakan bahwa itu bukanlah busung lapar, melainkan pola makan yang salah . Disinilah masalah semakin kompleks karena busung lapar hanyalah merupakan salah satu puncak gunung es yang disebabkan oleh kemiskinan yang merupakan akibat dari arah kebijakan yang salah.

Kemiskinan bisa dimengerti sebagai suatu keadaan yang berada dibawah satu garis kemiskinan tertentu atau suatu keadaan di mana seseorang kekurangan bahan-bahan mendasar untuk keperluan hidup seperti makanan, pakaian, dan kediaman (sandang, pangan, dan papan) . Secara lebih spesifik, PBB memakai ukuran yang ditetapkan oleh Bank Dunia, yaitu penghasilan kurang dari US$ 1 sebagai kategori kemiskinan ekstrem, antara US$ 1 hingga US$ 2 sebagai kategori miskin moderat, dan kemiskinan relatif yang berarti tingkat penghasilan rumah tangga di bawah proporsi tertentu dari rata-rata nasional . Sedikit berbeda, kemiskinan juga dapat digolongkan menjadi tiga pengertian: kemiskinan absolut, kemiskinan relatif dan kemiskinan kultural. Seseorang termasuk golongan miskin absolut apabila hasil pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan, tidak cukup untak memenuhi kebutuhan hidup minimum: pangan, sandang, kesehatan, papan, pendidikan. Seseorang yang tergolong miskin relatif sebenarnya telah hidup di atas garis kemiskinan namun masih berada di bawah kemampuan masyarakat sekitarnya. Sedang miskin kultural berkaitan erat dengan sikap seseorang atau sekelompok masyarakat yang tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupannya sekalipun ada usaha dari fihak lain yang membantunya .

Kajian-kajian mengenai latar belakang kemiskinan itu secara ringkas dapat diklasifikasikan sebagai berikut: (1) kondisi miskin yang dialami suatu komunitas masyarakat disebabkan oleh kebijakan negara, atau biasa disebut kemiskinan struktural, (2) kemiskinan akibat dari penghayatan nilai-nilai kultural yang ikut berperan dalam perilaku kehidupan masyarakat, dan (3) kemiskinan yang disebabkan oleh kondisi alam atau bencana alam yang tidak memungkinkan masyarakat yang tinggal dan hidup di satu wilayah untuk memperoleh kehidupan yang layak .

Korban busung lapar dan relevansi konsep-konsep kekuasaan, politik, dan negara
Secara sosiologis korban terjadinya busung lapar ialah anak-anak, karena akibat langsung busung lapar itu mereka dihadapkan pada 2 pilihan yang sama-sama pahit dan tidak bisa ditolak, yakni kehilangan nyawa atau menjadi bodoh (hidup dengan kepala kosong) . Dengan kata lain, mereka akan menjadi salah satu generasi yang hilang (lost generation) tanpa bisa berbuat apa-apa, tanpa mampu mengubah pilihan yang menyangkut hidupnya. Anak-anak ini merupakan bagian dari rakyat yang termarjinalkan dari hak-hak mereka, bahkan yang paling dasar sekalipun, yakni hak untuk memperoleh penghidupan. Baik secara langsung maupun tidak langsung mereka merupakan korban dari kebijakan penguasa yang tidak memihak rakyat kecil dan miskin. Dalam hal ini, busung lapar merupakan contoh ekstrem dari kemiskinan karena yang terjadi bukan saja penderitaan secara fisik saja, tetapi penderitaan batin karena hak-haknya yang terabaikan.

Dari perspektif pemenuhan hak-hak dasar yang dituntutkan dari negara seperti yang tertuang dalam UUD 1945, yang terjadi di NTT, ataupun juga daerah-daerah lainnya, sesungguhnya yang terjadi adalah penelantaran, suatu wujud pelanggaran yang semestinya mendorong pemerintah sebagai pemegang kekuasaan untuk mengubah arah kebijakan publik. Hal ini sejalan dengan pandangan Karl Marx yang mengatakan bahwa negara secara hakiki merupakan negara kelas, di mana negara dikuasai secara langsung atau tidak langsung oleh kelas yang menguasai bidang ekonomi yang juga merupakan kelas penguasa. Maka, menurut Marx, negara merupakan alat dalam tangan kelas atas untuk mengamankan kekuasaan mereka. Negara pertama-tama tidak bertindak demi kepentingan umum, melainkan demi kepentingan kelas atas. Jadi negara tidak netral, melainkan selalu berpihak . Melalui perspektif ini, penelantaran atau pemarjinalan rakyat kecil dan hak-haknya merupakan wujud dari kebijakan elit penguasa yang hanya berorientasi pada kepentingan kelas atas. Dengan kata lain, rakyat kecil, dan terutama korban busung lapar, merupakan korban dari elit penguasa yang juga merupakan kelas atas itu sendiri. Negara dapat saja bertindak demi kepentingan seluruh masyarakat, misalnya dengan membangun sarana transportasi, menyelengarakan persekolahan umum, dan melindungi masyarakat dari tindak kriminal. Tetapi tindakan ini pun demi kepentingan kelas atas, karena kelas atas pun tidak dapat mempertahankan diri, apabila kehidupan masyarakat pada umumnya tidak berjalan. Kalau sekali-sekali negara mengadakan perbaikan-perbaikan sosial, hal itu adalah untuk menenangkan rakyat dan untuk membelokkan perhatiannya dari dari tuntutan-tuntutan perubahan yang lebih fundamental. Dengan rumusan lain, negara pura-pura bertindak atas nama kesejahteraan rakyat, tetapi sebenarnya itu hanya siasat untuk mengelabuhi kelas pekerja

Maka, bila dikaitkan dengan kajian mengenai latar belakang kemiskinan, kemiskinan sebagai penyebab busung lapar ini merupakan kondisi miskin yang dialami suatu komunitas masyarakat karena disebabkan oleh kebijakan negara, atau biasa disebut kemiskinan struktural. Rakyat menjadi korban dari kebijakan-kebijakan yang didengung-dengungkan demi kesejahteraan rakyat, tetapi nyatanya malah membuat rakyat makin sengsara. Lihat saja kebijakan untuk menaikkan bahan bakar minyak di mana pemerintah mengatakan bahwa subsidi yang dikeluarkan negara selama ini hanya dinikmati oleh orang-orang kaya saja sehingga langkah yang ditempuh adalah mengganti pola subsidi harga menjadi subsidi langsung. Tetapi nyatanya yang menjadi korban malah rakyat kecil karena dengan kenaikan BBM Daya beli mereka menjadi semakin merosot karena otomatis harga bahan-bahan kebutuhan pokok ikut naik. Di samping itu, penderitaan itu semakin bertambah ketika kenaikan sudah terjadi tetapi dana kompensasi belum mereka terima, atau ketika salah seorang anggota keluarga mereka sakit mereka tidak mampu untuk berobat karena itu di luar kemampuan mereka. Maka pernyataan bahwa negara merupakan representasi rakyat, kepentingan publik, dan kesatuan nasional hanyalah merupakan mitos, seperti yang diungkapkan oleh Nicos Poulantzas . Negara bukanlah representasi rakyat karena tidak mewakili kepentingan publik, melainkan representasi satu kelompok saja, yakni kelompok kelas atas. Bahkan secara radikal, dalam perspektif Karl Marx, negara termasuk lawan orang kecil, karena negara adalah justru wakil kelas-kelas yang menghisap tenaga orang kecil .

Dalam konteks busung lapar di NTT, kondisi alam yang kering dan tandus yang menyebabkan gagal panen merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya rawan pangan. Meski demikian, kondisi alam yang kering bukanlah satu-satunya penyebab terjadinya kemiskinan hingga busung lapar pun bisa terjadi. Menurut penelitian The Institute for Ecosoc Rights, Jakarta (2006-2007) tentang fenomena busung lapar dan gizi buruk di Nusa Tenggara Timur (NTT), banyak keluarga-keluarga miskin di provinsi ini mampu memelihara anak-anaknya tetap sehat. Dengan kata lain, busung lapar pertama-tama memang karena miskin, tetapi miskin tidak harus busung lapar . Di sini, busung lapar memiliki keterkaitan dengan masalah ‘mentalitas’. Dengan penanganan yang semata-mata hanya diletakkan dalam konteks jangka pendek seperti ‘bencana alam’ maka segala bantuan yang diberikan, baik oleh pemerintah maupun lembaga-lembaga kemanusiaan, tidak akan memecahkan persoalan yang ada karena hanya berfungsi sementara. Karena hal ini terjadi berulangkali, maka masyarakat pun menjadi terbiasa untuk menunggu datangnya bantuan tanpa adanya usaha untuk kreatif atau inisiatif untuk memecahkan masalahnya sendiri dengan kearifan lokal yang dimiliki. Dengan kata lain, masyarakat menjadi lumpuh . Sekali lagi, hal ini berkaitan dengan arah kebijakan pemerintah.

Solusi busung lapar
Dalam kerangka pikir teoritis, penulis setuju dengan pemikiran Karl Marx bahwa jalan satu-satunya adalah revolusi oleh kelas bawah sehingga tercipta masyarakat komunis. Tetapi, pandangan ini merupakan pandangan utopis yang tidak pernah terjadi. Maka, tetap dalam kerangka yang sama, penulis sependapat dengan pemikiran Antonio Gramsci untuk menerapkan salah satu pandangan strategi politiknya untuk mengubah hegemoni yang didominasi oleh negara, yakni perang posisi (war of position) di mana harus muncul kaum intelektual dari kelas-kelas tereksploitasi untuk membentuk pemikiran-pemikiran, di samping aliansi kelas bawah harus tetap terjadi untuk melawan kemampuan represif yang dimiliki negara .

Dalam kerangka praktis, dengan melihat kenyataan dan berdasarkan analisa yang telah dijabarkan, yang harus dilakukan ialah mengubah arah kebijakan publik agar segala kebijakannya pertama-tama adalah kepentingan rakyat/umum (public oriented). Pemerintah juga harus mengubah arah kebijakannya dari yang sekadar emergensi dengan pendekatan jangka pendek menjadi pendekatan jangka panjang serta mengambil kebijakan publik yang memberikan hak-hak masyarakat atas pembangunan. Hal ini bisa dilakukan dengan memusatkan perhatian untuk membuka lapangan kerja dan usaha pemberdayaan masyarakat miskin, misalnya dengan pelatihan atau program padat karya. Lalu pemerintah hendaknya mengaktifkan pelayanan kesehatan yang bisa menjangkau rakyat kecil, seperti puskesmas dan posyandu dengan program-program pemberian makanan tambahan, di samping pemberdayaan para ibu/perempuan untuk ikut memantau kejadian-kejadian atau fenomena-fenomena yang berkaitan dengan kesehatan. Dalam menghadapi ganasnya alam yang tandus, pemerintah bisa menerapkan atau mengaplikasikan tekhnologi pertanian yang tepat yang sesuai dengan kondisi alam yang kering. Di samping itu, perlu juga mengembangkan komoditi yang merupakan kelebihan atau keunggulan dari daerah tersebut, misalnya mengembangkan peternakan dengan membagikan ‘pinjaman’ bibit hewan dengan bunga lunak. Selain itu, hendaknya dicari metode yang paling tepat dalam memberikan bantuan berupa subsidi, agar benar-benar sampai kepada rakyat, berguna bagi rakyat, dan tetap dalam kerangka jangka panjang sehingga tidak membuat rakyat menjadi tergantung. Dari sisi pemerintah sendiri, hendaknya prinsip good government benar-benar diperhatikan dan dilaksanakan. Korupsi harus diperangi dan birokrasi harus dibenahi.
Penutup

Memang pemerintah memegang peranan yang vital untuk mencegah terjadinya busung lapar karena itulah tugasnya sebagai penyelenggara negara. Meski demikian, peran aktif dari masyarakat tetaplah dibutuhkan. Bukan untuk mengubah keadaan, tetapi untuk melihat, memantau, setiap peristiwa yang terjadi di masyarakat dan apa yang dilakukan pemerintah. Jangan-jangan, karena terlalu sering mendengar peristiwa busung lapar maka hati kita menjadi tidak peka dan seolah-olah itu menjadi peristiwa yang ‘biasa’, atau pun bersikap apatis tanpa mau perduli dengan mengandaikan bahwa pemerintah pasti selalu bisa mengatasi.




DAFTAR PUSTAKA

Sumber buku:
Astuti, Tri Marhaeni.P. “Perempuan Perkasa di Tengah Hutan”, dalam Rahayu Surtiati Hidayat, Jurnal Studi Wanita, Vol. 1 No. 2 Desember 2002, Jakarta: Program Kajian Wanita, Program Pascasarjana, dan Pusat Kajian Wanita dan Gender Universitas Indonesia.
Haralambos, Michael dan Martin Holborn. Sociology Themes and Perspectives (edisi keenam), London: HarperCollins Publisher limited, 2004.
Irianto, Sulistyowati. “Keadilan Sosial, Apakah Juga Ditujukan bagi Perempuan?”, dalam Al. Andang L. Binawan dan A. Prasetyantoko (ed.), Keadilan Sosial Upaya Mencari Makna Kesejahteraan Bersama di Indonesia
Juliawan, Hari. “Kemakmuran yang Tak Kunjung Datang”, dalam Majalah Basis No. 05-06, Tahun ke-54, Mei Juni 2005.
Magnis-Suseno, Franz. Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003.
Prayitna, Aquarini. “Feminisme Eksistensialis”, Rahayu Surtiati Hidayat, Jurnal Studi Wanita, Vol. 1 No. 2 Desember 2002, Jakarta: Program Kajian Wanita, Program Pascasarjana, dan Pusat Kajian Wanita dan Gender Universitas Indonesia.
Sunarto, Kamanto. Pengantar Sosiologi (edisi kedua), Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2000.
Soekanto, Soerjono. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1998.

Sumber Elektronik
http://www.its.ac.id/berita.php?nomer=2030 3 diakses 3 Des’o7 pukul 20.47
http://ecosocrights.blogspot.com/2007/02/miskin-tak-harus-busung-lapar.html diakses 3 Des’07 pukul 20.50
http://jurnalis.wordpress.com/1998/10/24/busung-lapar-satu-generasi-bodoh-2/ diakses 3 Des’07 pukul 20:53
http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2005/03/14/brk,20050314-54,id.html diakseas 10 Des’07 pukul 23:02
http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/nusatenggara/2005/03/14/brk,20050314-32,id.html diakses 10 Des 07 pukul 23:05
http://osdir.com/ml/culture.region.indonesia.ppi-india/2005-03/msg01276.html diakses 10 Des’07 pukul 23 05
http://ms.wikipedia.org/wiki/Kemiskinan diakses 10 Des’07 pukul 23:10
http://www.pu.go.id/publik/P2KP/Okt/struktur00.htm diakses 23 des’07 pukul 23:12
http://www.pu.go.id/publik/P2KP/Des/memahami99.htm diakses 23 des’07 pukul 23:14

ANAK JALANAN


Yang dimaksud dengan anak adalah individu yang dianggap belum matang, baik secara
biologis, psikologis, maupun secara sosial, sehingga dalam relasi sosial anak selalu berada dalam subordinat orang dewasa. Maka anak jalanan sendiri adalah individu yang bekerja di jalan, baik mereka yang sesekali bekerja di jalanan ataupun mereka yang sehari-hari hidup dan bekerja di jalanan. Lalu, mengapa ada anak jalanan dan dari mana anak jalanan itu berasal? Ada banyak hal yang menyebabkan seorang anak berada di jalanan. Salah satunya adalah karena lari atau pergi dari rumah karena salah perlakuan (abuse) yang terjadi di rumah. Misalnya, pertengkaran dengan orang tua, lalu kerasnya pendidikan yang diterapkan oleh orang tua sehingga membuat anak merasa kebebasannya terganggu dan memilih untuk pergi ke jalan. Alasan lain anak pergi ke jalan ialah untuk membantu ekonomi keluarga dikarenakan ketidakmampuan ekonomi keluarga, sehingga mereka terpaksa turun ke jalan untuk mencari uang.
Dari kedua alasan ini bisa dipahami bahwa anak jalanan pun digolongkan dalam beberapa kategori, yakni anak yang bekerja di jalan tetapi masih memiliki kontak dengan keluarganya, lalu anak yang hidup di jalan, dimana seluruh waktunya dihabiskan di jalan untuk mempertahankan hidup tanpa adanya kontak dengan keluarga, dan anak keluarga jalanan yang bersama dengan keluarganya hidup dan mencari nafkah di jalanan. Berdasarkan keterangan berikut, bisa disimpulkan bahwa anak jalanan bisa berasal dari keluarga biasa dengan ekonomi yang mapan maupun dari keluarga yang memang tidak mampu secara ekonomi.
Departemen Sosial memperkirakan bahwa pada tahun 1998 jumlah anak jalanan di Indonesia sekitar 170.000 jiwa , di mana menurut data resmi UNESCO Jakarta menempati urutan teratas dengan jumlah sekitar 30.000 anak . Angka ini diperkirakan akan terus meningkat termasuk di kota-kota seperti Surabaya, Semarang, Medan, Jogjakarta, dan sebagainya. Pertanyaannya: mengapa jumlah anak jalanan ini terus meningkat? Melihat data yang menyebutkan jumlah anak jalanan yang sedemikian besar dan juga melihat keterhubungan dengan berbagai masalah lain terutama keterkaitan dengan masalah kemiskinan seperti yang telah sedikit disinggung di atas, maka permasalahan anak jalanan ini bukan lagi menjadi masalah yang bersifat kedaerahan atau lokal, melainkan sudah merupakan permasalahan nasional yang harus ditangani oleh negara atau pemerintah. Sebenarnya, tanpa menjadi permasalahan yang berskala nasional pun permasalahan anak jalanan ini sudah merupakan tanggung jawab pemerintah karena dalam UUD 45 Pasal 34 ayat (1) disebutkan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Meski sudah disebut dalam UUD 45 dan diperjelas dengan dibuatnya Undang-Undang No 23/2002 tentang Perlindungan Anak, tetapi mereka tetap saja rentan terhadap berbagai bentuk eksploitasi tanpa ada langkah yang konkret dari pemerintah. Dengan kata lain bisa dikatakan bahwa eksistensi mereka tetap belum diakui sepenuhnya meski negara telah membuat Undang-Undang yang secara spesifik telah memberi jaminan perlindungan terhadap mereka. Maka pertanyaannya ialah: mengapa stereotip atau pandangan yang lebih merupakan hasil budaya ini bisa lebih kuat dibandingkan dengan Undang-Undang yang legal, konstitusional, dan memiliki kekuatan hukum?

Faktor-faktor penyebab terjadinya anak jalanan (perempuan) sebagai subordinat orang dewasa
Yang pertama adalah adanya persepsi yang tumbuh kuat dalam masyarakat bahwa “anak adalah aset bagi keluarga” sehingga membuat anak sejak dini sudah diharuskan untuk membantu keluarga. Sedangkan, membantu keluarga atau kewajiban anak terhadap keluarga ini sebenarnya merupakan penghalusan bahasa untuk bentuk eksploitasi ekonomi yang dilakukan keluarga terhadap anak. Yang kedua ialah adanya persepsi dalam masyarakat yang memandang bahwa anak adalah hak milik dari orang tua. Oleh karena hak milik, maka orang lain tidak mempunyai hak dan wewenang untuk melarang apapun yang dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya. Oleh karena itulah, eksploitasi anak sulit untuk dicegah karena komunitas di sekitar masih memandang itu merupakan urusan keluarga masing-masing. Dengan kata lain, stereotip, atau pandangan, atau persepsi ini menentukan posisi anak termasuk untuk mendapatkan hak-haknya.

Kerentanan anak perempuan daripada anak laki-laki sebagai anak jalanan dan relevansi konsep-konsep kemiskinan, ekslusi sosial, dengan gender
Sebagai anak itu sendiri, mereka dianggap sebagai individu yang belum matang, baik secara biologis, psikologis, maupun secara sosial. Sementara sebagai perempuan, individu sering ditempatkan dalam posisi nomor dua setelah laki-laki, di mana dalam budaya patriarkal posisi perempuan sangat lemah dan sering terdiskriminasi. Kedudukan, peran, dan jasanya seolah sengaja diletakkan pada bagian belakang kaum laki-laki yang berimplikasi pada hak-hak dan suaranya yang semakin tidak diperhitungkan. Dalam posisi yang demikian, tidak mengherankan apabila posisi tawar anak perempuan dalam interaksi sosial sangat rendah, bahkan cenderung tidak berdaya. Dan ini menjadi semakin berada dalam situasi yang tidak menguntungkan ketika mereka menjadi anak jalanan di mana seringkali dianggap tidak memiliki kehidupan yang normal dan sangat rentan untuk terjadinya relasi kuasa: menindas atau ditindas atau menguasai atau dikuasai. Ditambah lagi dengan adanya anggapan bahwa anak perempuan harus mengalah dengan saudara laki-lakinya (bila memiliki saudara laki-laki) serta lebih banyak berkorban untuk keluarga, merupakan faktor pendorong anak perempuan banyak turun ke jalan. Penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar (41,9%) anak perempuan turun ke jalanan untuk membantu menambah pendapatan orang tua baik atas kesadaran sendiri maupun disuruh orang tua .
Berdasarkan alasan-alasan di atas, menjadi lebih jelas bahwa anak perempuan lebih rentan terhadap segala bentuk eksploitasi dibandingkan dengan anak laki-laki. Apalagi dalam kehidupan jalanan di mana hukum rimba berlaku: yang kuat itu yang menang. Bisa dikatakan bahwa ‘keperempuanan’ atau karena seorang perempuan itulah yang menyebabkan anak perempuan lebih rentan dibanding dengan laki-laki. Di atas sudah disinggung sedikit bahwa dalam budaya patriarkal posisi perempuan sangat lemah dan sering terdiskriminasi. Pertanyaannya, mengapa dalam budaya patriarkal posisi perempuan lebih lemah? Atau, dalam hal apakah perempuan dianggap lemah dibanding laki-laki, sehingga menyebabkan anggapan bahwa perempuan hanya sekadar ‘konco wingking’?
Menurut Simone de Beauvoir, seorang eksistensialis feminis dalam bukunya The Second Sex, menuliskan bahwa hal-hal tertentu dari fakta reproduksi biologis telah diinterpretasikan oleh masyarakat untuk melanggengkan posisi perempuan sebagai ‘other’ . Meski fakta biologis saja tidak cukup untuk menjelaskan dengan tepat dan jelas posisi perempuan, tetapi tetap saja anggapan bahwa perempuan merupakan subordinat laki-laki merupakan hal yang lumrah dan diterima oleh semua pihak, bahkan juga bagi perempuan di mana mereka malah merasa ikhlas menerima peran tersebut . Maka perempuan selalu dianggap lebih lemah dibanding laki-laki dan karena itulah hak-hak dan suaranya cenderung tidak diperhitungkan. Pertanyannya, apakah anggapan atau stereotipe tersebut merupakan anggapan yang memang benar adanya, ataukah sebenarnya anggapan atau pandangan tersebut dibuat dan dipakai dengan tujuan tertentu sehingga untuk mempertahankan tujuan tersebut harus diusahakan agar perempuan tetap dan terus berstatus sebagai ‘other’? Dengan kata lain, benarkah perbedaan perlakuan maupun hak-hak yang diterima oleh perempuan dalam kehidupan sosial semata-mata ditentukan oleh karena perbedaan biologis, atau alasan akan perbedaan biologis tersebut hanyalah kedok yang dipakai untuk menutupi maksud yang sebenarnya?
Dalam pandangan umum, status perempuan senantiasa dihubungkan dengan status laki-laki. Mengenai hal ini, menurut Beauvoir, laki-laki mendefinisikan laki-laki sebagai ‘diri’ sedang perempuan mendefinisikan perempuan sebagai ‘other’ atau liyan. Jika liyan merupakan ancaman bagi ‘diri’; perempuan adalah ancaman bagi laki-laki, dan jika laki-laki ingin tetap bebas, maka laki-laki harus mensubordinasi perempuan. Laki-laki kemudian menemukan cara untuk mengontrol perempuan, yaitu dengan menciptakan mitos-mitos tentang perempuan; bahwa perempuan tidak rasional, kompleks, tidak dapat dimengerti, sehingga pada akhirnya perempuan tanpa sadar menerima dirinya sebagai objek, atau diobjekkan oleh laki-laki . Lama kelamaan, melalui proses yang yang terjadi dalam jangka waktu yang lama dalam kerangka budaya, pandangan atau stereotip ini menjadi suatu ‘ideologi’ mengenai seksisme yang pada dasarnya berusaha membenarkan suatu diskriminasi terhadap kelompok lain atas dasar anggapan bahwa perbedaan yang dibawa sejak lahir terkait dengan status yang lebih rendah. Misalnya saja seperti yang telah disinggung di atas bahwa dalam hal kecerdasan dan kekuatan fisik laki-laki melebihi perempuan, atau bahwa perempuan lebih emosional daripada laki-laki, sehingga hal ini membuat adanya diskriminasi terhadap perempuan tetap bertahan dalam hidup sehari-hari, terutama dalam konteks masyarakat dengan budaya patriarkal, meskipun ternyata dalam sistem kekerabatan matrilinial pun dominasi laki-laki tetap kuat .
Berkaitan dengan masalah anak yang bekerja di jalanan yang salah satu sebabnya – dan ini merupakan sebab dominan – adalah karena kemiskinan. Berbicara mengenai kemiskinan tidak bisa dilepaskan dari pertanyaan mengenai penyebab kemiskinan itu sendiri dan keterkaitannya dengan banyak hal yang kesemuanya itu saling mempengaruhi. Secara definitif kemiskinan berarti suatu keadaan di mana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok, dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental tenaga mental maupun fisiknya . Arti kemiskinan ini masih dalam arti luas, karena kemiskinan itu sendiri masih membutuhkan klasifikasi-klasifikasi tertentu agar menjadi lebih spesifik dan sesuai dengan konteks. Contohnya ialah arti kemiskinan pada masyarakat modern yang kompleks dibandingkan arti kemiskinan pada masyarakat yang susunan dan struktur organisasinya lebih sederhana.
Kemiskinan bisa dimengerti sebagai suatu keadaan yang berada dibawah satu garis kemiskinan tertentu atau suatu keadaan di mana seseorang kekurangan bahan-bahan mendasar untuk keperluan hidup seperti makanan, pakaian, dan kediaman (sandang, pangan, dan papan) . Secara lebih spesifik, PBB memakai ukuran yang ditetapkan oleh Bank Dunia, yaitu penghasilan kurang dari US$ 1 sebagai kategori kemiskinan ekstrem, antara US$ 1 hingga US$ 2 sebagai kategori miskin moderat, dan kemiskinan relatif yang berarti tingkat penghasilan rumah tangga di bawah proporsi tertentu dari rata-rata nasional . Sedikit berbeda, kemiskinan juga dapat digolongkan menjadi tiga pengertian: kemiskinan absolut, kemiskinan relatif dan kemiskinan kultural. Seseorang termasuk golongan miskin absolut apabila hasil pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan, tidak cukup untak memenuhi kebutuhan hidup minimum: pangan, sandang, kesehatan, papan, pendidikan. Seseorang yang tergolong miskin relatif sebenarnya telah hidup di atas garis kemiskinan namun masih berada di bawah kemampuan masyarakat sekitarnya. Sedang miskin kultural berkaitan erat dengan sikap seseorang atau sekelompok masyarakat yang tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupannya sekalipun ada usaha dari fihak lain yang membantunya .
Memang dalam kaitannya dengan anak jalanan, kemiskinan merupakan suatu masalah yang harus dipecahkan. Tetapi yang juga penting untuk diperhatikan ialah posisi mereka (anak jalanan perempuan) tidak hanya menunjukkan kekurangan dalam hal ekonomi saja, tetapi juga menunjukkan situasi di mana mereka tereksklusi dari masyarakat karena mereka entah dengan sengaja atau karena keterpaksaan menarik diri dari masyarakat, yang memang salah satunya penyebab utamanya ialah kemiskinan. Apalagi, nyatanya jalanan merupakan representasi tempat yang tepat untuk mengungkapkan bahwa kehidupan mereka tidak lagi ‘normal’ seperti layaknya masyarakat pada umumnya. Maka, masalah anak jalanan (perempuan) ini harus ditempatkan dalam konteks yang lebih luas, yakni dengan melihat bentuk-bentuk ketidakadilan yang berhubungan dengan masalah anak jalanan (perempuan), dan hal ini terlihat jelas bahwa perbedaan gender membuat posisi anak jalanan perempuan semakin tersisihkan, terutama dari hak-hak mereka. Kemiskinan memang membuat mereka tersisih, tetapi ‘keperempuan’ mereka semakin membuat mereka tersisih dan terabaikan. Ketersisihan mereka bukanlah suatu kodrat, melainkan karena bentukan atau hasil dari budaya yang menginginkan dominasi laki-laki dalam kehidupan. Dengan kata lain, kesetaraan gender berarti merombak semua pandangan atau stereotip tentang dominasi laki-laki terhadap perempuan.
Dalam konteks sebagai anak, memang benar bahwa anak dilahirkan oleh orang tua sehingga orang tua lebih berhak untuk merawat, mendidik, termasuk juga mengarahkan anak. Tetapi berhak tidak berarti memiliki. Dengan kata lain hak-hak anak tetap harus dihormati sebagai hak seorang pribadi, hak seorang manusia sepenuhnya. Maka bila hak anak dilanggar apalagi bila sudah merupakan bentuk eksploitasi, bahkan oleh orang tua sekalipun, orang lain atau pemerintah bisa menindak tegas orang tua tersebut. Disinilah akan terjadi konflik antara pandangan yang mengatakan bahwa anak adalah milik orang tua dengan pandangan bahwa anak pun berhak menentukan pilihannya sendiri. Mungkin orang tua akan berpendapat bahwa anak belum mampu membuat pilihan-pilihan, apalagi pilihan menyangkut hidup, karena mereka belum matang naik secara biologis maupun secara psikologis. Tetapi justru disinilah peran orang tua atau keluarga untuk mendidik mereka, bukannya mengeksploitasi mereka entah dengan dalih apapun. Masa kanak-kanak ialah masa pertumbuhan, maka hak mereka ialah untuk tumbuh berkembang menjadi pribadi yang sehat, bukannya diberi beban untuk bekerja layaknya orang dewasa.

CATCH ME, IF YOU CAN



At Monday September 10th 2007, the regional representative council of Jakarta declared a new regional regulation number 8 about Public orderliness which regulates people in giving donation to the poor in the public sites. This new regulation consists of 74 points, more than previous regulation number 11 in 1988 which only consists of 34 points. Regional government said that they are going to socialize this new regulation until 6 months since it was declared.
This new regulation has been causing a controversy between the proponents of the regulation and the opponents of it. Both the proponents and the opponents have their own reason where they stand for. On one hand, the proponents considered that the new regulation will solve the problem of street people up to its roots because the regulation doesn’t only punish the poor as an object of donation, but also punish the driver of vehicles as a subject of donation, and on the other hand the opponents said that the government can’t forbid people from giving their donation. For this reason, the proponents said that they can give their donation through any caritative foundations.
If you ask me: which one will you stand for? For this problem, I oppose the new regulation. Why? First, because the regulation makes the problem wider and more complicated than before and it will make certain difficulties in excuting it. Second, because the regulation will never solve the real problem behind it, that is, poverty. It only touch the surface of the problem which is actually very complicated and related to the others. Based on it, this problem needs cooperation among many people and sides. Poverty can never be solved only by a regulation because it involves a basic problem which happened on many places in this country. Have the government asked the poor like street children: what do you want? Never. I think the government concludes many things based on its own thinking, so that every decision or regulation doesn’t solve the problem around it. In Karl Marx’s language: actually it is a exploitative relation between bourgeois class and proletarian class.
Finally, I think the new regulation isn’t appropriate to solve the real problem. It only makes the poor suffer more in their life. If the government doesn’t want their presence in the public sites, the government must look for what the real problem behind it is, and later make a decision which can solve the problem.

ORIGENES Penulis, Guru, dan Teolog (185-254)


Origenes atau Origen dilahirkan di Alexandria - Mesir, kurang-lebih tahun 185 dalam sebuah keluarga kristen. Dia adalah murid Clement dari Alexandria di sekolah teologi Alexandria, di mana akhirnya Origenes menjadi guru di situ. Origenes sering mengadakan perjalanan; ke Roma di mana dia mendengarkan dengan sungguh-sungguh ajaran Hippolytus; ke Arab karena dipanggil oleh seorang gubernur; ke Anthiokia dengan kawalan tentara atas undangan Julia Mammea – ibu raja Alexander Severus – yang berharap untuk diajari mengenai kristianitas. Hingga pada tahun 216 ketika terjadi penganiayaan oleh Caracella, Origenes pergi Palestina atas undangan Uskup Yerusalem, Alexander, dan Uskup Kaisarea, Theoctistus. Di diminta untuk berkhotbah dan mengajar Kitab Suci di sana. Pada tahun 231, Origenes diundang oleh uskup dari Achaia ke Athena untuk membantah sekelompok aliran bidaah. Dalam perjalanannya melewati Kaisarea, Theoctistus dan Alexander mentahbiskan Origenes menjadi imam dengan tujuan agar Origenes bisa terus berkhotbah dan mengajar di sana. Tetapi, hal itu dilakukan tanpa mengkonsultasikannya dengan uskup Alexandria, yaitu Demetrius. Ketika kembali kembali ke Alexandria, Demetrius menolak keputusan itu dan mengadakan dua kali sinode yang dilaksanakan di Alexsandria. Keputusan sinode yang pertama melarang Origenes untuk mengajar atau berkhotbah di sana dan mengasingkannya dari Mesir, sedang dinode yang kedua berkeputusan untuk mencabut status keimamannya.
Akhirnya Origenes tinggal di daerah Kaisarea di mana dia diterima oleh orang-orang di sana dan pernyataan Demetrius tidak diindahkan, di samping juga mendirikan sebuah sekolah teologi, filsafat dan literatur. Di sana dia melanjutkan mengajar, berkhotbah, dan menulis literatur-literatur dengan dibantu oleh Ambrosius yang bergabung dengannya di Kaisarea sebagai stenografer dan juru salin. Origenes juga sering mengadakan perjalanan: ke Athena di mana dia memulai menulis Commentary on the Song of the songs (Komentar mengenai Kidung Agung); ke daerah Arab di mana, dalam sebuah sinode, dia membawa uskup Berrylus dari Bostra kembali ke ortodoksi dan di mana dia membantah sekelompok orang kristen yang menyatakan bahwa jiwa mati bersama badan dan dibangkitkan bersama-sama; ke Nicomedia di mana dia menulis surat kepada Julianus Africanus; ke Cappadocia di mana dia diundang oleh uskup Firmilian.
Selama masa penganiayaan umat kristen oleh Kaisar Decius sekitar tahun 250, Origenes, yang dengan berani menyatakan imannya, juga turut dianiaya dan dipenjarakan hingga ia dibebaskan pada tahun 251. Karena kesehatannya yang terus menurun, Origenes akhirnya meninggal tahun 254 di kota Tyre atau Tyrus pada umur 69 tahun.

Karya-karya Origenes
Origenes adalah salah seorang teolog yang sangat berpengaruh di awal era kekristenan. Karya-karyanya antara lain De Principiis atau Peri Archon yang berisikan sebuah teologi sistematis yang membagi atau memisahkan Tuhan dan hubungannnya dengan alam semesta, ruang dari kemanusiaan, baik dan jahat dan interpretasi mengenai kitab suci, yang kemudian dikembangkan dalam menanggapi aliran bidaah saat itu. Lalu juga Hexapla yang berisikan tafsiran kritis terhadap Kitab Suci berupa perbandingan dari 6 versi mengenai Perjanjian Lama. Selain itu ada Exhortatione ad Martyrum yang ditujukan pada Ambrosius ketika dia berada dalam bahaya karena penganiayaan Maximinus Thrax. Lalu De Oratione atau Peri Euches yang menyangkut masalah spritualitas. Karyanya yang lain ialah Contra Celsum yang merupakan sangkalan Origenes dalam bentuk 8 buku atas kritisisme Celsus yang anti-Kristus, yang mana tulisan tersebut merupakan contoh apologetik yang sangat bagus.
Meskipun ajaran-ajarannya dipuji oleh Athanasius, lalu Basil dan Gregory dari Naziansus, sebuah konsili yang diselenggarakan pada tahun 400 di Alexandria mengutuk ide-idenya mengenai Trinitas dalam De Principiis, dan kontroversi ini berlanjut hingga abad keenam dimana ajarannya dikutuk pada Konsili yang diselenggarakan di Konstantinopel pada tahun 553. Meskipun demikian, Origenes adalah seorang sosok yang luar biasa dalam sejarah gereja. Di dalam pengetahuan biblisnya, dia melihat bahwa kitab suci dapat diinterpretasikan secara literal, secara moral, dan secara allegoris. Tekanannya mengenai makna simbolis dalam teks berpengaruh amat besar dalam sejarah pemahaman biblis selanjutnya.
Dari keseluruhan karyanya yang kurang lebih dua ribu tulisan, hanya sebagian yang masih tersimpan salinannya, seperti beberapa contoh yang telah disebut di atas. Sebagian besar tulisannya yang bagus telah musnah atau dilarang untuk disebarkan. Beberapa karyanya yang tersisa menggunakan bahasa Yunani, dan sebagian yang lain merupakan terjemahan dalam bahasa latin yang disimpan oleh Jerome dan Rufinus, teman dan pengagum Origenes pada abad ketiga dan keempat. Menurut orang yang pernah mempelajari tulisan Origenes mengatakan bahwa gaya bahasa tulisan-tulisannya ramah dan sangat sopan, apalagi ketika menulis tentang dirinya sendiri. Kitab Suci ditafsirkannya secara alegoris. Bagi Origenes, kitab suci merupakan tanda hadirnya Allah di dunia dan ia sangat tertarik akan pertemuan dengan sabda yang menjadi daging.

Kiprah Origenes dalam Gereja
Banyak tulisan Origenes yang berguna bagi perkembangan teologi. Akan tetapi ada beberapa gagasannya yang ditolak, seperti gagasannya mengenai Allah-Putera yang ‘kurang ilahi’ dibandingkan Allah Bapa. Mengenai hal ini, Origenes menuliskan bahwa “Allah Bapa meliputi semua yang ada. Putera sebaliknya lebih rendah daripada Bapa, mencakup hanya yang ada yang rasional, sebab Ia adalah yang kedua setelah Bapa. Malah lebih kecil lagi adalah Roh Kudus, yang bertindak hanya terhadap para kudus”. Gagasan-gagasan lain yang juga ditolak ialah gagasan bahwa dunia diciptakan sejak kekal. Gagasan yang menyatakan bahwa dengan kematian nasib abadi seseorang belum ditentukan, sebab Allah akhirnya akan menghapus segala hukuman terhadap manusia dan dengan demikian memulihkan kebahagiaan sempurna semua makhluk ciptaannya (apokatastasis: akhirnya semua dipulihkan; Yun) – dan ini berarti menyangkal neraka abadi sebagai kemungkinan riil. Gagasan-gagasan seperti ini disebut ‘Origenisme’.
Di sisi yang lain, Origenes juga dikenal sebagai seorang pelopor hidup bakti. Dalam hal ini, Origenes begitu menekankan asketisme: matiraga, puasa, semangat berjaga-jaga, dan kemiskinan. Dia sendiri bersikap keras terhadap dirinya sendiri serta mendasarkan hidupnya pada prinsip-prinsip kekristenan yang keras dan kokoh, yang dia wujudkan dalam hidup bersama dengan para muridnya. Dalam risalatnya mengenai doa, Origenes memperlihatkan bahwa doa bukanlah masalah mengenai bagaimana meminta sesuatu, melainkan keikutsertaan di dalam hidup Allah.
Dalam hal spiritualitas, Origenes mengembangkan pola pikir bahwa hidup rohani merupakan sebuah perjalanan orang Israel keluar dari Mesir. Menurutnya, hidup kristiani dimulai dengan keluarnya dari Mesir yaitu perbudakan dosa, melalui laut Merah yaitu pemurnian dalam lewat pembaptisan, dan mencapai tujuan pada tanah terjanji yaitu surga. Namun, dalam perjalanan tersebut orang Israel kerapkali berhenti. Maka Origenes membentuk 42 tahap perkembangan hidup rohani.

PENUTUP
Origenes merupakan tokoh penting bagi perkembangan awal gereja. Dia berkhotbah, mengajar, dan juga menulis. Meskipun beberapa pemikirannya dilarang, secara garis besar dia tetaplah seorang yang memiliki jasa bagi perkembangan gereja selanjutnya karena pemikiran-pemikirannya yang tajam mengenai kitab suci sekaligus sebagai seorang guru spiritual yang disegani.


DAFTAR PUSTAKA

Bans, Karl. History of the Church: From the Apostolic Community to Constantine (Hubert Jedin and John Dolon, ed). London: Burns & Oates, 1980.
Cohn-Sherbok, Lavinia. Who’s Who in Christianity. New York: Routledge, 1998.
Heuken, A. Ensiklopedi Gereja Jilid III (Kons-Pe). Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1993.
Instituum Patristicum Augustinianum. Encyclopedia of Early Church Volume II, (Angelo Di Berardino, ed.). Cambridge: James Clarke & co.
Kristiyanto, Eddy. Sahabat-Sahabat Tuhan Asal-Usul dan Perkembangan Awal Tarekat Hidup Bakti. Yogyakarta: Kanisius, 2001.
_____. Microsoft Encarta Dictionary 2006. Microsoft Corporation, 2005.
Schie, G. Van. Rangkuman Sejarah Gereja Kristiani dalam Konteks Sejarah Agama-Agama Lain. Jakarta: Penerbit Obor, 1994.
Tunjung Kesuma, Petrus. Diktat Mata Kuliah Teologi Spiritual STF Driyarkara 2007.

RENE DESCARTES (1596-1650)


Descartes adalah filsuf yang tidak puas dengan filsafat jamannya yang dianggapnya kurang sistematis, terutama kekurangan suatu metode ilmiah. mMenurutnya, metode yang cocok untuk memperbaharui filsafat adalah "kesangsian metodis". Sangsi akan segala hal, supaya tinggal diterima hal-hal yang betul-betuk pasti, sehingga dapat terwujud suatu sistem filsafat layaknya ilmu pasti; yaitu suatu sistem yang berdasarkan aksioma2 dan tersusun menurut langkah2 yang logis.
Kalau saya sangsi akan segala sesuatu, tinggal satu hal yang tidak dapat disangkal, yaitu kesangsian itu sendiri. Pemikiran ini tidaklah baru. Tetapi yang baru pada Descartes ialah bahwa subyek yang sedang berpikir menjadi titik pangkal filsafatnya. Kata Descartes, kalau saya ragu2 akan segala sesuatu, saya masih mempunyai kepastian tentang sesuatu. Dengan kata lain, (kalau) saya berpikir, (maka) saya ada (cogito ergo sum)
Yang revolusioner dalam pemikiran yang nampak sederhana ini ialah bahwa Descartes berpangkal pada dirinya sendiri. Manusia, subyek pemikiran, menjadi titik tolaknya. Manusia yang berpikir merupakan pusat dunianya. Berkat ide ini, Descartes menjadi ayah filsafat modern. Ide yang diajukan Descartes adalah ide yang jelas dan terpilah-pilah (clare et distincte). Di sini Descartes menunjukkan dirinya sebagai seorang "rasionalis".

sumber: Harry Hamersma

Tuesday, 29 March 2011

JAMAN MODERN


Jembatan antara abad pertengahan dan jaman modern disebut jaman renesanse, “kelahiran kembali”. Dalam jaman renesanse, periode antara 1400 dan 1600, manusia seakan-akan “lahir kembali” dari tidur abad pertengahan. Seluruh kebudayaan Barat dibangunkan dari suatu keadaan statis yang berlangsung seribu tahun. Mulai dari Itali kemudian menyebar ke negara-negara lain di Eropa, ilmu2 sastra, seni, dan sosial tiba-tiba memperlihatkan suatu perkembangan baru. Manusia berpikir secara baru, antara lain mengenai dirinya sendiri. Manusia tidak lagi menganggap dirinya sebagai viator mundi, orang yang berjiarah di dunia ini, melainkan sebagai faber mundi, orang yang menciptakan dunianya. Manusia sendiri mulai dianggap sebagai pusat kenyataan.
Tiga faktor yang mempercepat perkembangan baru dalam jaman renesanse adalah tiga penemuan baru, yaitu (1) pemakaian mesiu, (2) mesin cetak, dan (3) kompas. Penemuan mesiu berarti titik akhir kekuasaan feodal. Penemuan mesin cetak berarti pengetahuan tidak lagi merupakan milik eksklusif suatu elit intelektual, melainkan terbuka untuk banyak orang. Penemuan kompas berarti bahwa navigasi mulai aman, sehingga dimungkinkan perjalanan2 jauh yang membuka dunia baru. Tiba-tiba horizon manusia Barat menjadi jauh lebih luas.
Sebagai ahli waris jaman renasense, filsafat jaman modern itu bercorak “antroposentris”. Artinya, manusia menjadi pusat perhatian. Dalam jaman Yunani Kuno dan Abad Pertengahan, filsafat selalu mencari “substansi”, yakni prinsip induk yang “ada di bawah” seluruh kenyataan. Para filsuf Yunani menemukan unsur2 kosmologis sebagai prinsip induk (arche) ini. Bagi pemikir abad pertengahan, Tuhan adalah prinsip ini. Namun dalam jaman modern, peranan substansi diambil alih manusia sebagai “subyek”. Yang “terletak di bawah” seluruh kenyataan kita, yang memikul kenyataan itu bukan suatu prinsip di luar kita, melainkan kita sendiri.
Oleh karena itu jaman modern sering disebut “jaman pembentukan subyektivitas”. Seluruh sejarah filsafat jaman modern dapat dilihat sebagai satu rantai perkembangan pemikiran mengenai subyektivitas dengan menyelidiki segi-segi subyek “aku” sebagai pusat pemikiran, pusat pengamatan, pusat kebebasan, pusat tindakan, pusat kehendak, dan pusat perasaan.
Dalam “Jaman Barok”, periode antara sekitar 1600 dan 1700, penyelidikan subyektivitas manusia lebih berkisar pada “rasio” (akal budi). Semua pemikir besar jaman barok merupakan ahli matematika, seperti Descartes, Leibniz dan Spinoza yang mencoba menyusun suatu sistem filsafat dengan manusia yang sedang berpikir dalam pusatnya. Rasionalisme mereka, bahwa akal budi merupakan alat terpenting bagi manusia untuk mengerti dunianya dan mengatur hidupnya, ditolak oleh Pascal, seorang pemikir lain dari jaman barok. Menurut Pascal, unsur hati sering jauh lebih penting daripada unsur rasio.
Abad ke-18 di Eropa merupakan “jaman fajar budi”, jaman “pencerahan”, atau “penerangan” (enlightenment, Aufklarung). Jaman Fajar Budi bersifat sangat optimis. Setelah perkembangan dalam renesanse, reformasi dan jaman rasionalisme, setelah perkembangan dalam hidup intelektual dan sosial, manusia dianggap “dewasa”. Orang mengira bahwa berkat rasio semua soal dapat dipecahkan.
Sekitar tahun 1750 mulailah “jaman romantic”. Sebagai suatu reaksi terhadap semua tekanan atas ‘rasio’ dan “empiri”, maka timbul kecenderungan untuk mementingkan perasaan dan fantasi. Bila fajar budi lebih merupakan suatu gejala untuk dunia universiter dan lapisan paling atas masyarakat, maka jaman romantik merupakan sesuatu yang memengaruhi semua orang. Romantic merupakan suatu gerakan dalam agama, seni, puisi rakyat, sastra, musik, dan filsafat. Filsafat jaman romantic sering terikat pada kesusasteraan. Tokoh yang paling penting dalam filsafat jaman romantic adalah Fichte, Schelling, dan Hegel.

sumber: Harry Hamersma, "Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern", Gramedia, 1983.

Monday, 28 March 2011

JESUIT DI TENGAH DUNIA (EROPA TENGAH)




Usaha dan doa tampak menjadi sebuah kenyataan; 100% Rahmat Allah, 100% Usaha Manusia. Kepercayaan pada Allah telah membuktikan bahwa Serikat dapat hidup kembali setelah dibubarkan. Pengharapan yang besar telah terjawab, namun jawaban itu kini membutuhkan realisasi manusiawi dengan berbagai cara penyesuian diri terhadap situasi politik, sosial, dan budaya baru. Jesuit berusaha keras untuk menyatukan sarana manusiawi dengan Allah [813].
“Meninggalkan Tuhan untuk menemukan Tuhan.”

Politik
Dalam karya pelayanannya, Jesuit seringkali berhadapan dengan para penguasa, dengan begitu Jesuit pun bersentuhan dengan politik. Di Perancis Serikat juga pernah mengalami dilema, memilih tetap setia pada Raja atau mengikuti sebuah dunia baru (kebebasan demokrasi). Bersentuhan dengan politik, di sana ada bahaya Serikat menjadi tidak netral (eksklusif) dengan memihak salah satu pihak yang sedang bersaing (Raja atau Demokrasi). Lalu apakah dengan begitu kita mencari jalan tengah? Melihat perutusan Jesuit, kita diutus untuk mewartakan kebenaran dan keadilan yang juga berarti mencari jalan yang terbaik bagi semua. Phillipe Delvaux menyatakan dengan keras mendukung kebebasan demokrasi (belajar dari negaranya — Belgia, dan Amerika Serikat, dimana Gereja berkembang pesat dibandingkan di tengah-tangah Kerajaan Absolut). Di sini kita bisa melihat bahwa Jesuit berani memilih dan berarti juga berani menanggung segala resikonya jika itu memang Demi Kemuliaan Tuhan.
Kehadiran dan kepergian Jesuit dari suatu negara (Spanyol, Portugal, Perancis, Jerman, Eropa Tengah, dll) selalu berurusan dengan pemerintahan (penguasa). Jesuit memang tidak terjun langsung pada politik praktis namun tetap saja ia tidak bisa lepas dari hal itu (politik) karena ia hidup di dalam sebuah hierarki yang jelas dalam sebuah negara. Ignatius pun hidup dalam masyarakat yang hierarkis baik dalam bidang sekular maupun sakral. Ia percaya bahwa tata hierarki ini merupakan pemberian Allah (William A. Barry, 2002). Pemberian Allah macam apa jika akhirnya Serikat harus menderita (diusir); Spanyol, Jesuit diusir 3 kali (1820, 1835, 1868); Portugal, diusir 2 kali (1834, 1910); Perancis, sempat tersebar dan bersembunyi pada saat Revolusi Juli (1830), dan sempat lari ke Inggris, Switzerland, Spanyol, dan Belgia pada 1880; Rusia, diusir oleh Tsar pada 1820; Switzerland, 274 Jesuit diusir pada 1847. Lalu kita hanya bisa menerima, “Ini pemberian Allah…” ?
“Allah berbicara dengan cara-Nya sendiri”

Pendidikan
Walaupun Serikat secara resmi telah berdiri kembali namun tetap saja penderitaan (terusir dan dimusuhi) itu tetap ada. Mistik La Storta telah menunjukkan pada kita bahwa sekalipun Yesus telah mulia namun Ia tetap memanggul salib. Mengikuti Panji Kristus ternyata begitu berat dan konkret dialami oleh Serikat. Berhadapan dengan para penguasa berarti menunjukkan kelemahan kita—tak bisa berbuat apa-apa. Namun, di satu sisi ini menunjukkan bahwa Serikat memiliki kekuatan dalam karyanya, khususnya dalam bidang pendidikan (seringkali ditakuti oleh para kaum anti-religius yang menganggap bahwa melalui pendidikan, Jesuit akan “mendoktrin” para kaum muda dan itu akan menjadi suatu kendala bagi mereka). Sejak awal Ignatius yakin bahwa Allah memanggil Serikat untuk terjun dalam kerasulan pendidikan (William A. Barry, 2002). Di Spanyol, Jesuit diundang oleh Raja Ferdinand VII untuk memperkokoh dan memajukan negara melalui pendidikan; Portugal sampai tahun 1910 telah memiliki 7 kolese; Perancis, yang berhadapan langsung dengan para intelektual yang menyerang melalui pidato-pidato (kuliah) yang diberikan di Universitas Perancis (Jules Michelet, Edgar Quinet), Seni Drama (Jules Michelet), dan juga Novel (Eugene Sue); Polandia, mendirikan kolese di Tarnopol, Lemberg, Neu-Sandec, dan Krakow; Irlandia, Peter Kenney menjadikan sebuah kastil di Kildare menjadi sebuah sekolah; Belgia, memulai 2 kolese pada tahun 1832; Inggris, membuka kolese di Liverpool, Chicester, St Bueno’s dan Malta. Pendidikan sudah begitu lekat di hati para Jesuit dan mereka yakin bahwa Allah hadir di sana.
“Mimbar”
Sekalipun karya Serikat banyak di bidang pendidikan namun Serikat juga tidak meninggalkan “mimbar”. Dalam Formula Institusi kita dapat menemukan bahwa Ignatius telah menyampaikan gambaran tentang Serikat yang berjuang untuk membela dan merambatkan iman, serta memajukan jiwa-jiwa dalam kehidupan serta ajaran Kristiani melalui khotbah-khotbah, dan segala bentuk pelayanan Sabda Allah.Banyak Jesuit yang menjadi pengkhotbah ulung dan pembimbing rohani yang baik untuk menggerakkan sesama ke arah hal-hal yang lebih baik [648], seperti di Perancis. Kita bisa mengenali banyak nama yang terkenal, antara lain :
1. Francois Xavier Gautrelet (mempromosikan doa Hati Kudus Yesus melalui Kerasulan Doa-nya)
2. Nicolas MacCarthy (pengkhotbah ulung di Toulouse, ia seorang Irlandia)
3. Joseph Varin d’Ainville (pembimbing Madeleine Sophie Barat yang mendirikan “Religius Hati Kudus Yesus” dan meneguhkan Santa Julie untuk mendirikan “The Sister of Notre Dame de Namur)
4. Jean Baptiste Bourdier-Delpuits (mengorganisasi sebuah kelompok doa di Paris yang beranggotakan 400 orang)
5. Jean Baptiste Lecordaire (berusaha menarik perhatian kaum intelektualis Perancis yang skeptis), dll

Sabda Tuhan pun tak jemu-jemu diwartakan kepada umat dalam gereja [645]. Dengan begitu karya paroki di sini menjadi penting dan hal ini pun ditunjukkan oleh para Jesuit Jerman yang mendirikan paroki-paroki baru di sana dan juga para Jesuit Inggris yang dengan bebas bekhotbah di paroki-paroki.
Publikasi
Muncullah Etudes (1856) di Perancis sebagai sebuah majalah bulanan Jesuit yang mewartakan kebebasan. Sempat disensor oleh Roma (1866), dibekukan (1880), dan akhirnya terbit lagi (1888) seizin Paus Leo XIII. Kemudian di beberapa negara bermunculanlah majalah-majalah Jesuit lain, seperti Broteria di Portugal (1863), The Month di Inggris (1864), Stimen der Zeit di Jerman (1865), Razon y Fe di Spanyol (1910).
Siap menghadapi tantangan kultur baru, inilah disposisi yang harus diambil oleh karya media untuk menjalankan diskresinya (Sindhunata, 2001). Karya Jesuit di bidang publikasi pun dapat dikatakan sebagai sebuah sarana yang efektif untuk mewartakan Allah. Dalam KJ 31, media massa sudah banyak disinggung sebagai kerasulan yang penting dan khas Serikat.
Lepas Bebas
Segala sarana manusiawi (karya pendidikan, dan katakese) benar-benar diusahakan oleh Jesuit untuk mewartakan Allah yang menciptakan manusia untuk memuji, menghormati, dan memuliakan-Nya (LR 23). Kadang hal ini begitu menyakitkan ketika Serikat tidak diterima dan diusir dari sebuah negara, ketika harus meninggalkan semuanya (sarana-sarana, termasuk segala kekayaan Serikat). Sikap lepas-bebas tidak hanya menjadi sebuah permohanan melainkan juga menjadi sebuah usaha konkret dalam penderitaan. “Sakit” inilah yang membawa Serikat masuk pada mistik penderitaan Yesus (Minggu III) dan menjadi sebuah pilihan mengikuti jalan-Nya.
Penutup
Ignatius mengetahui dari pengalaman bahwa jalan untuk menikmati Allah dapat membawa kita melintasi lorong-lorong gelap. Ketika Jesuit hidup di dalam tegangan kreatif yang bersumber dari spiritualitasnya, mereka menjadi masalah seperti Yesus, Tuhan mereka, yang telah memanggil mereka menjadi sahabat-sahabat-Nya. (William A. Barry, 2002)



N. Arya Dwiangga Martiar
Nikolas Kristiyanto

GABRIEL MARCEL (1889-1973)


Salah satu ciri khas pemikiran Marcel adalah penolakannya tetrhadap filsafat sebagai sistem. Sistematisasi mau tidak mau akan mematikan pemikirannya yang hidup. karena alasan itu, ia merasa kurang senang bila pemikirannya disebut dengan salah satu isme.
Bagi Marcel, filsafat dengan drama mempunyai kaitan erat sebagai dua aktivitas yang tak terpisah. kedua-duanya mempunyai tujuan yang sama, yaitu memahami siapakah sebenarnya manusia. Dengan menekankan kaitan timbal-balik antara pemikiran dan pengalaman konkret ini Marcel dapat menghindari empirisme maupun rasionalisme, dua ekstrem besar yang sudah lama menghantui filsafat modern.
Dalam bukunya "Existence et objectivite", Marcel melihat obyektivitas sebagai lawan dari eksistensi. eksistensi tidak pernah dapat dijadikan obyektivitas. eksistensi adalah situasi konkret saya sebagai subyek dalam dunia. Eksistensi adalah seluruh kompleks yang meliputi semua faktor konkret - kebanyakan kebetulan - yang menandai hidup saya. Yang khas bagi eksistensi ialah bahwa saya tidak eksplisit menyadari situasi saya itu. Tentu saja saya adalah subyek yang mempunyai kesadaran, tetapi saya tidak menginsafi apakah artinya eksistensi saya di dalam dunia. Baru dalam perjumpaan dan pergaulan dengan orang lain beberapa manusia akan menyadari lebih jelas situasi mereka yang sebenarnya.

Mencintai Dalam Kematian
"Mencintai" dengan sendirinya berarti mengatakan "Engkau takkan mati". Kehadiran yang tampak dalam cinta mengatasi ruang dan waktu. Sesudah kematian orang yang dicintai, kehadiran itu berlangsung terus. Sebenarnya saya tidak kehilangan orang yang saya cintai, melainkan saya hanya kehilangan sesuatu yang saya punyai. Kata "kehilangan" tempatnya hanya dalam hubungan dengan obyek-obyek yang saya miliki. Tanpa bermaksud menyepelekan rasa sedih karena kehilangan orang yang kita cintai, Marcel bermaksud mengajak untuk berefleksi lebih dalam dengan memperlihatkan bahwa di seberang kematian, kehadiran terus berlangsung dengan cara baru. Kehadiran tidak terbatas pada waktu tertentu. "Kehadiran" bersifat langgeng.
Karenanya, harus dibedakan antara keinginan dengan harapan. keinginan menurut kodratnya hanya bersifat egosentris; usahanya ialah memiliki. Saya menginginkan orang lain sejauh ia dapat melayani dan menyenangkan saya. Tetapi harapan tidak bersifat egosentris. Harapan tertuju pada "Engkau", dan harapan itu memberi kepastian tentang kebakaan orang tercinta yang telah meninggal...