Friday, 5 December 2008

PERJALANAN TAN MALAKA (1897-1949) Menuju Revolusi Total Manusia Indonesia dalam Madilog

Storm ahead!
Don’t lose your head
(Tan Malaka)


Nama Tan Malaka kembali mencuat akhir-akhir ini. Nama yang mungkin dianggap kontroversial, identik dengan aliran kiri, sering dihubungkan dengan PKI yang merupakan musuh orde baru, dan sekaligus sebagai sosok yang misterius karena tak banyak literatur yang secara lengkap membahasnya. Ia memiliki 23 nama palsu, hidup dalam pelarian di 11 negara, dan diburu polisi rahasia Belanda, Jepang, Inggris, dan Amerika Serikat. Tetapi, dialah sebenarnya tokoh pertama yang menulis gagasan berdirinya Republik Indonesia. Muhammad Yamin menjulukinya “Bapak Republik Indonesia”. Bahkan Bung Karno sendiri menulis dalam testamennya: “…jika saya tiada berdaya lagi, maka saya akan menyerahkan pimpinan revolusi kepada seorang yang telah mahir dalam gerakan revolusioner, Tan Malaka..”.
Tulisan sederhana ini akan dimulai dengan melihat siapa dan bagaimana perjalanan hidup Tan Malaka dengan penekanan pada peran serta Tan Malaka menuju proklamasi (1), lalu akan dilihat bagaimana sejarah penulisan Madilog (2), kemudian akan coba diurai pandangan Tan Malaka mengenai beberapa konsep penting dalam Madilog untuk membentuk Indonesia merdeka yang sosialis (3), dan terakhir ditutup dengan sebuah simpulan. Tulisan ini bukanlah sebuah analisis ilmiah dengan metode yang ketat, melainkan lebih merupakan sebuah uraian deskriptif dengan tujuan agar memahami salah satu pemikirannya sebagai tokoh revolusioner sekaligus mengenalnya sebagai salah seorang founding fathers negara kita tercinta.

Riwayat Tan Malaka, pejuang revolusioner
Tan Malaka yang bergelar Sutan Ibrahim atau Ibrahim Datuk Tan Malaka lahir pada 2 Juni 1896 di Nagari Pandan Gadang, Suliki, Payukumbuh, Sumatera Barat. Tan Malaka pernah mengenyam pendidikan di Kweekchool atau sekolah guru di Bukittinggi pada 1907-1913. Setelah itu Tan melanjutkan sekolah ke Rijks Kweekschool, Haarlem, Belanda. Pada 1916, Tan pindah ke Bussum. Kepindahannya ke Bussum membuatnya tersadar bahwa hidup tak sekadar penjajah dan terjajah. Di kota ini ia menemukan pola hidup borjuis yang berkebalikan dengan proletar. Dia merasakan perbedaan yang mencolok antara kehidupannya di Haarlem bersama sebuah keluarga proletar dengan kehidupannya di Bussum. Di situlah Tan mulai berkenalan dengan sosialisme. Revolusi Komunis yang meledak di Rusia pada Oktober 1917 juga memberi keyakinan padanya bahwa dunia sedang beralih ke sosialisme. Berbagai gagasan baru tentang bagaimana seharusnya bangsa Indonesia dibangun bersliweran di benaknya. Pada November 1919 Tan kembali dari Haarlem, Belanda, dan menjadi guru sekolah rendah di perkebunan teh milik Belanda. Pada saat itu cita-citanya cuma satu, yaitu mengubah nasib bangsa Indonesia.
Pada 1921 Tan pergi ke Semarang dan bergabung dengan Sarekat Islam. Di Semarang, Tan aktif menyatukan gerakan komunis dengan Islam untuk menghadapi imperialisme Belanda. Ketika terdapat silang pendapat dalam Kongres II Partai Komunis Indonesia pada 25 Desember 1921 antara Partai Komunis dengan beberapa tokoh Sarekat Islam mengenai Pan-Islam, Tan menjadi penengah di antaranya. Katanya, “ Kalau perbedaan Islamisme dan komunisme kita perdalam dan kita lebih-lebihkan, kita memberikan kesempatan kepada musuh yang terus mengintai untuk melumpuhkan gerakan Indonesia”. Pendapat Tan ini didukung oleh Kiai Hadikusumo yang berpendapat bahwa mereka yang memecah-belah persatuan rakyat berarti bukan muslim yang sejati. Karena kiprahnya yang menentang imperialisme Belanda, sebagai ketua Partai Komunis yang baru terpilih, Tan dibuang ke Amsterdam pada 1 Mei 1922.
Kendati sudah jauh dari Indonesia, Tan tetap mengampanyekan aliansi komunis-Islam. Tan pernah menjadi calon anggota parlemen nomor 3 di Partai Komunis Belanda dan sempat melamar menjadi legiun asing di Jerman meski kemudian ditolak. Di Berlin Tan bertemu Darsono, salah seorang pentolan Partai Komunis Indonesia. Tan juga sempat bertemu Vladimir Lenin, Josep Stalin, dan Leon Trotsky, yang dianggap sebagai “dewa” komunisme yang menggerakkan kaum revolusioner dunia dari Moskow. Ketika mewakili Partai Komunis Indonesia sebagai penasihat dalam Konferensi Komunis Internasional IV (Komintern) di Petrograd, Rusia, pada November 1922, Tan meminta mereka meralat sikap atas Pan-Islam. Menurut Tan, Pan-Islam merupakan perjuangan seluruh bangsa muslim merebut kemerdekaan. “Jadi bukan hanya perjuangan kemerdekaan terhadap kapitalisme Belanda, tetapi juga Inggris, Perancis, dan kapitalisme di seluruh dunia,” demikian katanya ketika mendapat giliran untuk berpidato. Akan tetapi, usaha Tan gagal. Akhirnya perpecahan tak dapat dicegah. Kelompok Islam di Sarekat memaksa “orang-orang kiri” keluar dari partai. Kelompok pecahan ini kemudian menjadi Sarekat Islam Merah, yang terafiliasi dengan Partai Komunis.
Di Rusia, Tan diangkat sebagai Wakil Komintern untuk Asia Timur di Kanton (kini Guangzhou) dan pindah ke sana pada Desember 1923. Namun Kanton adalah tempat istimewa karena menjadi pusat gerakan revolusi Cina. Di situ pulalah tinggal Sun Yat Sen, pemimpin Kuomintang yang pada 1912 mendeklarasikan Republik Cina Selatan. Tan pernah mengunjungi Sun Yat Sen sembari tetap membina hubungan dengan para tokoh Kuomintang dan orang-orang komunis di Kanton. Pada Juni 1924, Tan mendapat perintah dari Moskow untuk hadir pada Konferensi Serikat Buruh Merah Internasional di kota itu. Konferensi ini hendak menggalang gerakan para pelaut dan buruh pelabuhan di kawasan Pasifik. Pada hari terakhir, Tan didaulat menjadi Ketua Organisasi Buruh Lalu Lintas Biru Kanton yang baru didirikan. Dengan segala keterbatasan sarana maupun bahasa, Tan bisa menerbitkan majalah The Dawn, sebuah majalah “merah bagi pelaut, dan menulis buku Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) pada 1925. Pada waktu itulah Tan menerima kabar bahwa ayahnya, Rasad, meninggal.
Pada Juni 1925 Tan menyelundup ke Manila untuk penyembuhan sakit paru-parunya, meski permohonannya untuk pulang ke Jawa ditolak oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Fock. Dengan memakai nama samaran Elias Fuentes, Tan bekerja sebagai koresponden El Debate. Awal 1926 Tan masuk ke Singapura dengan memakai nama Hasan Gozali dan berasal dari Mindanao. Di sini, ia menulis buku Massa Actie, buku yang dikutip Bung Karno dalam pleidoinya Indonesia Menggugat dan masuknya kalimat “Indonesia tanah tumpah darahku” ke dalam lagu Indonesia Raya yang diambil dari bagian akhir buku tersebut oleh W. R. Supratman. Ketika berada di Bangkok Tan mendirikan Partai Republik Indonesia pada Juli 1927. Tak sampai 2 tahun. Tan ditangkap polisi Filipina yang berada di bawah kendali intel Amerika, Belanda, dan Inggris. Saat itu juga ia diusir dan dititipkan di Suzanna dengan tujuan Pulau Amoy di China.
Turun di Amoy (kini Xiemen), Tan berkelana ke berbagai tempat. Pada 1930, Tan masuk Shanghai dengan menyamar sebagai Ossario, wartawan Filipina untuk majalah Bankers Weekly. Ketika keadaan kacau balau karena terjadi bentrok antara angkatan bersenjata Kwangtung, Cap Kau Loo, dengan tentara Jepang di Shanghai pada 1932, Tan dengan menggunakan nama Ong Song Lee menyingkir ke Hongkong. Di Hongkong, Tan ditangkap oleh polisi Hongkong dan ditahan di sana selama 2 bulan. Ketika akan dibuang ke Shanghai, Tan berhasil meloloskan diri dan tinggal di Amoy. Sambil terus bersembunyi, Tan mendirikan Sekolah Bahasa Asing. Ketika Jepang menyerang Amoy pada 1937, Tan pergi menuju Rangoon, Burma dengan menggunakan nama Mi Siong, seorang Thionghoa terpelajar. Tan tiba di Rangoon pada 31 Agustus 1937. Sebulan di Rangoon, ia kembali ke Singapura. Di sana, ia mengajar bahasa Inggris dan matematika di sebuah sekolah Thionghoa. Ketika Jepang menyerbu, Tan pulang ke Indonesia melalui Penang pada Mei 1942. Dari Penang, pada 10 Juli 1942, Tan berlayar ke Medan dengan mengaku sebagai Legas Hussein.
Mulai dari Medan, Tan memulai petualangannya menuju tanah Jawa. Dia sempat mampir ke Padang dengan mengaku sebagai Ramli Hussein dan baru melanjutkan perjalanannya ke Lampung. Pada Juli 1942, Tan tiba di Jakarta dan tinggal di daerah Rawajati. Di sinilah ia menulis Madilog dan Aslia. Pada 1943, Tan menjadi kerani di pertambangan batu bara di Bayah, Banten dan menggunakan nama Ilyas Husein. Sebagai Hussein, Tan pernah muncul di hadapan Chaerul Saleh, B. M. Diah, Anwar, Sukarni dan Harsono Tjokroaminoto di awal Juni 1945 untuk menyampaikan analisisnya mengenai kemerdekaan dan politik saat itu. Setelah mendengar analisis Hussein, Sukarni makin mantap bahwa proklamasi harus segera diumumkan. Hussein, yang adalah Tan Malaka, terlibat rapat rahasia dengan para pemuda Banten di Rangkasbitung. Dalam pertemuan itu Hussein mengobarkan pidato yang menggelora. “Kita bukan kolaborator!” katanya. “Kemerdekaan harus direbut kaum pemuda, jangan sebagai hadiah.” Kekalahan Jepang, menurutnya, tinggal menunggu waktu. Bila Soekarno-Hatta tidak mau menandatangani, Hussein atau Tan memberikan jawaban yang tegas: “Saya sanggup menandatanganinya, asal seluruh rakyat dan bangsa Indonesia menyetujui dan mendukung saya.” Meski demikian, Hussein tidak tahu bahwa Sukarni dan Chaerul akan menculik Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok. Aksi itu dilakukan karena Soekarno-Hatta bersikeras proklamasi dilakukan melalui PPKI. Sedangkan pemuda ingin merdeka tanpa campur tangan Jepang. Setelah perdebatan yang alot, Soekarno-Hatta bersedia meneken naskah proklamasi yaang besoknya dibacakan di pekarangan rumah Soekarno di Pegangsaan Timur 56. Tan sendiri tidak tahu ada proklamasi. Ia tahu setelah orang ramai membicarakannya di jalan-jalan. Terbatasnya peran Tan itu sungguh ironis. Padahal Tan adalah orang Indonesia pertama yang menggagas konsep republik dalam buku Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) yang ditulisnya pada 1925 yang juga merupakan pegangan politik tokoh pergerakan, termasuk Soekarno. Tan juga tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya. “Rupanya sejarah proklamasi 17 Agustus tidak mengizinkan saya campur tangan, hanya mengizinkan campur jiwa saja. Ini sangat saya sesalkan! Tetapi sejarah tidak mempedulikan penjelasan seorang manusia atau segolongan manusia.”
Setelah proklamasi Tan tetap berhubungan dengan tokoh-tokoh pemuda, termasuk ketika ia pindah ke Kampung Cikampak, 18 kilometer sebelah barat Bogor, pada pekan kedua bulan September. Ketika pemuda terus bergerak dan mengadakan kegiatan seperti berdemonstrasi, mengibarkan bendera merah-putih di mana-mana, dan melakukan propaganda dengan menuliskan semboyan-semboyan agar menarik perhatian dunia, Soekarno mendengar kemunculan Tan. Para pemuda sendiri mendapat kuliah dari Tan tentang perjuangan revolusioner. Di Jakarta, kelompok pemuda menggelar rapat. Mereka menyiapkan demonstrasi pada 17 September – tepat sebulan setelah proklamasi. Pamflet aksi disebar di mana-mana untuk menarik massa. Pada hari yang ditentukan, 19 September, sekitar 200 ribu orang berbondong-bondong datang ke Lapangan Ikada di bawah bidikan senapan mesin Jepang. Soekarno akhirnya memutuskan datang untuk menenteramkan rakyat yang sudah menunggu berjam-jam. Di mimbar Soekarno berpidato 5 menit. Ia meminta rakyat tetap tenang dan percaya pada pemerintah, yang akan mempertahankan proklamasi. Massa diminta pulang, dan setelah itu barisan bubar meninggalkan lapangan. Hasil demonstrasi itu menyesakkan Tan. Pidato itu, katanya, tidak menggemborkan semangat berjuang.” Tidak mencerminkan massa aksi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.”
Pada 1 Januari 1946, Tan menggalang kongres Persatuan Perjuangan untuk mengambil alih kekuasaan dari tentara sekutu. Keteguhan Tan yang gencar menentang perundingan berujung penjara. Bersama dengan Sukarni, Chaerul Saleh, Muhammad Yamin, dan Gatot Abikusno, Tan ditangkap di Madiun pada 17 Maret 1946 dengan tuduhan bahwa Persatuan Perjuangan hendak melakukan kudeta. Mereka ditahan terpisah, dipindah dari satu penjara ke penjara yang lain di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pada Juni 1948 Tan dan Sukarni dipindah ke penjara di Magelang. Di sini Tan menulis buku Dari Penjara ke Penjara. Pada 16 September 1948 Tan dibebaskan. Di Yogyakarta, bersama dengan Sukarni Tan mendirikan Partai Murba pada 7 November 1948. Setelah Tan bebas, Maruto, seorang yang duduk di Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat di Yogyakarta, mengatur pertemuan Tan dengan Jenderal Soedirman. Kepada Pak Dirman, Tan mengatakan akan bergerilya ke Jawa Timur untuk melawan agresi Belanda. Soedirman lalu memberinya surat pengantar dan satu regu pengawal. Surat dari Soedirman itu diserahkan ke Panglima Divisi Jawa Timur Jenderal Sungkono. Oleh Sungkono, Tan dianjurkan untuk bergerak ke Kepanjen, Malang Selatan. Tapi, ia memutuskan pergi ke Kediri. Di sinilah Tentara Republik Indonesia menangkap dan mengeksekusi Tan pada 21 Februari 1949 di desa Selopanggung karena dituduh melawan Soekarno-Hatta.

Sejarah Madilog
Madilog menurut Tan Malaka ditulis di Rawajati dekat pabrik sepatu Kalibata, Cililitan, Jakarta. Proses penulisan itu terjadi kurang-lebih 8 bulan, antara 15 Juli 1942 sampai dengan 30 Maret 1943. Ia memerincinya lebih detil, buku itu ditulis 720 jam, dengan rata-rata 3 jam setiap harinya. Ketika menulis Madilog Tan Malaka telah menyelesaikan karyanya Gabungan Aslia. Buku ini sempat lolos dari penggeledahan polisi Jepang. Ketika menjadi mandor buruh di pertambangan batu bara, Bayah, Banten Selatan, ia membawa serta Madilog-nya. Bahkan ketika ia ikut romusha di Jawa Tengah, buku itu ikut juga. Madilog yang selesai ditulisnya tahun 1943 baru muncul tiga tahun kemudian. Sedangkan kata pengantar buku yang ditulisnya di Lembah Bengawan Solo 15 Maret 1946 menjadi saksi bisu perjalanan buku penting tersebut.
Tan Malaka menulis Madilog saat pemerintahan Jepang menguasai semua musuh dengan pedang terhunus dan bahkan sering kehilangan kesabaran terhadap pekerja bangsa Indonesia. Dalam situasi yang demikian, ia tak memiliki lawan bicara dari kalangan organisasi politik berdasarkan ke-proletariat-an. Ia memang berada dekat dengan keluarga, yaitu di tengah-tengah rakyat jelata Indonesia. Tetapi keadaan dan paham ideologisnya membuat ia berdiam di tengah masyarakat yang sering menyebut-nyebut namanya tetapi tidak mengenal bagaimana wajahnya.
Pengalaman empiris Tan Malaka yang menyaksikan kuli-kuli tidak berdaya tanpa seorang pun membela atau peduli dengan mereka terhadap eksploitasi sistem kapitalis di Asia, Eropa, dan terutama di tanah airnya, serta ditambah dengan pengetahuannya yang luas akan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, mendorongnya untuk menghasilkan konsep-konsep yang tidak teoritis, teknokratis dan absurd. Keunggulan budinya terungkap dengan tulisannya, “Maksud tulisan saya yang ringkas ini bukanlah buat pengganti buku yang masih ditulis itu, maksudnya cuma buat petunjuk atau ajakan. Saya bagaimanapun juga tak bisa lebih berlaku daripada itu. Karena kekurangan bahan bukti...,. Pembaca janganlah gusar kalau ada yang kurang. Melainkan haruslah bertambah giat buat mempelajari dari sumber asli atau sumber turunan yang diakui. Dan tetapi dari masa sekarang sudahlah cukup buat otak dan hati kita…,.”
Kepada pembaca Tan Malaka memberikan beberapa peringatan. Pertama, istilah materialisme, dialektika dan logika memiliki bidang dan cakupannya sendiri dan memiliki batas-batas tertentu pula. Bahkan penafsiran mengenai bidang-bidang tersebut bisa berbeda. Kedua, logika menurutnya memuncak dalam ilmu bukti (sains). Perkembangan materialisme dialektika di Eropa menurutnya memberi tantangan bagi logika. Sementara orang Timur yang masih diselimuti mistik, logika masih merupakan hal yang baru. Ia sendiri mencoba mengaitkan bahwa antara materialisme-dialektika dan logika memiliki keterikatan satu sama lain. Dan yang ketiga ialah bahwa Madilog terutama merupakan cara berpikir.

Pandangan dalam Madilog
Di antara sekian banyak buku Tan Malaka, Madilog yang boleh dianggap sebagai opus magnum-nya pantas mendapat perhatian khusus. Dalam Madilog ia memaparkan cita-citanya bagi Indonesia. Meskipun sebagian besar isinya mengikuti materialisme dialektik Friedrich Engels (sahabat karib Karl Marx yang memperlengkap filsafat sosialis Karl Marx dengan filsafat alam dan ontologi materialis yang kemudian akan menjadi semacam dasar filosofis marxisme-leninisme), Madilog bukan semacam “ajaran partai” atau “ideologi protelariat”, melainkan cita-cita dan keyakinan Tan Malaka sendiri. Sangat mencolok bahwa Madilog bebas sama sekali dari nada tidak sedap buku-buku marxisme-leninisme. Madilog bebas dari segala bau ideologis, bebas dari jargon ortodoksi partai yang tahu segala-galanya. Madilog adalah imbauan seorang nasionalis sejati pada bangsanya untuk keluar dari keterbelakangan dan ketertinggalan. Seperti tulisnya: “Madilog ialah cara berpikir berdasarkan Materialisme, Dialektika dan Logika buat mencari akibat, yang berdiri atas bukti yang cukup banyaknya dan cukup eksperimen dan diamati. Madilog bukanlah barang yang baru dan bukanlah buah pikiran saya. Madilog ialah pusaka yang saya terima dari Barat…,. Saya, dengan buku ini mempersilahkan mempelajari cara dunia Barat dengan rendah hati sebagai murid yang jujur dan mata terbuka”.
Menurut refleksi Tan Malaka, pada waktu itu sebenarnya Indonesia yang sejati belum muncul dari tenggelamnya selama berabad-abad. Ketika ia baru kembali ke Indonesia, ia mencoba mengamati bagaimana perkembangan terakhir bangsa ini selama dua puluh tahun terakhir semenjak kepergiannya. Rupanya, proses pencerahan dari keterkungkungan tersebut telah ditemukannya mencuat keluar dari pemikiran dua tokoh besar, Soekarno dan Hatta. Tulisnya, “Kedua pemimpin nasionalis sudah mulai menjalankan cita-citanya, ialah di bawah pedang samurai.” Mengenai proses pencerahan itu sendiri ia menulis dalam Madilog, “Di sini dengan jelas dan terus-terang saya mau mengatakan bahwa Madilog sama sekali dan tepat berlawanan dengan “ketimuran” yang digembar-gemborkan lebih dari mestinya, semenjak Indonesia dimasuki tentara Jepang….,. Semua barang yang hidup mesti berubah, karena semua perubahan itu menandakan hidup. Tak ada yang tetap, semuanya berubah. Yang tetap cuma ketetapan perubahan, atau perubahan ketetapan”. Dalam pandangan Tan Malaka, Indonesia yang berada di hadapannya yang masih tenggelam. Bangsa itu belum menjadi dirinya sendiri karena Indonesia belum keluar dari proses perbudakan. Perbudakan itu tidak hanya perbudakan dari kolonialisme tetapi terlebih dari mentalitas feodalisme. Dengan begitu kata kunci dari analisis Tan Malaka ialah mentalitas. Mentalitas itu menentukan pola pikir, sedangkan pola pikir atau falsafahnya menentukan pola tindak. Madilog dengan begitu mau mengikis habis pola pikir dari mentalitas lama itu menjadi pola pikir mentalitas baru.
Asumsi dasar penulisan Madilog adalah keyakinan Tan Malaka atas kekuatan proletar di Indonesia untuk merebut dan membentuk Indonesia merdeka. Namun kekuatan ini belum bisa maksimal karena pemikiran mereka masih dibelenggu berbagai macam takhayul. Tulisnya, “Banyaknya kaum proletar industri dan tani di Indonesia serta kekuatannya yang tersembunyi sebenarnya sudah cukup kuat untuk menjatuhkan kekuasaan imperialisme Belanda. Tetapi pendidikan mereka masih sangat rendah, belum pantas untuk memenuhi keperluan dan kewajiban kaumnya di hari depan. Mereka kekurangan pandangan dunia. Mereka kekurangan filsafat. Mereka masih diselimuti ilmu mistik dan takhyul….Saya amat yakin dengan kekuatan kaum proletar ini. Filsafat proletariat memang sudah ada di Barat. Tetapi menyalin semua buku dialektika materialisme Barat untuk proletar Indonesia tak akan ada gunanya. Proletar Indonesia mesti mempunyai bacaan yang bisa menjadi jembatan kepada filsafat proletariat barat. Karena otak, pena, dan bahasa yang menuliskan hal itu belum juga muncul, maka terpaksalah saya memulainya.”
Madilog terdiri dari 7 bab, masing-masing bab dibagi dalam pasal-pasal yang seluruhnya ada 44 pasal. Dalam bab VII pasal 11 yang membahas mengenai kepercayaan dibagi lagi menjadi 5 bagian. Demikian pembagiannya:
Bab I. Logika Mistik
Bab II. Filsafat
Bab III. Ilmu Bukti – Sains (6 pasal)
Bab IV. Sains (4 pasal)
Bab V. Dialektika (10 pasal)
Bab. VI. Logika (13 pasal)
Bab. VII. Pandangan tentang Madilog (11 pasal)
Bagi Tan Malaka, cara berpikir lama adalah cara berpikir dengan sifatnya yang pasrah, mudah menyerah pada nasib, dan percaya pada takhyul. Sikap itu berdasar pada pola hidup yang berdasarkan mistik dan orang semacam itu adalah orang yang tidak bisa diajak berpikir, menyerah begitu saja pada alam. Akibatnya alam dan realitas tidak diubahnya, tak percaya pada diri sendiri serta mudah dieksploitasi oleh mereka yang sudah bisa berpikir aktif-rasional. Tan Malaka menyebut yang paling mempengaruhi sikap ini adalah Hinduisme. Kesalahan pokok Hinduisme ialah mau meninggalkan materi dan hanya mencari Atman. Bentuk pendekatan spiritualisme membuat orang menjadi pasif, parah, dan irrasional dan ini paling nampak pada kebudayaan dan mentalitas Jawa yang senang dengan mistik dan harmoni.
Salah satu dasar pemikiran Tan Malaka adalah materialistik. Keberdasaran pada materia itu tanda rasionalitas. Yang real adalah yang rasional, sebaliknya yang rasional itu real. Maka, ditentangnya orang yang hanya bisa beridea, membangun dunia di atas awan-awan. Bangsa Indonesia seperti itu. Bangsa Indonesia adalah bangsa non-materialis. Tak ada semangat inisiatif, yang ada hanya sikap pasrah. Materia adalah cara berpikir yang berpangkal pada benda. Hipotesis atau ide disusun berdasar data konkret, fakta yang real terjadi dan dapat dibuktikan. Cara pikir ini disebutnya sebagai cara pikir yang realistik, pragmatis, dan fleksibel; selalu aktual, erat terkait dengan realitas. Menurut Tan Malaka, perkembangan sebuah bangsa seiring dengan kemajuan ilmu bukti atau sains-Nya. Kalau Indonesia tidak merdeka, maka ilmu bukti itu hanya akan terbelenggu pula. Meskipun Indonesia terkaya di dunia, namun kalau sains dan teknologi tidak berkembang maka ia hanya akan menjadi budak, seperti yang dialami Indonesia selama 350 tahun. Ilmu politik, ekonomi, dan sains terkait satu sama lain. Bagi Tan Malaka, bukti merupakan lantai sains di mana para ahli mendirikan gedung hukumnya. Sementara cara yang dipakainya bisa melalui induksi, deduksi, dan verifikasi. Dialektika adalah cara berpikir yang selalu dinamis, terus-menerus mencari: tesis-antitesis-sintesis. Sedangkan Logika adalah cara berpikir yang berdasarkan akal sehat. Ketiga dasar ini: materia, dialektika, dan logika adalah satu kesatuan, tak boleh dipisah-pisahkan. Menurutnya, sebenarnya Indonesia sedang menuju ke situ. Akan tetapi pengaruh Hindu sejak abad pertama masehi dan akhirnya kolonialisme Belanda membuat masyarakat yang bermentalitas feodalistik, masyarakat yang berkelas. Dengan demikian Tan Malaka melihat kekuatan ide sebagai sarana ampuh untuk perubahan masyarakat, untuk suatu revolusi. Dalam Madilog tidak disinggung mengenai perjuangan kelas. Tampaknya Madilog sebagai transformasi cara pikir dilihat sebagai yang paling ampuh untuk melakukan revolusi total.
Revolusi Tan Malaka adalah revolusi total, yakni dengan perubahan cara pikir. Menuju Indonesia merdeka tidak cukup hanya dengan revolusi sosial, ekonomi atau politik belaka. Karena penghambat bagi kemerdekaan dan pembaruan diri adalah mentalitasnya, maka yang dibutuhkan adalah suatu revolusi total. Revolusi total itu tidak hanya untuk mengusir penjajah, tetapi terlebih untuk membersihkan diri dari mentalitas feodal, pasrah, pasif dan mitis. Kaum imperialis memang bisa diusir. Tetapi bila tidak disertai dengan perubahan cara pikir, maka imperialisme gaya baru dan bentuk baru pasti akan terjadi. Masyarakat yang mau dituju ialah masyarakat yang merdeka dan sosialis, di mana bangsa, negara dan masing-masing bisa menjadi tuan atas dirinya sendiri. Dengan kata lain, manusia Indonesia harus keluar dari belenggu pembodohan dan kebodohan akibat kultur budaya yang telah meracuni otak rakyat Indonesia. Kendala budaya inilah yang menurut Tan Malaka menjadi dosa paling besar yang membuat Indonesia tertindas selama 350 tahun.

Penutup
Madilog bisa dipandang sebagai penerapan filsafat Marxisme-Leninisme. Tesis utama filsafat ini berbunyi: bukan ide/kesadaran yang menentukan keadaan masyarakat dan kedudukan seseorang dalam masyarakat, melainkan sebaliknya, keadaan masyarakatlah yang menentukan ide/kesadaran. Semenjak masa mudanya di Belanda, Tan Malaka sudah terpesona dengan Marxisme-Leninisme. Paham inilah yang menyebabkan dia berkali-kali dipenjara dan dibuang ke luar negeri. Bukan penjara dan pembuangan itu yang membuatnya menjadi seorang Marxis, melainkan sikap dan pendirian yang Marxislah yang menyebabkan dia dipenjarakan dan dibuang. Selain itu, dia pertama-tama tidak berjuang untuk kemenangan partai komunis di seluruh dunia, tetapi untuk kemerdekaan tanah airnya. Baginya perjuangan kemerdekaan harus menerapkan aksi massa seperti semboyan perjuangan di Filipina yang berbunyi immediate, absolute and complete independence ( kemerdekaan segera, tanpa syarat, dan penuh).
Sebagai sebuah pemikiran, konsepsi Tan Malaka dalam Madilog dekat dengan hukum tiga tahap Auguste Comte. Menurut Comte, manusia menjadi dewasa melalui tiga tahap: dari tahap mitos dan agama (kejadian di dunia dijelaskan dengan kekuatan-kekuatan gaib), melalui tahap metafisika (realitas dijelaskan secara filosofis), ke tahap positif di mana manusia langsung mempelajari kenyataan inderawi dengan memakai ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, pemikiran Tan Malaka masih khas optimisme abad ke-19 dulu. Walau dia dapat dikatakan penganut Marxisme-Leninisme tetapi dia tidak mau menerima ajaran itu sebagai dogma, tapi hanya sebagai petunjuk jalan untuk revolusi.
Meski demikian, nilai Madilog yang sebenarnya terletak pada yang tersirat di dalamnya, yaitu keprihatinan mendalam Tan Malaka atas keadaan bangsanya yang belum mampu berpikir rasional. Seluruh Madilog merupakan imbauan agar bangsa Indonesia mau keluar dari cara berpikir yang tidak rasional supaya ia dapat mengambil tempatnya di antara bangsa-bangsa. Dan hidup Tan Malaka menjadi falsifikasi radikal terhadap terhadap gagasan Madilog yang dikembangkannya panjang lebar dengan uraian metode-metode pendekatan ilmiah dan dalil-dalil logika. Paradoksnya: Tan Malaka seorang Marxis tulen dalam pemikiran, tapi nasionalis yang tuntas dalam semua tindakannya. Dia bukan seorang komunis apalagi ateis karena Islam tetap dianggapnya sebagai sumber hidup. Meski demikian hidupnya berakhir tragis: kehilangan kepala di negerinya sendiri sementara dia dia tak pernah kehilangan akal di berbagai negara tempatnya melarikan diri.


Daftar Pustaka
Cahyadi, T. Krispurwana, “Menuju Suatu Revolusi Total Sebuah tentang tulisan Tan Malaka Madilog” dalam Mudji Sutrisno, dkk. Sejarah Filsafat Nusantara Alam Pikir Indonesia. Yogyakarta: Galangpress, 2005.
Magnis-Suseno, Frans. Berebut Jiwa Bangsa. Jakarta: Kompas, 2006.
Magnis-Suseno, Frans, “Tan Malaka: Menuju Indonesia yang Merdeka dan Sosialis” dalam BASIS, no. 01-02, tahun ke-50, Januari-Februari 2001.
Malaka, Tan. Madilog. Jakarta: Teplok Press, 2000.
Tempo, Edisi Khusus Kemerdekaan Bapak Republik yang Dilupakan. Edisi 11-17 Agustus 2008.

N. Arya Dwiangga Martiar

No comments: