Pernahkah kita menghitung dengan sadar, berapa kertas yang kita gunakan setiap harinya? Atau, berapa helai tissue yang langsung kita buang setelah sekali dipakai? Atau pernahkah terpikir berapa banyak barang di sekitar kita yang menggunakan kertas sebagai bahan dasar pembuatannya? Akhirnya, pernahkah kita membayangkan kita hidup sama sekali tanpa menggunakan kertas dalam bentuk atau wujud apapun?
Tidak bisa disangkal bahwa industri pulp dan kertas turut menyumbang cepatnya proses deforestasi di Indonesia. Industri yang berkembang pesat sejak tahun 80-an ini mencapai kapasitas 6 juta ton per tahun. Dalam hitungan kasar saja, untuk mencapai kapasitas produksi itu dibutuhkan bahan mentah setidaknya 30 juta meter kubik kayu. Sekitar 70 persen kayu yang digunakan industri pulp dan kertas berasal dari kayu tropis keras dan hanya sebagian kecil yang berasal dari pohon akasia, yang mestinya ditanam sendiri di lahan konsesi. Masalahnya, sebagian besar kayu tropis itu didapat dari pohon yang mereka tebang saat membersihkan lahan. Ketika pasokan ini makin berkurang, banyak industri pulp dan kertas menadah kayu hasil curian pembalakan liar.
Perubahan alam akibat perilaku manusia telah mengakibatkan degradasi kualitas dan kuantitas lingkungan hidup secara keseluruhan. Lahan yang semula berupa hutan dan sawah dengan keanekaragaman hayati di dalamnya, berubah menjadi kota dengan gedung-gedung tinggi atau menjadi lahan budidaya suatu jenis tanaman tertentu. Indonesia yang dulu dijuluki zamrud khatulistiwa karena hutan tropisnya yang kaya dan terbesar di dunia kini, menurut Guinness Book of Records, dicatat sebagai negeri penghancur hutan tercepat di dunia. Menurut Badan Pangan Dunia (FAO), Indonesia menghancurkan kira-kira 51 kilometer persegi hutan setiap hari, setara dengan hancurnya 300 lapangan bola setiap jam. Tercatat, Indonesia – bersama Papua Nugini dan Brasil – mengalami kerusakan hutan terparah sepanjang kurun 2000-2005, dengan angka deforestasi mencapai 1,8 juta hektare per tahun.
Menurut Greenpeace, dalam separuh abad terakhir Indonesia telah kehilangan separuh hutannya. Kayunya ditebang, dibakar, atau dijadikan bubur kertas. Lalu tanahnya berubah menjadi perkebunan, terutama kelapa sawit atau dibiarkan begitu saja. Kelapa sawit? Ya, rupanya kelapa sawit menjadi tanaman utama pengganti lahan-lahan yang sebelumnya dipenuhi dengan hutan. Hutan gambut dihabisi oleh pembalakan, pengeringan, dan pembakaran untuk memberi tempat bagi perkebunan kelapa sawit. Di beberapa tempat, hutan gambut yang kedalamannya mencapai 12 meter itu dibuka dan dibakar. Maka, dalam hitung-hitungan matematis, terlepaslah dua miliar gas karbondioksida yang berbahaya ke udara. Gas ini berbahaya karena seperti ledakan bom karbon yang menyumbang 20 persen dari emisi gas rumah kaca, termasuk menyumbang ke memburuknya perubahan iklim.
Lalu, apa itu deforestasi? Deforestasi diartikan sebagai upaya mengubah fungsi area hutan menjadi bukan hutan. Deforestasi di Indonesia sebagian besar merupakan akibat dari suatu sistem politik dan ekonomi yang korup, yang menganggap sumber daya alam khususnya hutan, sebagai sumber pendapatan yang harus dieksploitasi untuk kepentingan politik dan kebutuhan pribadi, yang nyatanya memang sangat berharga dan menguntungkan. Deforestasi berkaitan erat dengan yang namanya degradasi, dan degradasi sendiri adalah suatu penurunan kualitas hutan karena perubahan yang terjadi. Kerusakan hutan karena deforestasi sehingga menyebabkan degradasi, rupanya sudah menjadi fenomena umum dan terjadi di semua negara yang memiliki sumberdaya hutan. Hanya saja derajat kerusakannya berbeda-beda antar negara yang satu dengan negara lainnya. Tingkat kerusakan sangat ditentukan bagaimana kebijakan pemerintah tentang pemanfaatan sumber daya hutan, khususnya kebijakan penggunaan lahan untuk penggunaan lainnya.
Di sisi lain, deforestasi dan degradasi berkaitan erat dengan pola konsumsi manusia yang semakin lama semakin besar tanpa diimbangi pola pemulihan hutan yang harusnya juga dilakukan bersamaan. Karena ketidakseimbangan atau kesenjangan antara ‘pasak dan tiang’ – antara tuntutan konsumsi yang sangat besar dengan kemampuan alam untuk menyediakan dan memulihkan diri – maka menyebabkan alam sebagai ‘tiang’ menjadi pihak yang (selalu) kalah. Dalam konteks Indonesia, ketidakseimbangan ini terjadi karena Indonesia telah mendorong suatu kebijakan ekspansi yang agresif dalam sektor hasil-hasil hutan tanpa mengindahkan pasokan yang berkelanjutan dalam jangka panjang. Memang pada awalnya pemanfaatan hutan dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya akan memberikan kontribusi yang signifikan bagi pendapatan daerah maupun juga pusat. Tetapi, karena dampak atau kerusakan lingkungan yang ditimbulkan tidak diperhitungkan, maka eksploitasi hutan dan segala yang terkandung di dalamnya cenderung berlebihan yang pada akhirnya malah akan berbalik menjadi beban atau biaya pembangunan yang akan jauh lebih besar dibandingkan kontribusi yang didapat di awal. Dengan kata lain, kebijakan yang diambil selama ini hanya berorientasi pada keuntungan ekonomi yang sifatnya jangka pendek tanpa mengindahkan usaha pemulihan dan akibat yang ditimbulkan dalam jangka panjang. Dan seperti sudah disinggung di atas, Indonesia sendiri sebenarnya sudah lama mengalami ketidakseimbangan struktural antara permintaan dengan pasokan, dan kekurangan itu sebagian besar dipenuhi dari kayu yang diperoleh secara ilegal atau pembalakan liar (illegal logging). Kalau sudah seperti ini, apakah ini berarti bumi (baca: hutan) Indonesia sudah berada dalam tahap the beginning of the end, kalau tidak menyebutnya sebagai ‘kadaluwarsa’?
Kerusakan Alam: Sebuah Ironi
Manusia sama sekali tidak bisa terlepas dari alam dan segala isinya. Martin Bubber dalam
Ich und Du (1923) mengatakan bahwa manusia adalah being-in-the-world sekaligus juga being-with-others. Eksistensi (manusia) tidak bisa dipisahkan dari dunia karena eksistensi (manusia) adalah ‘being-in-the-world’ atau ‘ada-dalam-dunia’. Di sisi lain, manusia hidup bersama dengan manusia yang lain, berinteraksi dengan manusia lain. Maka eksistensi manusia ialah ‘being-with-others’ atau ‘bersama-dengan-yang-lain’. Singkatnya, eksistensi manusia dibentuk karena dia ada di dalam dunia sekaligus karena ke-ada-nya diterangkan bersama ada-nya yang lain.
Manusia mulai hidup berdampingan bersama dengan alam selama kurang-lebih 2 juta tahun. Rupanya umur manusia yang sudah sekitar 2 juta tahun itu masih belum ada apa-apanya dibandingkan umur bumi yang ternyata sudah 50 miliar tahun dan diperkirakan masih akan terus hidup hingga 5 miliar tahun ke depan. Mengapa sampai 5 miliar tahun? Pada saat itu matahari membengkak 25 kali lipat dibanding sekarang dan menjadi bola raksasa merah yang mendidihkan segala air di bumi menjadi uap lebih dari 500 derajat celcius. Tentu bumi ini tertelan habis oleh bola raksasa matahari dan ikut musnah bersama planet-planet di dekat matahari yang sudah lebih dahulu musnah.
Melihat angka-angka yang luar biasa itu rasanya terlalu cepat bila dikatakan bahwa bumi sekarang ini sudah memasuki tahap the beginning of the end. Tetapi, melihat proses pengrusakan yang sedang dan masih berlanjut hingga detik ini, maka evolusi manusia yang menghantar manusia dari homo habilis (manusia terampil) menjadi homo sapiens (manusia bijak) hingga seperti sekarang ini tak lain hanya menghantar manusia pada kehancurannya sendiri. Eksploitasi hutan yang tak terkendali disertai berbagai akibat yang ditengarai ditimbulkan olehnya, yakni seperti terjadinya pemanasan global (global warming), hanyalah salah satu bukti bahwa alam sepertinya sudah tidak mampu lagi menanggung intervensi manusia. Apabila eksploitasi manusia yang tak terkendali masih akan terus seperti ini, maka manusia memang sedang dalam perjalanan menuju the beginning of the end. Manusia sedang melakukan bunuh diri tanpa ia sadari. Maka di titik ini sudah selayaknya kita bertanya pada diri kita masing-masing: di manakah manusia bijak atau homo sapiens itu?
Kemutlakan Menjaga Hutan Dalam Kerangka Keadilan
Manusia tidak bisa lepas dari tumbuhan (baca: hutan). Di tingkat pendidikan dasar sudah diajarkan bahwa untuk bernapas manusia butuh oksigen (O2) dan mengeluarkan karbondioksida (CO2). Oksigen dihasilkan oleh tumbuhan sebagai hasil dari proses fotosintesis tumbuhan di mana proses ini membutuhkan karbondioksida dan air serta dibantu cahaya matahari. Maka, dalam konteks ini menjaga kelestarian hutan adalah suatu hal yang mutlak harus dilakukan manusia. Harmonisasi yang sudah tercipta antara alam dan manusia adalah hubungan mutualisme, bahkan saling bergantung. Bila hutan, sebagai paru-paru dunia (baca: manusia) rusak atau bahkan musnah, tentu tak lama lagi manusia pun juga akan menuju kemusnahan. Akan tetapi, seperti yang telah kita lihat di awal, tak bisa dipungkiri bahwa sebagian besar kebutuhan konsumsi manusia dipenuhi dan dibuat dari kayu yang berasal dari hutan. Atau, lahan yang dulunya dipakai untuk hutan beralih menjadi perkebunan demi memenuhi kebutuhan manusia yang lain.
Problematika kerusakan hutan yang semakin parah dengan pemenuhan kebutuhan manusia bisa dilihat dengan prinsip utilitarisme. Utilitarisme adalah salah satu dari sekian banyak prinsip etika. Prinsip ini bermaksud mendorong manusia untuk selalu bertindak sedemikian rupa sehingga menghasilkan akibat baik sebanyak mungkin dan sedapat-dapatnya mengelakkan akibat buruk. Secara singkat, utilitarisme dapat dinyatakan dalam usaha mewujudkan greatest happiness for greatest numbers.
Hutan dengan segala keanekaragaman hayati yang terkandung di dalamnya jelas memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Selain karena kebergantungan pemenuhan kebutuhan manusia pada hutan, banyak orang yang juga menggantungkan hidupnya pada hutan, baik itu secara legal maupun ilegal. Kita bisa mengambil suatu contoh kecil dari pembalak liar di Riau. Taruhlah satu kelompok pembalak liar terdiri dari 7 orang. Bila mereka rata-rata memperolah 4,5 meter kubik kayu per hari dengan harga sekitar Rp 400 ribu-Rp 450 ribu per meter kubik, maka para pekerja itu rata-rata mengantongi Rp 75 ribu hingga Rp 100 ribu per hari. Itu baru hitung-hitungan kasar dalam 1 kelompok yang beroperasi di satu lokasi. Tentu realitanya tidak sesederhana itu. Itu belum termasuk kenyataan bahwa satu kawasan atau dusun sedikitnya terdapat 7 lokasi penebangan liar dengan beberapa kelompok yang lain. Juga belum ditambah dengan mereka yang bekerja di pengilangan kayu (sawmill). Pun belum ditambah dengan mereka yang tidak terhubung langsung dengan pembalakan liar tetapi ikut menikmati uang yang berputar di
Kalau melihat hutan secara makro, maka permasalahan ini tidak hanya menyangkut manusia yang ada dan mendiami suatu daerah tertentu ataupun bagi mereka yang terlibat secara langsung saja. Dampaknya pun bisa jadi tidak dirasakan secara langsung. Bila memang berakibat negatif, dampak itu akan dirasakan pelan-pelan dalam skala yang lebih luas, bahkan seluruh dunia. Dan para peneliti sekarang meyakini bahwa pemanasan global (global warming) merupakan salah satu akibat yang disebabkan eksploitasi hutan yang berlebihan. Lihat saja banyak petani yang mengeluh karena hujan datang terlambat dan panjangnya musim kering. Atau lihat pula waduk di banyak daerah seperti Waduk Kedungombo di Kabupaten Boyolali, atau Waduk Dawuhan di Kabupaten Madiun yang menyusut airnya ketika musim kemarau tiba. Masih segar dalam ingatan ketika air pasang menenggelamkan Jalan Tol Sedyatmo – jalan tol yang menghubungkan
Utilitarisme mengakui keabsahan akan adanya kebutuhan umat manusia yang lebih besar harus dipenuhi. Tetapi, pada diri kita akan muncul pertanyaan berikut. Apakah itu adil? Apakah adil membuat penghasilan banyak orang yang bergantung pada sektor kehutanan terpangkas begitu saja? Apakah adil bila diterapkan suatu aturan yang begitu sja melarang siapapun untuk memasuki kawasan hutan lindung, termasuk masyarakat adat tertentu sekitar hutan sebagai pemilik tanah ulayat. Pertanyaan itu menunjukkan satu kelemahan besar utilitarisme, yaitu tidak adanya jaminan akan keadilan. Sebabnya, tidak ada aturan tentang bagaimana mencapai akibat baik. Utiliarisme tidak mengatakan kewajiban untuk mencapai akibat baik dalam cara yang adil.
Kombinasi utilitarisme dan keadilan tepat untuk menyikapi permasalahan usaha pemulihan alam yang mendesak dengan keberlangsungan hidup dan kebutuhan manusia. Hutan sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia. Hutan adalah paru-paru dunia. Tetapi dari hutan pula banyak orang bergantung sekaligus banyak kebutuhan manusia dipenuhi dari
Karena peran vital hutan bagi kehidupan manusia dan ditambah dengan konsekuensi yang demikian besar bila mengabaikannya, maka sudah selayaknyalah fungsi hutan dikembalikan pada tempatnya. Ini berarti sudah saatnya pembagian fungsi hutan menurut klasifikasinya benar-benar harus ditaati. Hutan lindung memang benar-benar untuk hutan lindung, hutan konservasi memang sebagai hutan konservasi, atau hutan produksimemang benar-benar dimanfaatkan untuk bahan
Lalu bagaimana dengan kita? Banyak hal yang mulai bisa kita lakukan dari sekarang. Kita bisa mulai dengan menanam dan merawat tanaman di sekitar kita. Syukur bila ada pohon di halaman rumah kita. Bila tidak pun kita masih bisa menanam tanaman dalam pot. Dalam skala yang lebih luas, kita bisa mulai aktif dalam berbagai gerakan atau kampanye yang bertujuan melestarikan hutan
Pustaka
Macquarrie, John, Existentialism,
Majalah Tempo, edisi 3-9 Desember 2007.
Mangunwijaya, Y. B. Manusia Pascamodern, Semesta, dan Tuhan. Yogyakarta: Kanisius, 1999.
Ratnaningsih, Maria, Pembangunan dan Dampaknya Terhadap Lingkungan, dalam Basis, no. 05-06, tahun ke-56, Mei-Juni 2007.
Supelli, Karlina, Sesudah Roda Berputar, dalam Basis, no. 03-04, tahun ke-57, Maret-April 2008.
Pustaka elektronik
http://pdf.wri.org/sof_indo_chap3.pdf, diakses pada 26 Oktober 2008.
N. Arya Dwiangga Martiar