Friday, 5 December 2008

Hutan Rusak Salah Kita?



Pernahkah kita menghitung dengan sadar, berapa kertas yang kita gunakan setiap harinya? Atau, berapa helai tissue yang langsung kita buang setelah sekali dipakai? Atau pernahkah terpikir berapa banyak barang di sekitar kita yang menggunakan kertas sebagai bahan dasar pembuatannya? Akhirnya, pernahkah kita membayangkan kita hidup sama sekali tanpa menggunakan kertas dalam bentuk atau wujud apapun?

Tidak bisa disangkal bahwa industri pulp dan kertas turut menyumbang cepatnya proses deforestasi di Indonesia. Industri yang berkembang pesat sejak tahun 80-an ini mencapai kapasitas 6 juta ton per tahun. Dalam hitungan kasar saja, untuk mencapai kapasitas produksi itu dibutuhkan bahan mentah setidaknya 30 juta meter kubik kayu. Sekitar 70 persen kayu yang digunakan industri pulp dan kertas berasal dari kayu tropis keras dan hanya sebagian kecil yang berasal dari pohon akasia, yang mestinya ditanam sendiri di lahan konsesi. Masalahnya, sebagian besar kayu tropis itu didapat dari pohon yang mereka tebang saat membersihkan lahan. Ketika pasokan ini makin berkurang, banyak industri pulp dan kertas menadah kayu hasil curian pembalakan liar.

Perubahan alam akibat perilaku manusia telah mengakibatkan degradasi kualitas dan kuantitas lingkungan hidup secara keseluruhan. Lahan yang semula berupa hutan dan sawah dengan keanekaragaman hayati di dalamnya, berubah menjadi kota dengan gedung-gedung tinggi atau menjadi lahan budidaya suatu jenis tanaman tertentu. Indonesia yang dulu dijuluki zamrud khatulistiwa karena hutan tropisnya yang kaya dan terbesar di dunia kini, menurut Guinness Book of Records, dicatat sebagai negeri penghancur hutan tercepat di dunia. Menurut Badan Pangan Dunia (FAO), Indonesia menghancurkan kira-kira 51 kilometer persegi hutan setiap hari, setara dengan hancurnya 300 lapangan bola setiap jam. Tercatat, Indonesia – bersama Papua Nugini dan Brasil – mengalami kerusakan hutan terparah sepanjang kurun 2000-2005, dengan angka deforestasi mencapai 1,8 juta hektare per tahun.

Menurut Greenpeace, dalam separuh abad terakhir Indonesia telah kehilangan separuh hutannya. Kayunya ditebang, dibakar, atau dijadikan bubur kertas. Lalu tanahnya berubah menjadi perkebunan, terutama kelapa sawit atau dibiarkan begitu saja. Kelapa sawit? Ya, rupanya kelapa sawit menjadi tanaman utama pengganti lahan-lahan yang sebelumnya dipenuhi dengan hutan. Hutan gambut dihabisi oleh pembalakan, pengeringan, dan pembakaran untuk memberi tempat bagi perkebunan kelapa sawit. Di beberapa tempat, hutan gambut yang kedalamannya mencapai 12 meter itu dibuka dan dibakar. Maka, dalam hitung-hitungan matematis, terlepaslah dua miliar gas karbondioksida yang berbahaya ke udara. Gas ini berbahaya karena seperti ledakan bom karbon yang menyumbang 20 persen dari emisi gas rumah kaca, termasuk menyumbang ke memburuknya perubahan iklim.

Lalu, apa itu deforestasi? Deforestasi diartikan sebagai upaya mengubah fungsi area hutan menjadi bukan hutan. Deforestasi di Indonesia sebagian besar merupakan akibat dari suatu sistem politik dan ekonomi yang korup, yang menganggap sumber daya alam khususnya hutan, sebagai sumber pendapatan yang harus dieksploitasi untuk kepentingan politik dan kebutuhan pribadi, yang nyatanya memang sangat berharga dan menguntungkan. Deforestasi berkaitan erat dengan yang namanya degradasi, dan degradasi sendiri adalah suatu penurunan kualitas hutan karena perubahan yang terjadi. Kerusakan hutan karena deforestasi sehingga menyebabkan degradasi, rupanya sudah menjadi fenomena umum dan terjadi di semua negara yang memiliki sumberdaya hutan. Hanya saja derajat kerusakannya berbeda-beda antar negara yang satu dengan negara lainnya. Tingkat kerusakan sangat ditentukan bagaimana kebijakan pemerintah tentang pemanfaatan sumber daya hutan, khususnya kebijakan penggunaan lahan untuk penggunaan lainnya.

Di sisi lain, deforestasi dan degradasi berkaitan erat dengan pola konsumsi manusia yang semakin lama semakin besar tanpa diimbangi pola pemulihan hutan yang harusnya juga dilakukan bersamaan. Karena ketidakseimbangan atau kesenjangan antara ‘pasak dan tiang’ – antara tuntutan konsumsi yang sangat besar dengan kemampuan alam untuk menyediakan dan memulihkan diri – maka menyebabkan alam sebagai ‘tiang’ menjadi pihak yang (selalu) kalah. Dalam konteks Indonesia, ketidakseimbangan ini terjadi karena Indonesia telah mendorong suatu kebijakan ekspansi yang agresif dalam sektor hasil-hasil hutan tanpa mengindahkan pasokan yang berkelanjutan dalam jangka panjang. Memang pada awalnya pemanfaatan hutan dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya akan memberikan kontribusi yang signifikan bagi pendapatan daerah maupun juga pusat. Tetapi, karena dampak atau kerusakan lingkungan yang ditimbulkan tidak diperhitungkan, maka eksploitasi hutan dan segala yang terkandung di dalamnya cenderung berlebihan yang pada akhirnya malah akan berbalik menjadi beban atau biaya pembangunan yang akan jauh lebih besar dibandingkan kontribusi yang didapat di awal. Dengan kata lain, kebijakan yang diambil selama ini hanya berorientasi pada keuntungan ekonomi yang sifatnya jangka pendek tanpa mengindahkan usaha pemulihan dan akibat yang ditimbulkan dalam jangka panjang. Dan seperti sudah disinggung di atas, Indonesia sendiri sebenarnya sudah lama mengalami ketidakseimbangan struktural antara permintaan dengan pasokan, dan kekurangan itu sebagian besar dipenuhi dari kayu yang diperoleh secara ilegal atau pembalakan liar (illegal logging). Kalau sudah seperti ini, apakah ini berarti bumi (baca: hutan) Indonesia sudah berada dalam tahap the beginning of the end, kalau tidak menyebutnya sebagai ‘kadaluwarsa’?

Kerusakan Alam: Sebuah Ironi

Manusia sama sekali tidak bisa terlepas dari alam dan segala isinya. Martin Bubber dalam

Ich und Du (1923) mengatakan bahwa manusia adalah being-in-the-world sekaligus juga being-with-others. Eksistensi (manusia) tidak bisa dipisahkan dari dunia karena eksistensi (manusia) adalah ‘being-in-the-world’ atau ‘ada-dalam-dunia’. Di sisi lain, manusia hidup bersama dengan manusia yang lain, berinteraksi dengan manusia lain. Maka eksistensi manusia ialah ‘being-with-others’ atau ‘bersama-dengan-yang-lain’. Singkatnya, eksistensi manusia dibentuk karena dia ada di dalam dunia sekaligus karena ke-ada-nya diterangkan bersama ada-nya yang lain.

Manusia mulai hidup berdampingan bersama dengan alam selama kurang-lebih 2 juta tahun. Rupanya umur manusia yang sudah sekitar 2 juta tahun itu masih belum ada apa-apanya dibandingkan umur bumi yang ternyata sudah 50 miliar tahun dan diperkirakan masih akan terus hidup hingga 5 miliar tahun ke depan. Mengapa sampai 5 miliar tahun? Pada saat itu matahari membengkak 25 kali lipat dibanding sekarang dan menjadi bola raksasa merah yang mendidihkan segala air di bumi menjadi uap lebih dari 500 derajat celcius. Tentu bumi ini tertelan habis oleh bola raksasa matahari dan ikut musnah bersama planet-planet di dekat matahari yang sudah lebih dahulu musnah.

Melihat angka-angka yang luar biasa itu rasanya terlalu cepat bila dikatakan bahwa bumi sekarang ini sudah memasuki tahap the beginning of the end. Tetapi, melihat proses pengrusakan yang sedang dan masih berlanjut hingga detik ini, maka evolusi manusia yang menghantar manusia dari homo habilis (manusia terampil) menjadi homo sapiens (manusia bijak) hingga seperti sekarang ini tak lain hanya menghantar manusia pada kehancurannya sendiri. Eksploitasi hutan yang tak terkendali disertai berbagai akibat yang ditengarai ditimbulkan olehnya, yakni seperti terjadinya pemanasan global (global warming), hanyalah salah satu bukti bahwa alam sepertinya sudah tidak mampu lagi menanggung intervensi manusia. Apabila eksploitasi manusia yang tak terkendali masih akan terus seperti ini, maka manusia memang sedang dalam perjalanan menuju the beginning of the end. Manusia sedang melakukan bunuh diri tanpa ia sadari. Maka di titik ini sudah selayaknya kita bertanya pada diri kita masing-masing: di manakah manusia bijak atau homo sapiens itu?

Kemutlakan Menjaga Hutan Dalam Kerangka Keadilan

Manusia tidak bisa lepas dari tumbuhan (baca: hutan). Di tingkat pendidikan dasar sudah diajarkan bahwa untuk bernapas manusia butuh oksigen (O2) dan mengeluarkan karbondioksida (CO2). Oksigen dihasilkan oleh tumbuhan sebagai hasil dari proses fotosintesis tumbuhan di mana proses ini membutuhkan karbondioksida dan air serta dibantu cahaya matahari. Maka, dalam konteks ini menjaga kelestarian hutan adalah suatu hal yang mutlak harus dilakukan manusia. Harmonisasi yang sudah tercipta antara alam dan manusia adalah hubungan mutualisme, bahkan saling bergantung. Bila hutan, sebagai paru-paru dunia (baca: manusia) rusak atau bahkan musnah, tentu tak lama lagi manusia pun juga akan menuju kemusnahan. Akan tetapi, seperti yang telah kita lihat di awal, tak bisa dipungkiri bahwa sebagian besar kebutuhan konsumsi manusia dipenuhi dan dibuat dari kayu yang berasal dari hutan. Atau, lahan yang dulunya dipakai untuk hutan beralih menjadi perkebunan demi memenuhi kebutuhan manusia yang lain.

Problematika kerusakan hutan yang semakin parah dengan pemenuhan kebutuhan manusia bisa dilihat dengan prinsip utilitarisme. Utilitarisme adalah salah satu dari sekian banyak prinsip etika. Prinsip ini bermaksud mendorong manusia untuk selalu bertindak sedemikian rupa sehingga menghasilkan akibat baik sebanyak mungkin dan sedapat-dapatnya mengelakkan akibat buruk. Secara singkat, utilitarisme dapat dinyatakan dalam usaha mewujudkan greatest happiness for greatest numbers.

Hutan dengan segala keanekaragaman hayati yang terkandung di dalamnya jelas memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Selain karena kebergantungan pemenuhan kebutuhan manusia pada hutan, banyak orang yang juga menggantungkan hidupnya pada hutan, baik itu secara legal maupun ilegal. Kita bisa mengambil suatu contoh kecil dari pembalak liar di Riau. Taruhlah satu kelompok pembalak liar terdiri dari 7 orang. Bila mereka rata-rata memperolah 4,5 meter kubik kayu per hari dengan harga sekitar Rp 400 ribu-Rp 450 ribu per meter kubik, maka para pekerja itu rata-rata mengantongi Rp 75 ribu hingga Rp 100 ribu per hari. Itu baru hitung-hitungan kasar dalam 1 kelompok yang beroperasi di satu lokasi. Tentu realitanya tidak sesederhana itu. Itu belum termasuk kenyataan bahwa satu kawasan atau dusun sedikitnya terdapat 7 lokasi penebangan liar dengan beberapa kelompok yang lain. Juga belum ditambah dengan mereka yang bekerja di pengilangan kayu (sawmill). Pun belum ditambah dengan mereka yang tidak terhubung langsung dengan pembalakan liar tetapi ikut menikmati uang yang berputar di sana, seperti para pedagang maupun keluarga mereka masing-masing.

Kalau melihat hutan secara makro, maka permasalahan ini tidak hanya menyangkut manusia yang ada dan mendiami suatu daerah tertentu ataupun bagi mereka yang terlibat secara langsung saja. Dampaknya pun bisa jadi tidak dirasakan secara langsung. Bila memang berakibat negatif, dampak itu akan dirasakan pelan-pelan dalam skala yang lebih luas, bahkan seluruh dunia. Dan para peneliti sekarang meyakini bahwa pemanasan global (global warming) merupakan salah satu akibat yang disebabkan eksploitasi hutan yang berlebihan. Lihat saja banyak petani yang mengeluh karena hujan datang terlambat dan panjangnya musim kering. Atau lihat pula waduk di banyak daerah seperti Waduk Kedungombo di Kabupaten Boyolali, atau Waduk Dawuhan di Kabupaten Madiun yang menyusut airnya ketika musim kemarau tiba. Masih segar dalam ingatan ketika air pasang menenggelamkan Jalan Tol Sedyatmo – jalan tol yang menghubungkan Jakarta dengan Bandar Udara Soekarno-Hatta. Penelitian empiris telah menunjukkan bahwa suhu bumi yang meningkat telah membuat air pasang laut meningkat perlahan-lahan dan peristiwa jalan tol yang terendam itu merupakan salah satu bukti di antaranya. Bahkan diperkirakan tahun 2080 air laut yang semakin tinggi bakal mencapai Monas. Lalu, kalau sudah seperti ini, manakah yang lebih menguntungkan banyak pihak? Atau, manakah pilihan yang sekurang-kurangnya memiliki dampak yang paling kecil di antara berbagai pilihan yang sulit?

Utilitarisme mengakui keabsahan akan adanya kebutuhan umat manusia yang lebih besar harus dipenuhi. Tetapi, pada diri kita akan muncul pertanyaan berikut. Apakah itu adil? Apakah adil membuat penghasilan banyak orang yang bergantung pada sektor kehutanan terpangkas begitu saja? Apakah adil bila diterapkan suatu aturan yang begitu sja melarang siapapun untuk memasuki kawasan hutan lindung, termasuk masyarakat adat tertentu sekitar hutan sebagai pemilik tanah ulayat. Pertanyaan itu menunjukkan satu kelemahan besar utilitarisme, yaitu tidak adanya jaminan akan keadilan. Sebabnya, tidak ada aturan tentang bagaimana mencapai akibat baik. Utiliarisme tidak mengatakan kewajiban untuk mencapai akibat baik dalam cara yang adil.

Kombinasi utilitarisme dan keadilan tepat untuk menyikapi permasalahan usaha pemulihan alam yang mendesak dengan keberlangsungan hidup dan kebutuhan manusia. Hutan sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia. Hutan adalah paru-paru dunia. Tetapi dari hutan pula banyak orang bergantung sekaligus banyak kebutuhan manusia dipenuhi dari sana. Di sini, mau tidak mau kita semua harus mengakui dengan jujur bahwa kita pun turut punya andil dalam laju perusakan hutan. Masih jauh dari angan bahwa pada akhirnya kita bisa benar-benar tidak bergantung pada hutan. Meski demikian sudah ada titik cerah bahwa pada suatu saat kita bisa hidup tanpa sama sekali menggunakan kertas dalam wujud atau bentuk apapun.

Karena peran vital hutan bagi kehidupan manusia dan ditambah dengan konsekuensi yang demikian besar bila mengabaikannya, maka sudah selayaknyalah fungsi hutan dikembalikan pada tempatnya. Ini berarti sudah saatnya pembagian fungsi hutan menurut klasifikasinya benar-benar harus ditaati. Hutan lindung memang benar-benar untuk hutan lindung, hutan konservasi memang sebagai hutan konservasi, atau hutan produksimemang benar-benar dimanfaatkan untuk bahan baku produksi. Keadilan menjadi nampak ketika pemerintah berani bersikap tegas terhadap segala bentuk eksploitasi yang melebihi batas. Juga bagi mereka yang menyalahgunakan ijin usahanya untuk mengekploitasi.

Lalu bagaimana dengan kita? Banyak hal yang mulai bisa kita lakukan dari sekarang. Kita bisa mulai dengan menanam dan merawat tanaman di sekitar kita. Syukur bila ada pohon di halaman rumah kita. Bila tidak pun kita masih bisa menanam tanaman dalam pot. Dalam skala yang lebih luas, kita bisa mulai aktif dalam berbagai gerakan atau kampanye yang bertujuan melestarikan hutan Indonesia. Bahkan sekarang sudah ada sarana bila kita hendak mendonasikan bantuan untuk reboisasi suatu kawasan tertentu. Bukan hal yang sulit untuk dilakukan meskipun itu semua butuh niat dan kesungguhan dari kita masing-masing. Tidakkah kita masih ingin melihat bumi ini tetap hijau dan indah? Tentu kita semua tidak mengharapkan bahwa alam (baca: hutan) sekarang berada dalam tahap the beginning of the end. Meski kerusakan semakin bertambah karena kemurkaan manusia yang mengaku sebagai manusia bijak (homo sapiens) tetapi nyatanya tidak bijak dalam melihat tanda-tanda yang ada di sekitarnya, masih ada kesempatan bagi kita yang mau memperbaiki. Dan sekali lagi, mulai dari diri kita sendiri dan sekitar kita.



Pustaka

Macquarrie, John, Existentialism, New York: Pelican Books, 1972.

Majalah Tempo, edisi 3-9 Desember 2007.

Mangunwijaya, Y. B. Manusia Pascamodern, Semesta, dan Tuhan. Yogyakarta: Kanisius, 1999.

Ratnaningsih, Maria, Pembangunan dan Dampaknya Terhadap Lingkungan, dalam Basis, no. 05-06, tahun ke-56, Mei-Juni 2007.

Supelli, Karlina, Sesudah Roda Berputar, dalam Basis, no. 03-04, tahun ke-57, Maret-April 2008.

Pustaka elektronik

http://pdf.wri.org/sof_indo_chap3.pdf, diakses pada 26 Oktober 2008.


N. Arya Dwiangga Martiar

PERJALANAN TAN MALAKA (1897-1949) Menuju Revolusi Total Manusia Indonesia dalam Madilog

Storm ahead!
Don’t lose your head
(Tan Malaka)


Nama Tan Malaka kembali mencuat akhir-akhir ini. Nama yang mungkin dianggap kontroversial, identik dengan aliran kiri, sering dihubungkan dengan PKI yang merupakan musuh orde baru, dan sekaligus sebagai sosok yang misterius karena tak banyak literatur yang secara lengkap membahasnya. Ia memiliki 23 nama palsu, hidup dalam pelarian di 11 negara, dan diburu polisi rahasia Belanda, Jepang, Inggris, dan Amerika Serikat. Tetapi, dialah sebenarnya tokoh pertama yang menulis gagasan berdirinya Republik Indonesia. Muhammad Yamin menjulukinya “Bapak Republik Indonesia”. Bahkan Bung Karno sendiri menulis dalam testamennya: “…jika saya tiada berdaya lagi, maka saya akan menyerahkan pimpinan revolusi kepada seorang yang telah mahir dalam gerakan revolusioner, Tan Malaka..”.
Tulisan sederhana ini akan dimulai dengan melihat siapa dan bagaimana perjalanan hidup Tan Malaka dengan penekanan pada peran serta Tan Malaka menuju proklamasi (1), lalu akan dilihat bagaimana sejarah penulisan Madilog (2), kemudian akan coba diurai pandangan Tan Malaka mengenai beberapa konsep penting dalam Madilog untuk membentuk Indonesia merdeka yang sosialis (3), dan terakhir ditutup dengan sebuah simpulan. Tulisan ini bukanlah sebuah analisis ilmiah dengan metode yang ketat, melainkan lebih merupakan sebuah uraian deskriptif dengan tujuan agar memahami salah satu pemikirannya sebagai tokoh revolusioner sekaligus mengenalnya sebagai salah seorang founding fathers negara kita tercinta.

Riwayat Tan Malaka, pejuang revolusioner
Tan Malaka yang bergelar Sutan Ibrahim atau Ibrahim Datuk Tan Malaka lahir pada 2 Juni 1896 di Nagari Pandan Gadang, Suliki, Payukumbuh, Sumatera Barat. Tan Malaka pernah mengenyam pendidikan di Kweekchool atau sekolah guru di Bukittinggi pada 1907-1913. Setelah itu Tan melanjutkan sekolah ke Rijks Kweekschool, Haarlem, Belanda. Pada 1916, Tan pindah ke Bussum. Kepindahannya ke Bussum membuatnya tersadar bahwa hidup tak sekadar penjajah dan terjajah. Di kota ini ia menemukan pola hidup borjuis yang berkebalikan dengan proletar. Dia merasakan perbedaan yang mencolok antara kehidupannya di Haarlem bersama sebuah keluarga proletar dengan kehidupannya di Bussum. Di situlah Tan mulai berkenalan dengan sosialisme. Revolusi Komunis yang meledak di Rusia pada Oktober 1917 juga memberi keyakinan padanya bahwa dunia sedang beralih ke sosialisme. Berbagai gagasan baru tentang bagaimana seharusnya bangsa Indonesia dibangun bersliweran di benaknya. Pada November 1919 Tan kembali dari Haarlem, Belanda, dan menjadi guru sekolah rendah di perkebunan teh milik Belanda. Pada saat itu cita-citanya cuma satu, yaitu mengubah nasib bangsa Indonesia.
Pada 1921 Tan pergi ke Semarang dan bergabung dengan Sarekat Islam. Di Semarang, Tan aktif menyatukan gerakan komunis dengan Islam untuk menghadapi imperialisme Belanda. Ketika terdapat silang pendapat dalam Kongres II Partai Komunis Indonesia pada 25 Desember 1921 antara Partai Komunis dengan beberapa tokoh Sarekat Islam mengenai Pan-Islam, Tan menjadi penengah di antaranya. Katanya, “ Kalau perbedaan Islamisme dan komunisme kita perdalam dan kita lebih-lebihkan, kita memberikan kesempatan kepada musuh yang terus mengintai untuk melumpuhkan gerakan Indonesia”. Pendapat Tan ini didukung oleh Kiai Hadikusumo yang berpendapat bahwa mereka yang memecah-belah persatuan rakyat berarti bukan muslim yang sejati. Karena kiprahnya yang menentang imperialisme Belanda, sebagai ketua Partai Komunis yang baru terpilih, Tan dibuang ke Amsterdam pada 1 Mei 1922.
Kendati sudah jauh dari Indonesia, Tan tetap mengampanyekan aliansi komunis-Islam. Tan pernah menjadi calon anggota parlemen nomor 3 di Partai Komunis Belanda dan sempat melamar menjadi legiun asing di Jerman meski kemudian ditolak. Di Berlin Tan bertemu Darsono, salah seorang pentolan Partai Komunis Indonesia. Tan juga sempat bertemu Vladimir Lenin, Josep Stalin, dan Leon Trotsky, yang dianggap sebagai “dewa” komunisme yang menggerakkan kaum revolusioner dunia dari Moskow. Ketika mewakili Partai Komunis Indonesia sebagai penasihat dalam Konferensi Komunis Internasional IV (Komintern) di Petrograd, Rusia, pada November 1922, Tan meminta mereka meralat sikap atas Pan-Islam. Menurut Tan, Pan-Islam merupakan perjuangan seluruh bangsa muslim merebut kemerdekaan. “Jadi bukan hanya perjuangan kemerdekaan terhadap kapitalisme Belanda, tetapi juga Inggris, Perancis, dan kapitalisme di seluruh dunia,” demikian katanya ketika mendapat giliran untuk berpidato. Akan tetapi, usaha Tan gagal. Akhirnya perpecahan tak dapat dicegah. Kelompok Islam di Sarekat memaksa “orang-orang kiri” keluar dari partai. Kelompok pecahan ini kemudian menjadi Sarekat Islam Merah, yang terafiliasi dengan Partai Komunis.
Di Rusia, Tan diangkat sebagai Wakil Komintern untuk Asia Timur di Kanton (kini Guangzhou) dan pindah ke sana pada Desember 1923. Namun Kanton adalah tempat istimewa karena menjadi pusat gerakan revolusi Cina. Di situ pulalah tinggal Sun Yat Sen, pemimpin Kuomintang yang pada 1912 mendeklarasikan Republik Cina Selatan. Tan pernah mengunjungi Sun Yat Sen sembari tetap membina hubungan dengan para tokoh Kuomintang dan orang-orang komunis di Kanton. Pada Juni 1924, Tan mendapat perintah dari Moskow untuk hadir pada Konferensi Serikat Buruh Merah Internasional di kota itu. Konferensi ini hendak menggalang gerakan para pelaut dan buruh pelabuhan di kawasan Pasifik. Pada hari terakhir, Tan didaulat menjadi Ketua Organisasi Buruh Lalu Lintas Biru Kanton yang baru didirikan. Dengan segala keterbatasan sarana maupun bahasa, Tan bisa menerbitkan majalah The Dawn, sebuah majalah “merah bagi pelaut, dan menulis buku Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) pada 1925. Pada waktu itulah Tan menerima kabar bahwa ayahnya, Rasad, meninggal.
Pada Juni 1925 Tan menyelundup ke Manila untuk penyembuhan sakit paru-parunya, meski permohonannya untuk pulang ke Jawa ditolak oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Fock. Dengan memakai nama samaran Elias Fuentes, Tan bekerja sebagai koresponden El Debate. Awal 1926 Tan masuk ke Singapura dengan memakai nama Hasan Gozali dan berasal dari Mindanao. Di sini, ia menulis buku Massa Actie, buku yang dikutip Bung Karno dalam pleidoinya Indonesia Menggugat dan masuknya kalimat “Indonesia tanah tumpah darahku” ke dalam lagu Indonesia Raya yang diambil dari bagian akhir buku tersebut oleh W. R. Supratman. Ketika berada di Bangkok Tan mendirikan Partai Republik Indonesia pada Juli 1927. Tak sampai 2 tahun. Tan ditangkap polisi Filipina yang berada di bawah kendali intel Amerika, Belanda, dan Inggris. Saat itu juga ia diusir dan dititipkan di Suzanna dengan tujuan Pulau Amoy di China.
Turun di Amoy (kini Xiemen), Tan berkelana ke berbagai tempat. Pada 1930, Tan masuk Shanghai dengan menyamar sebagai Ossario, wartawan Filipina untuk majalah Bankers Weekly. Ketika keadaan kacau balau karena terjadi bentrok antara angkatan bersenjata Kwangtung, Cap Kau Loo, dengan tentara Jepang di Shanghai pada 1932, Tan dengan menggunakan nama Ong Song Lee menyingkir ke Hongkong. Di Hongkong, Tan ditangkap oleh polisi Hongkong dan ditahan di sana selama 2 bulan. Ketika akan dibuang ke Shanghai, Tan berhasil meloloskan diri dan tinggal di Amoy. Sambil terus bersembunyi, Tan mendirikan Sekolah Bahasa Asing. Ketika Jepang menyerang Amoy pada 1937, Tan pergi menuju Rangoon, Burma dengan menggunakan nama Mi Siong, seorang Thionghoa terpelajar. Tan tiba di Rangoon pada 31 Agustus 1937. Sebulan di Rangoon, ia kembali ke Singapura. Di sana, ia mengajar bahasa Inggris dan matematika di sebuah sekolah Thionghoa. Ketika Jepang menyerbu, Tan pulang ke Indonesia melalui Penang pada Mei 1942. Dari Penang, pada 10 Juli 1942, Tan berlayar ke Medan dengan mengaku sebagai Legas Hussein.
Mulai dari Medan, Tan memulai petualangannya menuju tanah Jawa. Dia sempat mampir ke Padang dengan mengaku sebagai Ramli Hussein dan baru melanjutkan perjalanannya ke Lampung. Pada Juli 1942, Tan tiba di Jakarta dan tinggal di daerah Rawajati. Di sinilah ia menulis Madilog dan Aslia. Pada 1943, Tan menjadi kerani di pertambangan batu bara di Bayah, Banten dan menggunakan nama Ilyas Husein. Sebagai Hussein, Tan pernah muncul di hadapan Chaerul Saleh, B. M. Diah, Anwar, Sukarni dan Harsono Tjokroaminoto di awal Juni 1945 untuk menyampaikan analisisnya mengenai kemerdekaan dan politik saat itu. Setelah mendengar analisis Hussein, Sukarni makin mantap bahwa proklamasi harus segera diumumkan. Hussein, yang adalah Tan Malaka, terlibat rapat rahasia dengan para pemuda Banten di Rangkasbitung. Dalam pertemuan itu Hussein mengobarkan pidato yang menggelora. “Kita bukan kolaborator!” katanya. “Kemerdekaan harus direbut kaum pemuda, jangan sebagai hadiah.” Kekalahan Jepang, menurutnya, tinggal menunggu waktu. Bila Soekarno-Hatta tidak mau menandatangani, Hussein atau Tan memberikan jawaban yang tegas: “Saya sanggup menandatanganinya, asal seluruh rakyat dan bangsa Indonesia menyetujui dan mendukung saya.” Meski demikian, Hussein tidak tahu bahwa Sukarni dan Chaerul akan menculik Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok. Aksi itu dilakukan karena Soekarno-Hatta bersikeras proklamasi dilakukan melalui PPKI. Sedangkan pemuda ingin merdeka tanpa campur tangan Jepang. Setelah perdebatan yang alot, Soekarno-Hatta bersedia meneken naskah proklamasi yaang besoknya dibacakan di pekarangan rumah Soekarno di Pegangsaan Timur 56. Tan sendiri tidak tahu ada proklamasi. Ia tahu setelah orang ramai membicarakannya di jalan-jalan. Terbatasnya peran Tan itu sungguh ironis. Padahal Tan adalah orang Indonesia pertama yang menggagas konsep republik dalam buku Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) yang ditulisnya pada 1925 yang juga merupakan pegangan politik tokoh pergerakan, termasuk Soekarno. Tan juga tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya. “Rupanya sejarah proklamasi 17 Agustus tidak mengizinkan saya campur tangan, hanya mengizinkan campur jiwa saja. Ini sangat saya sesalkan! Tetapi sejarah tidak mempedulikan penjelasan seorang manusia atau segolongan manusia.”
Setelah proklamasi Tan tetap berhubungan dengan tokoh-tokoh pemuda, termasuk ketika ia pindah ke Kampung Cikampak, 18 kilometer sebelah barat Bogor, pada pekan kedua bulan September. Ketika pemuda terus bergerak dan mengadakan kegiatan seperti berdemonstrasi, mengibarkan bendera merah-putih di mana-mana, dan melakukan propaganda dengan menuliskan semboyan-semboyan agar menarik perhatian dunia, Soekarno mendengar kemunculan Tan. Para pemuda sendiri mendapat kuliah dari Tan tentang perjuangan revolusioner. Di Jakarta, kelompok pemuda menggelar rapat. Mereka menyiapkan demonstrasi pada 17 September – tepat sebulan setelah proklamasi. Pamflet aksi disebar di mana-mana untuk menarik massa. Pada hari yang ditentukan, 19 September, sekitar 200 ribu orang berbondong-bondong datang ke Lapangan Ikada di bawah bidikan senapan mesin Jepang. Soekarno akhirnya memutuskan datang untuk menenteramkan rakyat yang sudah menunggu berjam-jam. Di mimbar Soekarno berpidato 5 menit. Ia meminta rakyat tetap tenang dan percaya pada pemerintah, yang akan mempertahankan proklamasi. Massa diminta pulang, dan setelah itu barisan bubar meninggalkan lapangan. Hasil demonstrasi itu menyesakkan Tan. Pidato itu, katanya, tidak menggemborkan semangat berjuang.” Tidak mencerminkan massa aksi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.”
Pada 1 Januari 1946, Tan menggalang kongres Persatuan Perjuangan untuk mengambil alih kekuasaan dari tentara sekutu. Keteguhan Tan yang gencar menentang perundingan berujung penjara. Bersama dengan Sukarni, Chaerul Saleh, Muhammad Yamin, dan Gatot Abikusno, Tan ditangkap di Madiun pada 17 Maret 1946 dengan tuduhan bahwa Persatuan Perjuangan hendak melakukan kudeta. Mereka ditahan terpisah, dipindah dari satu penjara ke penjara yang lain di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pada Juni 1948 Tan dan Sukarni dipindah ke penjara di Magelang. Di sini Tan menulis buku Dari Penjara ke Penjara. Pada 16 September 1948 Tan dibebaskan. Di Yogyakarta, bersama dengan Sukarni Tan mendirikan Partai Murba pada 7 November 1948. Setelah Tan bebas, Maruto, seorang yang duduk di Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat di Yogyakarta, mengatur pertemuan Tan dengan Jenderal Soedirman. Kepada Pak Dirman, Tan mengatakan akan bergerilya ke Jawa Timur untuk melawan agresi Belanda. Soedirman lalu memberinya surat pengantar dan satu regu pengawal. Surat dari Soedirman itu diserahkan ke Panglima Divisi Jawa Timur Jenderal Sungkono. Oleh Sungkono, Tan dianjurkan untuk bergerak ke Kepanjen, Malang Selatan. Tapi, ia memutuskan pergi ke Kediri. Di sinilah Tentara Republik Indonesia menangkap dan mengeksekusi Tan pada 21 Februari 1949 di desa Selopanggung karena dituduh melawan Soekarno-Hatta.

Sejarah Madilog
Madilog menurut Tan Malaka ditulis di Rawajati dekat pabrik sepatu Kalibata, Cililitan, Jakarta. Proses penulisan itu terjadi kurang-lebih 8 bulan, antara 15 Juli 1942 sampai dengan 30 Maret 1943. Ia memerincinya lebih detil, buku itu ditulis 720 jam, dengan rata-rata 3 jam setiap harinya. Ketika menulis Madilog Tan Malaka telah menyelesaikan karyanya Gabungan Aslia. Buku ini sempat lolos dari penggeledahan polisi Jepang. Ketika menjadi mandor buruh di pertambangan batu bara, Bayah, Banten Selatan, ia membawa serta Madilog-nya. Bahkan ketika ia ikut romusha di Jawa Tengah, buku itu ikut juga. Madilog yang selesai ditulisnya tahun 1943 baru muncul tiga tahun kemudian. Sedangkan kata pengantar buku yang ditulisnya di Lembah Bengawan Solo 15 Maret 1946 menjadi saksi bisu perjalanan buku penting tersebut.
Tan Malaka menulis Madilog saat pemerintahan Jepang menguasai semua musuh dengan pedang terhunus dan bahkan sering kehilangan kesabaran terhadap pekerja bangsa Indonesia. Dalam situasi yang demikian, ia tak memiliki lawan bicara dari kalangan organisasi politik berdasarkan ke-proletariat-an. Ia memang berada dekat dengan keluarga, yaitu di tengah-tengah rakyat jelata Indonesia. Tetapi keadaan dan paham ideologisnya membuat ia berdiam di tengah masyarakat yang sering menyebut-nyebut namanya tetapi tidak mengenal bagaimana wajahnya.
Pengalaman empiris Tan Malaka yang menyaksikan kuli-kuli tidak berdaya tanpa seorang pun membela atau peduli dengan mereka terhadap eksploitasi sistem kapitalis di Asia, Eropa, dan terutama di tanah airnya, serta ditambah dengan pengetahuannya yang luas akan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, mendorongnya untuk menghasilkan konsep-konsep yang tidak teoritis, teknokratis dan absurd. Keunggulan budinya terungkap dengan tulisannya, “Maksud tulisan saya yang ringkas ini bukanlah buat pengganti buku yang masih ditulis itu, maksudnya cuma buat petunjuk atau ajakan. Saya bagaimanapun juga tak bisa lebih berlaku daripada itu. Karena kekurangan bahan bukti...,. Pembaca janganlah gusar kalau ada yang kurang. Melainkan haruslah bertambah giat buat mempelajari dari sumber asli atau sumber turunan yang diakui. Dan tetapi dari masa sekarang sudahlah cukup buat otak dan hati kita…,.”
Kepada pembaca Tan Malaka memberikan beberapa peringatan. Pertama, istilah materialisme, dialektika dan logika memiliki bidang dan cakupannya sendiri dan memiliki batas-batas tertentu pula. Bahkan penafsiran mengenai bidang-bidang tersebut bisa berbeda. Kedua, logika menurutnya memuncak dalam ilmu bukti (sains). Perkembangan materialisme dialektika di Eropa menurutnya memberi tantangan bagi logika. Sementara orang Timur yang masih diselimuti mistik, logika masih merupakan hal yang baru. Ia sendiri mencoba mengaitkan bahwa antara materialisme-dialektika dan logika memiliki keterikatan satu sama lain. Dan yang ketiga ialah bahwa Madilog terutama merupakan cara berpikir.

Pandangan dalam Madilog
Di antara sekian banyak buku Tan Malaka, Madilog yang boleh dianggap sebagai opus magnum-nya pantas mendapat perhatian khusus. Dalam Madilog ia memaparkan cita-citanya bagi Indonesia. Meskipun sebagian besar isinya mengikuti materialisme dialektik Friedrich Engels (sahabat karib Karl Marx yang memperlengkap filsafat sosialis Karl Marx dengan filsafat alam dan ontologi materialis yang kemudian akan menjadi semacam dasar filosofis marxisme-leninisme), Madilog bukan semacam “ajaran partai” atau “ideologi protelariat”, melainkan cita-cita dan keyakinan Tan Malaka sendiri. Sangat mencolok bahwa Madilog bebas sama sekali dari nada tidak sedap buku-buku marxisme-leninisme. Madilog bebas dari segala bau ideologis, bebas dari jargon ortodoksi partai yang tahu segala-galanya. Madilog adalah imbauan seorang nasionalis sejati pada bangsanya untuk keluar dari keterbelakangan dan ketertinggalan. Seperti tulisnya: “Madilog ialah cara berpikir berdasarkan Materialisme, Dialektika dan Logika buat mencari akibat, yang berdiri atas bukti yang cukup banyaknya dan cukup eksperimen dan diamati. Madilog bukanlah barang yang baru dan bukanlah buah pikiran saya. Madilog ialah pusaka yang saya terima dari Barat…,. Saya, dengan buku ini mempersilahkan mempelajari cara dunia Barat dengan rendah hati sebagai murid yang jujur dan mata terbuka”.
Menurut refleksi Tan Malaka, pada waktu itu sebenarnya Indonesia yang sejati belum muncul dari tenggelamnya selama berabad-abad. Ketika ia baru kembali ke Indonesia, ia mencoba mengamati bagaimana perkembangan terakhir bangsa ini selama dua puluh tahun terakhir semenjak kepergiannya. Rupanya, proses pencerahan dari keterkungkungan tersebut telah ditemukannya mencuat keluar dari pemikiran dua tokoh besar, Soekarno dan Hatta. Tulisnya, “Kedua pemimpin nasionalis sudah mulai menjalankan cita-citanya, ialah di bawah pedang samurai.” Mengenai proses pencerahan itu sendiri ia menulis dalam Madilog, “Di sini dengan jelas dan terus-terang saya mau mengatakan bahwa Madilog sama sekali dan tepat berlawanan dengan “ketimuran” yang digembar-gemborkan lebih dari mestinya, semenjak Indonesia dimasuki tentara Jepang….,. Semua barang yang hidup mesti berubah, karena semua perubahan itu menandakan hidup. Tak ada yang tetap, semuanya berubah. Yang tetap cuma ketetapan perubahan, atau perubahan ketetapan”. Dalam pandangan Tan Malaka, Indonesia yang berada di hadapannya yang masih tenggelam. Bangsa itu belum menjadi dirinya sendiri karena Indonesia belum keluar dari proses perbudakan. Perbudakan itu tidak hanya perbudakan dari kolonialisme tetapi terlebih dari mentalitas feodalisme. Dengan begitu kata kunci dari analisis Tan Malaka ialah mentalitas. Mentalitas itu menentukan pola pikir, sedangkan pola pikir atau falsafahnya menentukan pola tindak. Madilog dengan begitu mau mengikis habis pola pikir dari mentalitas lama itu menjadi pola pikir mentalitas baru.
Asumsi dasar penulisan Madilog adalah keyakinan Tan Malaka atas kekuatan proletar di Indonesia untuk merebut dan membentuk Indonesia merdeka. Namun kekuatan ini belum bisa maksimal karena pemikiran mereka masih dibelenggu berbagai macam takhayul. Tulisnya, “Banyaknya kaum proletar industri dan tani di Indonesia serta kekuatannya yang tersembunyi sebenarnya sudah cukup kuat untuk menjatuhkan kekuasaan imperialisme Belanda. Tetapi pendidikan mereka masih sangat rendah, belum pantas untuk memenuhi keperluan dan kewajiban kaumnya di hari depan. Mereka kekurangan pandangan dunia. Mereka kekurangan filsafat. Mereka masih diselimuti ilmu mistik dan takhyul….Saya amat yakin dengan kekuatan kaum proletar ini. Filsafat proletariat memang sudah ada di Barat. Tetapi menyalin semua buku dialektika materialisme Barat untuk proletar Indonesia tak akan ada gunanya. Proletar Indonesia mesti mempunyai bacaan yang bisa menjadi jembatan kepada filsafat proletariat barat. Karena otak, pena, dan bahasa yang menuliskan hal itu belum juga muncul, maka terpaksalah saya memulainya.”
Madilog terdiri dari 7 bab, masing-masing bab dibagi dalam pasal-pasal yang seluruhnya ada 44 pasal. Dalam bab VII pasal 11 yang membahas mengenai kepercayaan dibagi lagi menjadi 5 bagian. Demikian pembagiannya:
Bab I. Logika Mistik
Bab II. Filsafat
Bab III. Ilmu Bukti – Sains (6 pasal)
Bab IV. Sains (4 pasal)
Bab V. Dialektika (10 pasal)
Bab. VI. Logika (13 pasal)
Bab. VII. Pandangan tentang Madilog (11 pasal)
Bagi Tan Malaka, cara berpikir lama adalah cara berpikir dengan sifatnya yang pasrah, mudah menyerah pada nasib, dan percaya pada takhyul. Sikap itu berdasar pada pola hidup yang berdasarkan mistik dan orang semacam itu adalah orang yang tidak bisa diajak berpikir, menyerah begitu saja pada alam. Akibatnya alam dan realitas tidak diubahnya, tak percaya pada diri sendiri serta mudah dieksploitasi oleh mereka yang sudah bisa berpikir aktif-rasional. Tan Malaka menyebut yang paling mempengaruhi sikap ini adalah Hinduisme. Kesalahan pokok Hinduisme ialah mau meninggalkan materi dan hanya mencari Atman. Bentuk pendekatan spiritualisme membuat orang menjadi pasif, parah, dan irrasional dan ini paling nampak pada kebudayaan dan mentalitas Jawa yang senang dengan mistik dan harmoni.
Salah satu dasar pemikiran Tan Malaka adalah materialistik. Keberdasaran pada materia itu tanda rasionalitas. Yang real adalah yang rasional, sebaliknya yang rasional itu real. Maka, ditentangnya orang yang hanya bisa beridea, membangun dunia di atas awan-awan. Bangsa Indonesia seperti itu. Bangsa Indonesia adalah bangsa non-materialis. Tak ada semangat inisiatif, yang ada hanya sikap pasrah. Materia adalah cara berpikir yang berpangkal pada benda. Hipotesis atau ide disusun berdasar data konkret, fakta yang real terjadi dan dapat dibuktikan. Cara pikir ini disebutnya sebagai cara pikir yang realistik, pragmatis, dan fleksibel; selalu aktual, erat terkait dengan realitas. Menurut Tan Malaka, perkembangan sebuah bangsa seiring dengan kemajuan ilmu bukti atau sains-Nya. Kalau Indonesia tidak merdeka, maka ilmu bukti itu hanya akan terbelenggu pula. Meskipun Indonesia terkaya di dunia, namun kalau sains dan teknologi tidak berkembang maka ia hanya akan menjadi budak, seperti yang dialami Indonesia selama 350 tahun. Ilmu politik, ekonomi, dan sains terkait satu sama lain. Bagi Tan Malaka, bukti merupakan lantai sains di mana para ahli mendirikan gedung hukumnya. Sementara cara yang dipakainya bisa melalui induksi, deduksi, dan verifikasi. Dialektika adalah cara berpikir yang selalu dinamis, terus-menerus mencari: tesis-antitesis-sintesis. Sedangkan Logika adalah cara berpikir yang berdasarkan akal sehat. Ketiga dasar ini: materia, dialektika, dan logika adalah satu kesatuan, tak boleh dipisah-pisahkan. Menurutnya, sebenarnya Indonesia sedang menuju ke situ. Akan tetapi pengaruh Hindu sejak abad pertama masehi dan akhirnya kolonialisme Belanda membuat masyarakat yang bermentalitas feodalistik, masyarakat yang berkelas. Dengan demikian Tan Malaka melihat kekuatan ide sebagai sarana ampuh untuk perubahan masyarakat, untuk suatu revolusi. Dalam Madilog tidak disinggung mengenai perjuangan kelas. Tampaknya Madilog sebagai transformasi cara pikir dilihat sebagai yang paling ampuh untuk melakukan revolusi total.
Revolusi Tan Malaka adalah revolusi total, yakni dengan perubahan cara pikir. Menuju Indonesia merdeka tidak cukup hanya dengan revolusi sosial, ekonomi atau politik belaka. Karena penghambat bagi kemerdekaan dan pembaruan diri adalah mentalitasnya, maka yang dibutuhkan adalah suatu revolusi total. Revolusi total itu tidak hanya untuk mengusir penjajah, tetapi terlebih untuk membersihkan diri dari mentalitas feodal, pasrah, pasif dan mitis. Kaum imperialis memang bisa diusir. Tetapi bila tidak disertai dengan perubahan cara pikir, maka imperialisme gaya baru dan bentuk baru pasti akan terjadi. Masyarakat yang mau dituju ialah masyarakat yang merdeka dan sosialis, di mana bangsa, negara dan masing-masing bisa menjadi tuan atas dirinya sendiri. Dengan kata lain, manusia Indonesia harus keluar dari belenggu pembodohan dan kebodohan akibat kultur budaya yang telah meracuni otak rakyat Indonesia. Kendala budaya inilah yang menurut Tan Malaka menjadi dosa paling besar yang membuat Indonesia tertindas selama 350 tahun.

Penutup
Madilog bisa dipandang sebagai penerapan filsafat Marxisme-Leninisme. Tesis utama filsafat ini berbunyi: bukan ide/kesadaran yang menentukan keadaan masyarakat dan kedudukan seseorang dalam masyarakat, melainkan sebaliknya, keadaan masyarakatlah yang menentukan ide/kesadaran. Semenjak masa mudanya di Belanda, Tan Malaka sudah terpesona dengan Marxisme-Leninisme. Paham inilah yang menyebabkan dia berkali-kali dipenjara dan dibuang ke luar negeri. Bukan penjara dan pembuangan itu yang membuatnya menjadi seorang Marxis, melainkan sikap dan pendirian yang Marxislah yang menyebabkan dia dipenjarakan dan dibuang. Selain itu, dia pertama-tama tidak berjuang untuk kemenangan partai komunis di seluruh dunia, tetapi untuk kemerdekaan tanah airnya. Baginya perjuangan kemerdekaan harus menerapkan aksi massa seperti semboyan perjuangan di Filipina yang berbunyi immediate, absolute and complete independence ( kemerdekaan segera, tanpa syarat, dan penuh).
Sebagai sebuah pemikiran, konsepsi Tan Malaka dalam Madilog dekat dengan hukum tiga tahap Auguste Comte. Menurut Comte, manusia menjadi dewasa melalui tiga tahap: dari tahap mitos dan agama (kejadian di dunia dijelaskan dengan kekuatan-kekuatan gaib), melalui tahap metafisika (realitas dijelaskan secara filosofis), ke tahap positif di mana manusia langsung mempelajari kenyataan inderawi dengan memakai ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, pemikiran Tan Malaka masih khas optimisme abad ke-19 dulu. Walau dia dapat dikatakan penganut Marxisme-Leninisme tetapi dia tidak mau menerima ajaran itu sebagai dogma, tapi hanya sebagai petunjuk jalan untuk revolusi.
Meski demikian, nilai Madilog yang sebenarnya terletak pada yang tersirat di dalamnya, yaitu keprihatinan mendalam Tan Malaka atas keadaan bangsanya yang belum mampu berpikir rasional. Seluruh Madilog merupakan imbauan agar bangsa Indonesia mau keluar dari cara berpikir yang tidak rasional supaya ia dapat mengambil tempatnya di antara bangsa-bangsa. Dan hidup Tan Malaka menjadi falsifikasi radikal terhadap terhadap gagasan Madilog yang dikembangkannya panjang lebar dengan uraian metode-metode pendekatan ilmiah dan dalil-dalil logika. Paradoksnya: Tan Malaka seorang Marxis tulen dalam pemikiran, tapi nasionalis yang tuntas dalam semua tindakannya. Dia bukan seorang komunis apalagi ateis karena Islam tetap dianggapnya sebagai sumber hidup. Meski demikian hidupnya berakhir tragis: kehilangan kepala di negerinya sendiri sementara dia dia tak pernah kehilangan akal di berbagai negara tempatnya melarikan diri.


Daftar Pustaka
Cahyadi, T. Krispurwana, “Menuju Suatu Revolusi Total Sebuah tentang tulisan Tan Malaka Madilog” dalam Mudji Sutrisno, dkk. Sejarah Filsafat Nusantara Alam Pikir Indonesia. Yogyakarta: Galangpress, 2005.
Magnis-Suseno, Frans. Berebut Jiwa Bangsa. Jakarta: Kompas, 2006.
Magnis-Suseno, Frans, “Tan Malaka: Menuju Indonesia yang Merdeka dan Sosialis” dalam BASIS, no. 01-02, tahun ke-50, Januari-Februari 2001.
Malaka, Tan. Madilog. Jakarta: Teplok Press, 2000.
Tempo, Edisi Khusus Kemerdekaan Bapak Republik yang Dilupakan. Edisi 11-17 Agustus 2008.

N. Arya Dwiangga Martiar

Wednesday, 22 October 2008

MENGGAGAS NASIONALISME INDONESIA, Berangkat Dari Proyek Bersama




“Di samping segala-galanya,
perjuangan untuk kemerdekaanlah yang harus menjadi pokok pekerjaan semua orang
Indonesia di jaman-jaman kesukaran seperti sekarang ini.”
(Ismail Marzuki, dalam
“Minggu Merdeka”, 1/6/1958)

Nasionalisme
Bagi Benedict Anderson, nasionalisme bukanlah sesuatu yang diwariskan oleh nenek moyang. Maka, nasionalisme bukanlah sesuatu yang sudah tua umurnya. Anggapan yang keliru seperti ini membuat nasionalisme terkesan sudah ada sejak lahir dan muncul secara alamiah dalam darah dan daging.
Nasionalisme merupakan sesuatu yang dibentuk (constructed). B.Anderson melihat nasionalisme sebagai sesuatu yang merupakan “proyek bersama” pada masa kini dan masa mendatang yang menuntut adanya pengorbanan diri, bukan pengorbanan orang lain. Nasionalisme tumbuh ketika, dalam sebuah wilayah tertentu, penduduknya mulai merasa bahwa mereka memiliki tujuan yang sama; mempunyai masa depan yang sama. Mereka juga merasa terikat dengan sebuah persahabatan yang setara dan dalam yang tumbuh secara tiba-tiba dan cepat sebagai pembaruannya. Dengan kata lain, mereka terikat dengan visi dan harapan yang sama dengan orientasi pada masa depan dan berbasis pada kaum muda.
Rupanya Soekarno sendiri sudah menyadari hal ini. Dalam pidato tanggal 1 Juni 1945 beliau menempatkan “nasionalisme” di urutan nomor satu dari deretan lima nilai Pancasila. Soekarno tahu bahwa hanya dengan kesadaran bahwa “kita ini satu bangsa, bangsa Indonesia”, maka masyarakat yang sedemikian beraneka ragam – yang hidup di kepulauan Nusantara antara Asian dan Australia/Oseania, bisa menjadi satu Indonesia. Nasionalisme bagi Bung Karno adalah cinta sepenuh hati kepada Indonesia, rasa bangga bahwa “kita orang Indonesia”, adalah suatu rasa persatuan di antara orang-orang yang sedemikian berbeda, yang terbangun dalam sebuah sejarah penderitaan karena penjajahan dan perjuangan pembebasan bersama selama ratusan tahun. Dengan istilah sekarang, nasionalisme yang digerakkan oleh para pemimpin waktu itu menghindari setiap kemungkinan identity politics (politik identitas). Seluruh rakyat dikerahkan dan diajak untuk bersatu padu dan seakan harus “melupakan” buat sementara waktu asal-usulnya, suku bangsanya, dan kelompok budayanya.
Memang ada berbagai gerakan pemuda yang terhimpun dalam Jong Java, Jong Soematra, Jong Celebes, atau Jong Ambon, tetapi jelas itu bukanlah perhimpunan etnis untuk gerakan kebudayaan, melainkan komponen dari suatu gerakan besar di kalangan pemuda di seantero negeri. Di kalangan pendidikan Ki Hadjar Dewantara mendirikan Taman Siswa, tetapi itu bukanlah pendidikan berasaskan kebudayaan Jawa, melainkan berdasarkan kepercayaan diri seorang nasionalis yang enggan bahwa pendidikan dijadikan alat kolonial. Di Sumatera, MS Latif mendirikan INS Kayutanan sebagai alternatif terhadap pendidikan kolonial, tetapi asasnya bukanlah kebudayaan Melayu, tetapi kemandirian orang merdeka.
Bagi Hatta, yang berangkat dari keprihatinannya terhadap masalah kemelaratan yang dihadapi bangsa ini, visinya didasarkan pada 2 kata kunci, yaitu kerakyatan dan kebangsaan. Kerakyatan adalah kedaulatan yang berada di tangan rakyat di mana perasaan keadilan dan kebenaran yang hidup di hati rakyat adalah sumber utama. Sedang kebangsaan adalah hidup-matinya keindonesiaan yang ditentukan oleh rakyat. Hatta menolak kebangsaan ningrat dan otokratis dan feodal. Ia juga menolak kebangsaan intelektualistis, karena dalam kebangsaan macam ini rakyat dijadikan obyek, yakni alat kaum intelek yang merasa lebih mampu memimpin bangsa. Oleh karena itulah Hatta dengan demokrasi kerakyatannya sampai ke praksis sistem ekonomi koperasi.

Tantangan nasionalisme
Jika nasionalisme merupakan sebuah proyek bersama untuk masa sekarang dan masa mendatang, maka pemenuhannya tidak akan pernah selesai. Nasionalisme harus senantiasa diperjuangkan dalam setiap generasi karena tidak serta-merta seseorang yang lahir di Indonesa langsung memiliki kesadaran sebagai orang Indonesia. Dia harus memperjuangkan keindonesiaannya dengan resiko bahwa hal itu bisa gagal layaknya suatu pertaruhan. Pertaruhan antara ambisi-ambisi pribadi dengan kesetiaan terhadap gagasan proyek bersama. Pertaruhan ini bisa dimenangkan jika orang-orang Indonesia berjiwa besar dan berpikiran luas untuk menerima keanekaragaman dan kompleksitas bangsa Indonesia.
Banyak orang Indonesia yang memiliki pandangan keliru bahwa Indonesia adalah “warisan”, bukan sebagai sebuah proyek bersama. Karena Indonesia adalah warisan, berarti mereka yang hidup sesudahnya adalah pewaris yang memiliki hak terhadap warisan itu. Lalu timbulah perselisihan untuk memperebutkan warisan tersebut. Orang pun juga berpikir bahwa Indonesia sebagai suatu warisan berarti juga harus dipertahankan dengan segala cara. Inilah yang terjadi di Aceh dan Irian, di mana secara pemerintah pusat menekan rakyat setempat secara represif-militeristik karena dianggap pemberontak.
Masih segar di ingatan kita keberanian mahasiswa untuk menduduki kubah Gedung DPR yang akhirnya menandai berakhirnya sebuah rezim, yang selama 30 tahun menjaga kekuasaannya dengan penciptaan simulakrum berupa cerita hantu bernama komunis yang setiap saat bisa membuat orang ketakutan seperti sedang kerasukan. Memang demikianlah yang terjadi. Ada kontestasi simulakrum – suatu proses pembentukan kesadaran yang dihasilkan oleh strategi narasi dan pencitraan sekaligus suatu indoktrinasi ideologi, seperti halnya penataran P4. Tak bisa dipungkiri pula bahwa dalam konteks sekarang ini, niscaya kita akan sampai pada problematik nasionalisme di jaman konsumsi. Kita juga harus melihat bagaimana generasi sekarang memaknai nasionalisme sebagai suatu proyek bersama dan pembentukan formasi politik yang kemudian membawa perasaan sebagai satu bangsa.
Globalisasi menyentuh setiap orang tanpa terkecuali karena dampaknya pada kehidupan ekonomis, karena menghadapkan setiap individu pada nilai-nilai, wawasan-wawasan dan kesadaran akan alternatif-alternatif kehidupan bermakna yang pasti mengguncangkan semua lapisan. Hubungan antara pria dan wanita, individualisme, konsumsi sebagai makna hidup, kemungkinan hidup tanpa tatanan eksternal keagamaan dan adat, janji kebahagiaan dan status dalam pesona kenikmatan konsumsi yang ditawarkan, yang kesemuanya itu bisa menimbulkan krisis identitas. Krisis identitas dalam arti bahwa kepastian-kepastian tradisional yang kepadanya orang membangun dirinya sendiri menjadi tidak lagi pasti, bahkan barangkali terasa kontraproduktif. Lalu, hidup macam apa yang betul-betul bermakna sesudah hidup tradisional yang maknanya taken for granted ternyata tidak dapat lagi dipertahankan?
Krisis identitas itu juga berarti bahwa baik ikatan kebangsaan (“sama-sama orang Indonesia”) maupun ikatan umat beragama seakan-akan sulit ditempatkan. Mau tak mau individu tidak lagi dapat begitu saja mengandalkan unsur-unsur sosial tradisional yang menjadi dukungan dan acuan identitas pribadinya. Di satu sisi, orang bisa begitu saja larut dalam budaya konsumsi yang ditawarkan oleh budaya konsumsi yang ditawarkan oleh globalisasi dengan sepenuhnya terserap oleh apa yang ditawarkan lewat iklan sebagai “hidup bergaya” atau “hidup gengsi”. Disisi lain, orang bisa menjadi begitu tertutup dan menolak secara total sebagai reaksi atas globalisasi. Hal itu jelas terlihat sosoknya dalam fundamentalisme agama di samping fundamentalisme adat dan kesukuan. Orang menolak alam modern dengan nilai-nilainya secara total dan membangun sebuah dunia yang tertutup di sekelilingnya atas dasar ajaran agamanya.
Sebagaimana Bung Hatta yang prihatin atas kondisi kemelaratan bangsa ini, demikian juga kita tidak bisa menutup mata terhadap kemiskinan yang terjadi pada saudara-saudara kita. Kesejahteraan sebagai wujud nyata bahwa kedaulatan untuk memanfaatkan apa yang terkandung dalam bumi Indonesia sebesar-besarnya bagi rakyat ternyata masih jauh dari harapan. Bahkan saudara tega menindas saudara sebangsa demi kepentingannya sendiri. Hak asasi bahwa setiap manusia berhak atas taraf hidup yang menjamin kesehatan dan kesejahteraan untuk dirinya dan keluarganya, termasuk pangan, pakaian, perumahan dan seterusnya, belum terpenuhi seluruhnya kalau tidak mau mengatakan tidak terpenuhi sama sekali. Penggusuran masih terjadi di mana-mana. Fakir miskin dan anak-anak terlantar yang seharusnya dipelihara oleh negara malah terusir dan tercabut dari akar budayanya karena tak ada yang membela. Lalu inikah wujud proyek bersama yang telah berjalan setelah sekian lama dan yang telah dimulai founding fathers kita?

Tatapan nasionalisme keIndonesiaan sekarang dan ke depan
Tahun 2008 ini bangsa Indonesia memperingati 80 tahun Sumpah Pemuda. Peristiwa di mana beberapa pemuda, wakil organisasi Jong Java, Jong Soematra, Jong Celebes, dan lain-lain mengikrarkan diri pada satu tanah, satu bangsa, satu bahasa Indonesia, oleh sejarawan Onghokham disebut sebagai Hari Kelahiran Bangsa Indonesia. Enambelas tahun kemudian Sumpah Pemuda mengalami ujian berat. Sebagian dari BPUPKI yang oleh Jepang ditugaskan mempersiapkan kemerdekaan Indonesia mau mendasarkan negara pada kebangsaan, sedang sebagian yang lain pada agama Islam. Untuk mengatasi konflik ini, Soekarno mencetuskan Pancasila – di mana “nasionalisme” ada di urutan nomor satu – pada 1 Juni 1945 yang disambut hangat oleh semua pihak sesudah usaha bersama yang berat. Pancasila mendapat bentuk definitif pada tanggal 18 Agustus 1945 dalam Pembukaan UUD 1945. dan disinilah Pancasila menjadi bukti kemenangan Sumpah Pemuda terhadap egoisme golongan.
Apabila bangsa yang sedemikian beraneka etnik, ras, budaya dan agama seperti bangsa Indonesia, yang tersebar atas ribuan pulau, mau tetap bersatu, maka negara yang mengungkapkan kesatuan bangsa itu haus memenuhi tiga syarat: tatanannya harus inklusif, demokratis, dan berusaha mewujudkan solidaritas dengan anggota-anggotanya yang paling lemah. Inklusif, karena hanya kalau komponen bangsa itu merasa memiliki negara sebagai rumah bersama, mereka mau dan akan bersama. Demokratis, karena hanya kalau semua komponen bangsa dapat mengungkapkan harapan dan kritikan mereka, konflik-konflik yang selalu terjadi di antara mereka dapat diselesaikan secara wajar dan damai. Lalu solider, karena hanya apabila beban-beban dan keuntungan-keuntungan hasil kerja kolektif seluruh bangsa dibagi adil, dan bila tidak ada kelompok yang merasa dikorbankan, orang bersedia memberikan pengorbanan yang mutlak diperlukan oleh bangsa dan negara untuk bisa hidup dan berkembang terus.
Banyaknya organisasi-organisasi, institusi-institusi yang memperjuangkan hak-hak manusia sekarang ini merupakan suatu fenomena yang wajar. Bahkan memang sudah seharusnya demikian. Tetapi, dalam konteks keIndonesiaan dan tantangan yang telah menanti, yang lebih mendesak ialah bagaimana mengajak setiap individu untuk memperjuangkan hak-hak manusia Indonesia serta untuk berpartisipasi secara sukarela, bersemangat, bersama, dalam proyek bersama ini tanpa adanya ketakutan. “Hak-hak asasi manusia Indonesia” hanya bisa diperjuangkan dan direalisasikan oleh orang-orang Indonesia sendiri. Dan suatu kebangkitan yang nyata dari proyek bersama ini telah diprakarsai hampir seratus tahun yang lalu oleh tokoh-tokoh macam Dr. Soetomo, Natsir, Sjahrir, dsb.

Penutup
Nasionalisme Indonesia belumlah usai. Dalam arti ini, nasionalisme masih harus diperjuangkan terus-menerus dan akan selalu dalam proses menjadi. Semangat ini masih harus digali dengan berbagai macam upaya dan cara. Sebagaimana kemerdekaan yang terus mencari makna bagi dirinya, keIndonesiaan juga harus diperjuangkan menghadapi berbagai macam arus yang datang dari berbagai sudut. Karena merupakan usaha bersama, menjadi Indonesia hendaknya diupayakan agar menjadi milik dari masing-masing pribadi yang mengaku bertumpah darah Indonesia. Mestinya masih ada rasa kebangsaan sebagai modal nasionalisme yang dapat diandalkan dalam usaha semua rakyat Indonesia untuk menjaga api ini.

N. Arya Dwiangga Martiar


Sumber Bacaan
Anderson, Benedict, Indonesian Nationalism Today and In The Future, Indonesia Magazine, no. 67, April 1999.
Kleden, Ignas, Kebudayaan dan Kebangsaan, KOMPAS, edisi 8 September 2008.
Leksono, Ninok, Musik Pun Menggugah Kebangsaan, KOMPAS, edisi 15 September 2008.
Magnis-Suseno, Berebut Jiwa Bangsa, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006.
Redana, Bre, Nasionalisme di Zaman Konsumsi, KOMPAS, edisi 22 September 2008.
Sutrisno, Mudji, dkk, Sejarah Filsafat Nusantara Alam Pikiran Indonesia, Yogyakarta: Galang Press, 2005.

Thursday, 21 August 2008

Cerpen: LAZARUS DIBANGKITKAN




Mengingat kembali peristiwa itu, membuat diri Marta merasa demikian beruntung bisa bertemu dengan-Nya. Tidak hanya dirinya saja, tetapi juga Maria saudaranya. Tak mengira bahwa keajaiban itu akan terjadi di depan matanya. Semuanya nyata dan memang nyata. Dan karena Dialah semua hal ini terjadi.
Semua berawal ketika saudaranya yang paling muda, yakni Lazarus, menderita sakit parah karena terlalu lelah bekerja. Marta dan Maria mengira Lazarus hanya masuk angin ditambah demam karena terlalu capek. Apalagi Lazarus sendiri punya kebiasaan yang tidak baik, yaitu mandi malam-malam. Karena dianggap hanya masuk angina biasa, maka Lazarus hanya diobati dengan ramuan rempah-rempah biasa dengan minum sedikti anggur pahit. Tetapi lama-kelamaan sakit Lazarus bukannya hilang dan bertambah baik keadaannya, melainkan bertambah buruk dan itu berlangsung cukup lama. Akhirnya sampai suatu ketika Marta menemui Lazarus terbatuk-batuk mengeluarkan darah. Maka segera dipanggilnya seorang tabib dari kota, meski dia pun tidak dapat berbuat banyak. Dua hari setelah itu, Lazarus meninggal dunia.
“Semua ini salahku. Kalau saja aku segera memanggil tabib tentu keadaannya tidak akan jadi seperti ini..”, kata Marta lirih.
“Tidak, kau tidak bersalah. Akulah yang salah. Aku tidak merawatnya dengan baik,” kata Maria lirih di sela-sela isak tangisnya.
“Andaikata Tuhan ada disini…”, sambung Marta.
Di lain tempat, Yesus sedih mendengar berita kematian Lazarus. Setelah mendengar berita kematian Lazarus, Yesus mengajak murid-muridNya untuk kembali ke Betania meski sebenarnya mereka sedang dalam perjalanan menuju ke Galilea yang berlawanan arahnya.
“Guru, bukankah orang-orang Yahudi di sana baru saja ingin melempari Engkau dengan batu? Dengan kembali ke sana itu berarti sama saja Engkau hendak menyerahkan diriMu kepada mereka? Itu sama saja bunuh diri untukMu!”, kata salah seorang muridNya.
Jawab Yesus, “Saatku untuk itu belum tiba. Sebenarnya Lazarus saudara kita tidak mati, tetapi hanya tertidur. Dan Aku pergi ke sana untuk membangunkan dia dari tidurnya”.
Maka segeralah mereka berkemas dan pergi ke Yudea. Sementara itu di Betania upacara pemakaman baru saja dimulai. Setelah suatu upacara kematian yang dipimpin oleh seorang imam Yahudi selesai, jenazah Lazarus dibawa untuk dimakamkan di sebuah kubur yang terletak di sebuah lobang batu agak ke luar kampung dengan diiringi isak tangis Maria dan Marta dan banyak perempuan Yahudi lainnya dengan memakai pakaian serba hitam.
Setelah pemakaman, masa perkabungan masih akan berjalan selama seminggu lamanya. Maria dan Marta sendiri hanya berada di dalam kamar dalam masa perkabungan itu tanpa melakukan pekerjaan apa-apa selain menangis dan meratapi kepergian saudaranya. Mereka ditemani tetangga dan para sahabat yang berada di sekitar rumah mereka hingga masa perkabungan itu lewat.
Sementara masa perkabungan sudah berjalan 3 hari, datanglah Yesus ke rumah Maria dan Marta. Karena nama Yesus sudah banyak dikenal sebagai seorang pemuda yang pandai membuat mukjijat, maka berduyun-duyun datanglah orang-orang kampung ke rumah Maria dan Marta. Ketika salah seorang datang memberitahu Maria dan Marta bahwa Yesus dan para muridNya sudah ada di depan rumah, segeralah mereka berlari menyongsongNya. Dengan menangis tersedu-sedu mereka menceritakan semua telah yang terjadi kepada Yesus. Dan di akhir cerita mereka, Maria berkata lirih.
“Tuhan, andaikan saja Engkau di sini waktu itu…!”.
“Guru, bukankah Engkau mengatakan bahwa Lazarus hanya tertidur? Mengapa tidak Kau bangunkan saja dia dari tidurnya?”, sela salah seorang muridNya.
Maria dan Marta menangis semakin tersedu-sedu mendengar perkataan itu. Mereka tidak menyangka bahwa rupanya Yesus hanya menganggap Lazarus sedang tertidur. Di sela-sela isak tangisnya, berkatalah Marta kepada Yesus.
“Tuhan, Lazarus tidak tertidur. Dia sudah mati dan sudah dikuburkan 3 hari yang lalu”.
“Tidak Marta, Lazarus hanya tertidur panjang. Mari kita pergi ke sana dan membangunkannya”.
“Tuhan, kami semua di sini melihat sendiri bagaimana dia mati. Kalaupun dia memang tertidur, biarlah sekarang dia terlelap dalam tidur panjangnya”, sambung Maria.
“Tuhan, dengan berkata bahwa Lazarus hanya tertidur, itu sama saja Engkau menertawakan kami yang sedang berkabung untuk kematiannya. Tolong jangan menambah kesedihan lagi bagi kami”, ratap Marta.
Tanpa memperpanjang perdebatan itu, Yesus minta kepada diantar ke makam Lazarus kepada salah satu orang yang ada di sana. Segera saja tersiarlah berita bahwa Yesus hanya menganggap Lazarus tidur dan banyak orang segera pergi untuk melihat apakah benar Yesus hendak membangunkan Lazarus. Maria dan Marta mengikuti Yesus dan para muridNya dari belakang diikuti dengan orang banyak yang kebanyakan datang karena rasa penasaran.
Setibanya di sana, Yesus minta kepada beberapa orang untuk memindahkan batu besar yang menutupi kuburan itu. di belakangnya, Maria dan Marta hanya melihat dengan terisak-isak bersama beberapa wanita tetangga mereka. Mereka hanya bisa diam melihat apa yang dilakukan oleh Yesus. Sementara 3 orang pria memindahkan batu penutup makam, datanglah seseorang yang sudah beruban menghampiri Yesus. Rupanya ia adalah imam Yahudi yang memimpin upacara pemakaman Lazarus.
“Tuan, Lazarus sudah mati. Biarkan dia beristirahat dengan tenang. Tidakkah Engkau melihat bahwa perbuatanMu itu hanya semakin menambah kesedihan Maria dan Marta? Bukankah lebih baik bila kita menghibur mereka yang sedang berkabung karena ditinggalkan oleh Lazarus?”.
“Tuan, percayalah bahwa Lazarus hanya tertidur. Datang dan lihatlah!”, jawab Yesus.
Yesus berpaling menuju lubang yang merupakan pintu masuk ke makan Lazarus. Sejenak Dia terlihat diam memandang ke arah pintu itu. Setelah itu, Dia berkata dengan suara yang cukup keras.
“"Lazarus, marilah ke luar!”.
Semua yang ada di situ menatap ke pintu gua dan diam menunggu apa yang terjadi. Demikian pula Maria dan Marta, hanya terdiam dan menunggu. Lalu terjadilah hal itu. Perlahan-lahan muncullah Lazarus dengan kain kafan yang masih menutupi sekujur tubuhnya berjalan keluar menuju ke pintu gua. Semua yang ada di situ menahan nafasnya untuk sesaat. Mereka terkejut melihat hal itu. mereka semua tak menyangka bahwa Lazarus yang mereka lihat sudah mati ternyata sedang berjalan menuju mereka. Tiba-tiba saja Maria dan Marta menyeruak dari kerumunan dan berlari menuju Lazarus yang juga terheran-heran memandang mereka. Maria dan Marta menangis memeluk Lazarus sementara banyak orang mulai ramai menggumam, heran atas kejadian yang baru saja mereka lihat. Sementara Yesus menyuruh Lazarus untuk membuka kain yang menutupi sekujur tubuhnya, di tengah kerumunan orang banyak itu ada seorang yang melihat dengan takjub peristiwa itu dan berkata’
“Sungguh, Dia ini Anak Allah”.

N. Arya Dwiangga Martiar

MENJUAL MIMPI LEWAT SINETRON




Rasanya tak ada televisi di Indonesia yang lepas sepenuhnya dari tayangan sinetron. Lihat saja sedari pagi hingga malam, pasti ada stasiun televisi yang menayangkan tontonan sinetron. Sinetron yang merupakan singkatan dari sinema elektronik memang merupakan serial pendek yang perekamannya sendiri mengandalkan kecanggihan teknologi digital. Oleh karena itulah, tayangan itu disebut dengan sinetron, singkatan sinema elektronik.

Sinetron yang ditayangkan di televisi terkesan serba ‘wah’. Kesan ‘wah’ ini nampak secara fisik saja, dengan pemain-pemain serba cantik dan tampan, setting-nya kebanyakan berada di rumah-rumah mewah dengan interior yang terlihat mewah, meski kalau dilihat jalan ceritanya itu biasa-biasa saja bahkan boleh dibilang miskin kreasi. Semua melulu hanya bertemakan cinta antara sepasang kekasih dengan alur cerita ala film-film Bollywood atau Hollywood yang selalu happy ending. Tak ada yang istimewa selain ‘kelebihan’ yang ditawarkan melalui kemewahan berupa pemain-pemain yang selalu berdandan rapi, cantik dan tampan, rumah-rumah mewah dan besar, restoran-restoran mahal, mobil-mobil mulus, dan yang tak boleh dilupakan karena selalu jadi ciri khas sinetron, yaitu akting pemain-pemainnya yang serba berlebihan dan terlalu dibuat-buat.

Kalau diperhatikan dengan seksama, bisa dilihat bagaimana pemain-pemain dalam sinetron dalam situasi dan kondisi apapun selalu berdandan. Kalau yang pria selalu dengan pakaian yang rapi atau gaul dengan potongan rambut yang mungkin sedang jadi trend di kalangan anak muda, kalau wanita selalu dengan bibir bergincu aneka warna dengan wajah yang terlihat putih mulus karena riasan. Lalu kendaraan yang ditumpangi juga selalu mobil-mobil mewah dengan merek-merek terkenal yang di Indonesia pun hanya terdapat beberapa buah saja.

Dengan cerita yang monoton dan ditambah akting pemainnya yang biasa-biasa saja, maka sinetron tak lain hanyalah tayangan yang hanya menjual mimpi saja. Mimpi orang jaman sekarang yang selalu ingin kaya tanpa susah bekerja, punya rumah besar dan mobil mewah, selalu makan di restoran mahal, dan tampil cantik atau tampan di setiap kesempatan. Maka sinetron seperti itu hanya membuat orang bermimpi agar bisa seperti itu, tetapi di sisi lain juga menggeser nilai-nilai bahwa apa yang ‘baik’ dan ‘bagus’ itu seperti yang ada dalam sinetron, yakni wajah cantik atau tampan, juga kaya dan berduit, dalam kehidupan sehari-hari. Kalau makanan cepat saji disebut junk food, maka sinetron-sinetron macam ini boleh dikata sebagai junk show.


N. Arya Dwiangga Martiar

Wednesday, 20 August 2008

APA ITU BERAGAMA?




Bangsa Indonesia hampir berusia 63 tahun. Sebuah rentang waktu yang cukup panjang mengingat banyak hal yang telah terjadi mengisi tapak demi tapak sejarah bangsa Indonesia. Bila dibanding dengan sejarah umat manusia, umur ‘manusia Indonesia’ masih belum ada apa-apanya. Manusia ‘baru’ ada sekitar 2 juta tahun yang lalu dan itu jauh lebih kecil dibanding umur bumi yang 50 miliar tahun dan masih akan terus hidup hingga 5 miliar tahun ke depan, sebelum matahari membengkak 25 kali lipat dibanding sekarang dan menjadi bola raksasa merah yang mendidihkan segala air di bumi menjadi uap lebih dari 500 derajat celcius. Dibutuhkan 2 juta tahun evolusi untuk menjadikan manusia dari homo habilis (manusia terampil) menjadi homo sapiens (manusia bijak) hingga seperti sekarang ini .
Seiring dengan waktu dan jaman yang terus berjalan, banyak hal mengalir berkembang seiring dengan perkembangan manusia. Perkembangan manusia tidak pernah terlepas dari historisitasnya karena manusia merupakan pemain sekaligus menjadi penentu alur di dalamnya. Manusia membentuk berbagai macam pemikiran, dan pandangannya pun turut diubah seiring dengan arus tersebut. Romo Mangun mengatakan bahwa manusia sekarang ini adalah manusia pasca-Einstein yang sudah berbeda inti kedalamannya dengan manusia pra-Einstein dan itu berarti sangat memungkinkan adanya perbedaan penghayatan terhadap dimensi keilahiannya . Manusia yang dulu terpesona atas janji kemajuan humanisme renaisans dan diteruskan pada keoptimisan aufklarung karena dijanjikan bertemu dengan kebahagiaan melalui kebebasan akal budinya sekarang bergeser pada ilmu pengetahuan sebagai pencari kebenaran yang memuaskan. Lihat saja ilmu kedokteran barat dengan segala sistematikanya yang analitis, logis, lagi metodis-empiris, yang sedemikian maju sehingga orang berbondong-bondong datang ke rumah sakit demi mencicipi salah satu hasilnya. Apa yang nenek moyang dahulu katakan bahwa sakit itu karena mereka salah memberi sesaji kepada roh-roh danyang penunggu pohon beringin, jembatan, perempatan jalan, dan sebagainya , kini hanya menjadi gelengan kepala para sarjana yang telah melangkah jauh meneliti kromosom-kromosom atau atom-atom yang ternyata berbentuk gelombang sekaligus merupakan partikel-partikel berukuran mikro. Manusianya masih sama antara yang pra-Einstein dan pasca-Einstein, tetapi lain sama sekali cara berpikirnya, cara pandangnya, cara pengambilan reaksi, keputusan, serta kesimpulannya. Maka, banyak orang semakin sadar bahwa sekarang ilmu pengetahuan menjadi satu-satunya ‘agama’ yang dipercaya oleh banyak orang dan menyatukan banyak bangsa di seluruh muka bumi. Benar pula apa yang dikatakan Francis Bacon mengenai semboyan knowledge is power, bahwa akhirnya ilmu pengetahuan menjadi bahasa universal sekaligus kekuatan yang besar dalam kehidupan manusia . Lalu pertanyaannya, dengan situasi yang berkembang seperti ini apakah praktik hidup beragama masih relevan? Di satu sisi masih terdapat keinginan untuk beriman dan ingin beragama secara betul . Tetapi, di sisi lain ternyata ada perbedaan yang tidak bisa terjembatani hanya melalui ungkapan-ungkapan agama tradisional yang sudah ribuan tahun umurnya terhadap pengaruh dan dampak ilmu pengetahuan dan teknologi . Singkatnya, ada perbedaan ‘bahasa’ disitu.
Pertanyaan di atas tidaklah tanpa alasan. Secara sederhana kita bisa melihat bahwa metode ilmu pengetahuan yang senantiasa analitis, kritis dan empiris sudah kita jumpai sedari dini sejak TK hingga perguruan tinggi. Melalui percobaan-percobaan sistematis dengan pengukuran-pengukuran kuantitatif matematis dan pengujian pembenaran atau penyalahan menurut aturan sains yang ketat membuat manusia hanya mau menerima hal-hal yang dapat dibuktikan tampak-nyata oleh pancaindra dan pikiran . Maka, kebenaran mutlak tidak ada karena bagi manusia empiris yang ada hanyalah probability dan prinsip ketidakpastian yang dibatasi oleh keterangan “nyata bagi pengamat” . Hal ini tentu menjadi ancaman bagi agama tradisional yang lahir di masa lampau yang dibahasakan dengan menggunakan ekspresi zaman dan budaya nomad atau agraris . Ekstremnya, jikalau Tuhan tidak dapat dirumuskan secara empiris dengan perumusan matematika, maka Tuhan tidak ada atau nonsense bagi orang secara subjektif . Pandangan ini memang sangat radikal. Tetapi, kenyataan ini tidak untuk ditutup-tutupi, melainkan haruslah direfleksikan lebih lanjut bagi mereka yang masih menyadari bahwa di dalam lubuk hatinya yang paling dalam masih terdapat kerinduan untuk beriman karena disinilah religiositas menjadi memiliki arti.
Akhirnya menjadi sedikit jelas bahwa agama dengan praktiknya memiliki perbedaan bahasa dengan apa yang sekarang ini manusia geluti. Apa yang dahulu begitu mudah diikuti dan dihayati ternyata menjadi demikian sulit untuk diikuti dan diimani sekarang ini. Dengan kata lain, apa yang dahulu relevan menjadi tidak relevan lagi sekarang. Apa yang dahulu dianggap sebagai cara paling baik untuk mengungkapkan rasa syukur pada Tuhan sekarang sudah menjadi kata-kata kosong tanpa pemaknaan. Ada pergeseran nilai di situ. Untuk menyambungnya kembali, berarti salah satu harus menyesuaikan terhadap yang lain dan itu berarti praktik hidup beragama harus menyesuaikan dengan keadaan zaman yang memang menuntut demikian. Bisakah itu terjadi?



Daftar Pustaka
Hardiman, F. Budi. Filsafat Modern Dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004.
Mangunwijaya, Y. B. Manusia Pascamodern, Semesta, dan Tuhan. Yogyakarta: Kanisius, 1999.

N. Arya Dwiangga Martiar

Friday, 15 August 2008

TOTALITAS, RASIONALISASI, DAN KOMPROMI HIDUP BERKAUL


TOTALITAS, RASIONALISASI, DAN KOMPROMI
HIDUP BERKAUL

1. Sudah sejak awal pewahyuan dalam Perjanjian Lama, kalau Tuhan menjalin relasi dengan manusia, yang dituntut adalah relasi yang TOTAL: TIDAK SETENGAH-SETENGAH atau MENDUA. Kita dapat melihat hal itu misalnya ketika Allah mewahyukan diri dan menyampaikan Sepuluh Perintah-Nya kepada bangsa Yahudi: “Akulah Tuhan, Allahmu … Jangan ada padamu Allah lain di hadapanKu” (Kel 20:2-3). Allah itu tidak mau disaingi, tidak mau dinomorduakan. Beginilah firman Tuhan kepada Musa hambaNya untuk disampaikan kepada umat Israel: “Janganlah engkau sujud menyembah Allah lain, karena Tuhan, yang namanya Cemburuan, adalah Allah YANG CEMBURU.” Dan bangsa Yahudi yang mengikuti Allah dan mempersembahkan korban kepada Allah bangsa kafir disebut Tuhan dengan kata ‘BERZINAH’ (Kel 34:14-15). Mereka HARUS SECARA TOTAL MENYEMBAHNYA. Maka Musa pun menyampaikan hukum yang paling utama kepada bangsa Israel: “Dengarlah, hai orang Israel: Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu Esa! KASIHILAH TUHAN, ALLAHMU, DENGAN SEGENAP HATIMU DAN DENGAN SEGENAP JIWAMU DAN DENGAN SEGENAP KEKUATANMU” (Ul 6:4-5).

2. Yesus pun tetap menampilkan sifat Allah yang khusus ini, ialah ‘suka cemburu’, TIDAK MAU DINOMORDUAKAN, tidak mau disaingi. Bila orang mau berelasi dengan Dia, maka harus TOTAL dan SEPENUH HATI. Ini nampak jelas dalam kata-kataNya yang keras: “Jikalau seorang datang kepadaKu dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi muridKu” (Luk 14:26). Perikop: Hal Mengikuti Yesus dalam Luk 9:57-62 itu sarat dengan tuntutan Yesus yang keras dan menantang. Berpamitan dengan keluarganya saja tidak boleh: “Setiap orang yang siap untuk membajak tetapi MENOLEH KE BELAKANG, TIDAK LAYAK untuk Kerajaan Allah” (Luk 9:62).

3. Jelas bahwa TUNTUTAN INI untuk manusia dengan segala kelemahannya di sepanjang jaman SANGATLAH BERAT. Maka berkali-kali bangsa Yahudi ‘berzinah’ terhadap Yahwe Allah mereka; dengan mengikuti berhala-berhala kafir. Mereka ingin beribadat secara konkret, melihat siapa yang mereka sembah, seperti bangsa-bangsa lain. Lalu mereka buat patung anak lembu tuangan dari emas dan berseru: “Hai Israel, inilah Allahmu yang telah menuntun engkau keluar dari tanah Mesir” (Kel 32:8). Ini salah satu bentuk RASIONALISASI: mencari alasan untuk membenarkan apa yang diinginkan. Beribadat secara konkret?? Apakah ini pasti lebih benar dan lebih baik? Ataukah sebenarnya hanya mencari kepuasan sensasi belaka dan ikut arus supaya aman??

Contoh rasionalisasi dalam Injil mungkin boleh kita sebut: Orang-orang yang mencari alasan untuk tidak memenuhi undangan perjamuan besar (Luk 14-16-24). Apakah harus pada saat pesta itu diselenggarakan, seorang harus melihat tanah yang baru saja dibeli? Atau, seorang yang lain harus mencoba lima pasang lembu? Atau, seorang yang lain berkata: “Aku baru kawin … (I have just got married)”. Dengan kata lain: bukan sedang mengadakan pesta nikah sendiri, melainkan baru saja selesai. Bukankah lebih tepat bila datang berdua sebagai penganin baru? Rupanya justru hadir itulah yang mau dihindari. Kita pun juga pandai mencari berbagai alasan untuk menghindari sutau hal, tugas, atau situasi yang tidak kita kehendaki. Bahkan mungkin lebih cerdik dan lebih canggih daripada orang itu tadi, sehingga alasan kita lebih berbobot, lebih masuk akal, dan bahkan lebih pantas dipertimbangkan. Itu semua merupakan REASONABLE REASON, alasan yang masuk akal. Tetapi apakah itu memang THE REAL REASON? Apakah itu itu memang alasan yang sesungguhnya, yang sejujurnya? Hendaknya kita bisa MEMBEDAKAN DUA ALASAN ini dengan jelas. Kalau tidak, kita akan terjebak dalam penipuan diri di bawah sadar, padahal orang lain jelas-jelas melihatnya.

4. TUNTUTAN TOTALITAS dari Tuhan yang terasa berat oleh orang ‘yang dipanggil’ ini menimbulkan berbagai sikap. Ada yang menolak, ada yang menerima, ada yang KOMPROMI. Marilah kita bicara tentang yang terakhir ini saja, khususnya dalam panggilan hidup bakti/panggilan sebagai religius. Berkaul KETAATAN tetapi selalu berhasil mendapat tugas yang dipilih sendiri. Berkaul KEMISKINAN tetapi mempunyai semua fasilitas yang disenangi (BUKAN YANG PERLU). Berkaul KEMURNIAN tetapi menikmati kehangatan afeksi yang dianggapnya wajar, padahal orang lain yang melihat mengatakan bahwa itu sudah KELEWAT BATAS. Mestinya sikap macam ini yang dikecam Tuhan sebagai SUAM-SUAM KUKU dalam Why 3:16. lalu teks itu dapat dibaca: “Karena kamu BUKAN AWAM (karena berkaul) dan BUKAN RELIGIUS (karena tidak menghayati kaul) Aku akan memuntahkan engkau …” Sikap kompromi akibat rasionalisasi ini kiranya memang sungguh MEMUAKKAN TUHAN dan memang pantas DIMUNTAHKANNYA.

PS: Terima kasih sebesar-besarnya untuk Rm. Udyasusanta, SJ untuk bahan ini dan untuk bimbingan beliau bagi saya dalam mencari kehendakNya.

Wednesday, 13 August 2008

CINTA ITU TIDAK ADA



Bagiku tidak ada yang namanya cinta. Cinta saja tidak ada, terlebih juga dengan cinta sejati. Mengapa aku berani mengatakan bahwa cinta itu tidak ada? Argumenku yang pertama ialah bahwa (1) bila cinta itu ada maka dia tidak dapat tidak ada. (2) Bila cinta itu ada, maka cinta yang ada itu tidak dalam proses menjadi (becoming). Itu berarti bahwa terjadi proses dari yang tidak ada menjadi ada. Dengan kata lain, bila cinta itu memang ada maka cinta yang ada itu kekal; tidak mengenal awal dan akhir. (3) Bila cinta memang ada, maka cinta yang ada itu tidak berubah-ubah. Dengan kata lain, bila terjadi perubahan maka itu berarti cinta itu kadang ada dan kadang tidak ada.
Argumenku yang pertama ialah bahwa bila cinta itu ada maka dia tidak dapat tidak ada. Bila cinta memang ada dimiliki oleh semua orang maka tidak ada saat dimana cinta itu tidak ada atau hilang. Tetapi nyatanya dengan mudah ada orang berkata mengenai ‘tidak adanya cinta’ atau ‘belum adanya cinta’. Atau ketika orang dengan enteng berkata ‘cinta itu sudah pergi’. Lalu cinta sendiri itu apa? Kalau memang sungguh ada seharusnya cinta itu ada terus, bukannya harus ditunggu kedatangannya. Ada berarti ada, dan tidak ada berarti tidak ada. Yang ada tidak mungkin menjadi tidak ada dan sebaliknya.
Argumenku yang kedua ialah bila memang cinta itu ada, maka cinta yang ada itu tidak dalam proses menjadi (becoming). Tidak ada proses dari ketiadaan menjadi ada karena bila demikian berarti ada saat bahwa cinta itu tidak ada. Dengan kata lain, ada waktu dimana cinta itu ‘belum tercipta’ dan menunggu proses terciptanya cinta. Itu sama saja dengan menyatakan bahwa cinta itu tidak kekal karena mengalami proses dari tidak ada menjadi ada. Padahal bila cinta itu ada, maka cinta itu selalu ada dan tidak dapat tidak ada. dengan kata lain, cinta tidak mengenal awal dan akhir.
Argumenku yang ketiga ialah bila cinta itu ada, maka cinta yang ada itu tidak berubah-ubah atau mengalami perubahan. Melanjutkan argumenku yang kedua, bila cinta itu memang ada maka dia tetap dan tidak berubah-ubah. Perubahan menandakan masih adanya ‘ruang’ untuk berubah. Perubahan berarti menandakan masih terjadinya ‘pengurangan’ dan ‘penambahan’ atau ‘penyusutan’ dan ‘pengembangan’. Dengan kata lain, masih ada ruang untuk suatu proses. Kembali lagi ke argumenku yang kedua, bila memang cinta itu ada maka dia tidak dalam proses menjadi. Tidak pula dalam proses ‘berubah-ubah’.
Lalu apa yang selama ini disebut cinta oleh banyak orang? Menurutku, ‘cinta’ yang disebut itu tak lain adalah suatu pengobyekkan demi memuaskan hasrat, perasaan, ataupun bahkan nafsu keinginan diri yang egoistik. Aku sebut pengobyekkan karena yang terjadi bukan hubungan aku-engkau sebagai subyek dengan subyek, melainkan hubungan aku sebagai subyek terhadap engkau sebagai obyek. Obyek untuk apa? Tak lain sebagai obyek untuk memuaskan hasratku, keinginanku, dan juga egoku. Hubungan yang terjadi bukanlah hubungan kesetaraan, melainkan hubungan atas-bawah.
Bila orang berkata ‘ aku cinta kamu’, itu tak lain berarti bahwa ‘aku merasa cocok denganmu karena kamu adalah ini, itu, dst. ‘Aku cinta kamu’ berarti bahwa kamu sesuai dengan apa yang kuinginkan. Kamu sesuai dengan seleraku, dan dengan adanya kamu maka aku merasa terpuaskan. Maka dengan ‘aku cinta kamu’, itu berarti bahwa ‘kuharap dirimu tetap seperti itu dan jangan berubah menjadi apa yang bukan mauku. Bila engkau tidak lagi sesuai dengan mauku aku tidak akan mencintai engkau, karena engkau tidak lagi memuaskan diriku; tidak sesuai dengan seleraku’. Di titik itulah orang yang ‘kucintai’ menjadi obyek atas keinginanku, atas egoku belaka, tidak lebih. Dan biasanya disitulah titik rawan terjadinya paksaan-paksaan atas nama ‘cinta’ yang tak lain hanyalah kedok dari ego belaka. Lalu, dari situ mulai muncul apa yang disebut dengan ketidakbahagiaan atau kesedihan. Kesedihan atau ketidakbahagiaan itu terjadi tak lain karena ‘apa yang kuinginkan, apa yang bisa memuaskan egoku, tidak lagi menjadi “milikku” sehingga hasratku tidak terpuaskan’. Kata ‘milikku’ berarti bahwa orang lain kuanggap sebagai instrumen, sebagai alat, sebagai benda, yang ‘bisa dipakai’ untuk memuaskan egoku. Dengan kata lain, hubungan (kesalingan) cinta merupakan hubungan subyek-obyek yang tak lain adalah hubungan fungsionalitas belaka, tak lebih.
Lalu, adakah ‘cinta’? Silahkan cari jawaban atas pertanyaan ini dalam permenunganmu sendiri. Bila kau bertanya padaku, jawaban dan pendirianku sudah jelas: cinta itu tidak ada.

N. Arya Dwiangga Martiar

Friday, 8 August 2008

NASIONALISME


Apa itu nasionalisme (bagi bangsa Indonesia)? Bagi Benedict Anderson, nasionalisme bukanlah sesuatu yang diwariskan oleh nenek moyang. Maka, nasionalisme bukanlah sesuatu yang sudah tua umurnya. Anggapan yang keliru seperti ini membuat nasionalisme terkesan sudah ada sejak lahir dan muncul secara alamiah dalam darah dan daging. Anggapan keliru lainnya ialah bahwa bangsa dengan negara adalah dua hal yang identik. Yang benar ialah bahwa negara jauh lebih tua daripada bangsa. Khususnya bagi Indonesia, pemerintahan kolonial sudah ada sebelum negara Indonesia terbentuk.

Menurut B.Anderson, nasionalisme merupakan sesuatu yang dibentuk (constructed). B.Anderson melihat nasionalisme sebagai sesuatu yang merupakan “proyek bersama” pada masa kini dan masa mendatang yang menuntut adanya pengorbanan diri, bukan pengorbanan orang lain. Nasionalisme tumbuh ketika, dalam sebuah wilayah tertentu, penduduknya mulai merasa bahwa mereka memiliki tujuan yang sama; mempunya masa depan yang sama. Mereka juga merasa terikat dengan sebuah persahabatan setara dan dalam yang tumbuh secara tiba-tiba dan cepat sebagai pembaruannya. Dengan kata lain, mereka terikat dengan visi dan harapan yang sama dengan orientasi pada masa depan dan berbasis pada kaum muda.

Jika nasionalisme merupakan sebuah proyek bersama untuk masa sekarang dan masa mendatang, maka pemenuhannya tidak akan pernah selesai. Nasionalisme harus senantiasa diperjuangkan dalam setiap generasi karena tidak serta-merta seeorang yang lahir di Indonesa langsung memiliki kesadaran sebagai orang Indonesia. Dia harus memperjuangkan keIndonesiaannya dengan resiko bahwa hal itu bisa gagal layaknya suatu pertaruhan. Pertaruhan antara mementingkan ambisi-ambisi pribadi dengan kesetiaan terhadap gagasan proyek bersama tersebut. Pertaruhan ini bisa dimenangkan jika orang-orang Indonesia berjiwa besar dan berpikiran luas untuk menerima keanekaragaman dan kompleksitas bangsa Indonesia.

Banyak orang Indonesia yang berpikir bahwa Indonesia adalah “warisan”, bukan sebagai sebuah proyek bersama. Karena Indonesia adalah warisan, berarti mereka yang hidup sesudahnya adalah pewaris yang memiliki hak terhadap warisan itu. Lalu timbulah perselisihan untuk memperebutkan warisan tersebut. Orang pun juga berpikir bahwa Indonesia sebagai suatu warisan berarti juga harus dipertahankan dengan segala cara. Inilah yang terjadi di Aceh dan Irian, di mana secara pemerintah pusat menekan rakyat setempat secara represif-militeristik karena dianggap pemberontak.

Berkaca dari pengalaman di Aceh dan Irian, hendaknya orang Indonesia berpikir realistis dan menyadari kebebasan yang asli, termasuk kemungkinan federalisasi Indonesia. Perlu adanya perubahan arah kebijakan. Jika memang Undang-Undang Dasar 1945 sudah tidak sesuai dengan dengan kondisi lingkungan yang terus-menerus berubah, maka bisa diadakan penyesuaian. Bahkan bila perlu pemeriksaan dan perbaikan menyeluruh terhadap UUD 1945. Kejadian tahun 65-66 dengan korban ratusan ribu orang memberi pengaruh sangat besar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia hingga saat ini. Suatu trauma yang berkepanjangan yang dibayang-bayangi kekejaman terhadap saudara sebangsa membentuk cara pandang manusia Indonesia yang berusaha menghindari kejadian-kejadian itu sebagai “yang dilakukan seseorang”. Kejadian ini bukannya untuk dihindari, melainkan harus disadari dan dengan kesatria berani meminta maaf atas kesalahan masa lalu tersebut.

Banyaknya organisasi-organisasi, institusi-institusi yang memperjuangkan hak-hak manusia sekarang ini merupakan suatu fenomena yang wajar. Bahkan memang sudah seharusnya demikian. Tetapi, dalam konteks ini, yang lebih mendesak ialah memperjuangkan hak-hak manusia Indonesia untuk berpartisipasi secara sukarela, bersemangat, bersama, dalam proyek bersama tanpa adanya ketakutan. “Hak-hak asasi manusia Indonesia” ini hanya bisa diperjuangkan dan direalisasikan oleh orang-orang Indonesia sendiri. Dan suatu kebangkitan yang nyata dari proyek bersama ini telah diprakarsai hampir seratus tahun yang lalu oleh tokoh-tokoh macam Dr. Soetomo, Natsir, Sjahrir, dsb.

Sekali lagi, kebangkitan kehidupan bangsa yang sesungguhnya akan membutuhkan suatu pemeriksaan menyeluruh atas sistem pemerintahan, terutama dalam kebijakan otonomi daerah. Dibutuhkan pula pertumbuhan budaya politik yang sehat dan ksatria serta penghilangan sadisme dan gangsterisme. Lalu diperlukan adanya cinta, cinta yang sebenarnya, bagi institusi-institusi nasional. Terakhir, yang dibutuhkan ialah rasa malu. Malu bila negaranya melakukan kejahatan, termasuk bagi mereka yang memusuhi teman sebangsanya. Meskipun dia sendiri tidak melakukan hal itu atau sesuuatu hal buruk yang lain, sebagai anggota dari proyek bersama, dia akan merasa tersangkut secara moral dalam segala sesuatu yang dilakukan dalam nama proyek bersama tersebut. Politik rasa malu seperti ini baik dan selalu dibutuhkan. Jika pandangan akan rasa malu ini dapat berkembang secara sehat di Indonesia, orang-orang Indonesia akan memiliki dorongan untuk menghadapi horor dari era orde baru tidak sebagai yang “dilakukan seseorang”, tetapi sebagai sebuah beban bersama.