Sunday, 3 April 2011

ALBERTUS AGUNG Albert The Great (1205-1280)

Biografi Singkat

Albertus Agung (Albert The Great) lahir sekitar tahun 1205-an di Lauingen an Der Donau, Jerman. Pada tahun 1223 dia belajar di Universitas Padua, dan pada tahun yang sama dia diterima masuk Ordo Dominikan. Dia dikirim ke Cologne untuk belajar teologi sampai tahun 1228 dan setelah itu dia mengajar di beberapa rumah Dominikan di Jerman. Albertus menyelesaikan studi teologi dan mengambil master teologi di Universitas Paris. Thomas Aquinas termasuk salah seorang muridnya di Paris dan pernah mengikutinya ke Jerman dimana Albertus mendirikan suatu “studium generale” bagi Ordo Dominikan, hingga akhirnya Thomas kembali ke Paris dan Albertus dipilih sebagai Prior Provincial Jerman pada tahun 1254. Albertus pernah mendapat tugas dari Paus Aleksander IV untuk pergi ke Anagni dan berbicara dengan suatu Komisi Kardinal yang sedang memperhatikan masalah klaim William dari St. Amour melawan ordo-ordo mendican. Pada tahun 1274 ketika sedang mengikuti Konsili Lyon Albertus menerima berita meninggalnya murid dan sahabatnya yaitu Thomas Aquinas, dan segera setelah itu dia kembali ke Jerman. Pada suatu saat di tahun 1277 Albertus pergi ke Universitas Paris untuk membela pemikiran Aquinas yang banyak diserang dan diperdebatkan di sana. Pada 15 November 1280 Albertus meninggal dan dimakamkan di Cologne. Pada tanggal 15 Desember 1231 Paus Pius XI menyatakan Albertus sebagai seorang santo dan doktor gereja dan setelah itu dinyatakan sebagai pelindung ilmu pengetahuan alam pada tanggal 16 Dsember 1241 oleh Paus Pius XII .

Metafisika
Secara hakiki iman harus dibedakan dengan pengetahuan yang diperoleh dengan akal. Pada pengetahuan suatu kebenaran diterima karena kejelasannya, yang dikuatkan dengan bukti-bukti. Tetapi tidak demikian dengan iman. Pada iman tiada kejelasan berdasarkan akal. Kebenaran yang diterima iman bukan karena kejelasan kebenaran itu. Perbuatan iman lebih berdasarkan atas rasa-perasaan daripada atas pertimbangan akal. Maka, isi kebenaran iman tidak dapat dibuktikan. Bahwa dunia diciptakan oleh Allah dalam waktu tidak dapat dibuktikan. Oleh karena itu penciptaan dalam waktu adalah suatu kebenaran iman. Akan tetapi bahwa Allah ada dapat dibuktikan, sekalipun pembuktian itu dilakukan secara a posteriori. Maka, “adanya Allah” bukan kebenaran iman, melainkan dasar iman.
Menurut Albertus, “beradanya Allah” dapat dibuktikan. Untuk membuktian adanya Allah, Albertus mengikuti jalan pikiran Aristoteles tentang adanya “Penggerak Pertama”. Jika benar Penggerak Pertama itu menjadi asas atas segala sesuatu, maka Penggerak Utama itu secara mutlak harus ada, yakni sebagai aktus murni dan tanpa potensi. Aktus murni tak lain adalah Akal yang mengenal diriNya sendiri secara murni. Jalan pikiran Aristoteles ini oleh Albertus ditambah dengan gagasan Dionisius dari Aeropagus yang menyatakan bahwa segala nama yang kita pakai untuk menyebut Allah sebenarnya tidak memadai karena Allah jauh lebih mulia daripada segala sebutan dan pengertian manusia. Mengenai penciptaan dikatakan bahwa segala sesuatu dihasilkan Allah sebagai Sebab Pertama secara bertingkat-tingkat . Jadi dalam hal ini penciptaan dijelaskan dengan teori emanasi Neoplatonisme . Meski demikian, Albertus tidak mengajarkan emanasi Neoplatonisme. Ia tetap memegang teguh gagasan tentang penciptaan menurut kitab suci, yaitu penciptaan dari “yang tidak ada” (creatio ex nihilo), sehingga tidak mungkin bahwa dunia telah ada sejak kekal. Bahwa dunia diciptakan oleh Allah adalah sebuah kebenaran iman yang tidak dapat dibuktikan oleh akal. Menurut Albertus, yang pertama-tama diciptakan oleh Allah adalah materi pertama (materia prima) yang berada secara murni potensial dan menjadi asas segala individuasi . Sama halnya dengan Aristoteles, Albertus tidak bisa menerima bahwa makhluk-makhluk yang murni rohani terdiri dari materi dan bentuk. Baginya, hanya malaikatlah yang memerlukan semacam dasar bagi bentuk mereka.
Dalam ajarannya mengenai universalia, ia menggabungkan pendapat Aristoteles dengan ajaran Neoplatonisme. Menurutnya, universalia hanya berada sebagai bentuk saja. Ada 3 macam cara berada bentuk-bentuk itu, yaitu:
a. Sebagai bentuk-bentuk yang berada di dalam kesadaran atau akal Allah, yaitu idea-idea atau pola dasar segala yang berada secara konkrit di dunia ini. Segala sesuatu yang diciptakan Allah diciptakan sesuai dengan pola-pola dasar ini (universalia ante rem = universalia yang berada sebelum berada sebagai benda).
b. Sebagai bentuk-bentuk yang telah direalisisasi dalam kenyataan; yaitu yang berada sebagai benda. Dalam tiap benda, idea yang yang ada dalam kesadaran Allah tadi direalisasi secara lebih atau kurang sempurna (universalia in re = universalia yang berada di dalam bendanya sendiri).
c. Sebagai bentuk yang dihasilkan oleh roh manusia, yaitu dengan jalan mengabstrakkan bendanya yang bermacam-macam itu. Setelah benda-bendanya ada, pengertian jenisnya dibentuk dari benda-benda yang bersama dengan benda yang lain diamati (universalia post rem = universalia yang dikonsepkan setelah bendanya ada). Maka dapat disimpulkan bahwa pengertian-pengertian jenis itu dibentuk dari kenyataan yang dihadapkan pada manusia. Benda-bendanya berada terlebih dahulu, lalu baru dibentuk pengertian jenisnya dengan membandingkan benda-benda itu satu dengan yang lain. Senantiasa mulai dengan mengamati kenyataan kemudian baru dibentuk pengertian jenis itu sesuai dengan kenyataannya. Maka dengan pengalaman manusia naikke dunia benda-benda abstrak hingga sampai kepada Allah .

Manusia
Ketertarikan Albertus pada manusia didominasi oleh perhatiannya pada relasi jiwa dan tubuh dan peranan penting intelek dalam psikologi manusia. Menurutnya, esensi manusia bukanlah pada inteleknya. Dengan memperhatikan hubungan antara jiwa dan badan, Albertus nampak dipengaruhi oleh teori Platonik yang melihat jiwa sebagai suatu bentuk yang mampu berdiri sendiri disamping tubuh dengan teori hylemorphisme Aristotelian yang mengurangi hubungan fungsional jiwa dengan tubuh . Untuk memecahkan dua pandangan ini Albertus menempatkan dirinya pada posisi Avicenna yang mengatakan bahwa analisis Aristoteles berfokus pada fungsi jiwa, bukan pada esensi jiwa. Albertus berargumen bahwa jiwa adalah penyebab badan. “Sebagaimana kita lihat bahwa jiwa adalah penyebab dari tubuh yang berjiwa dan dari gerakan serta keinginannya sejauh hal itu dijiwai. Dia menambahkan, “demikian juga kita sebaiknya menjaga bahwa intelegensi yang paling bawah merupakan penyebab dari jiwa yang sadar sejauh sebagaimana hal itu sadar karena pengertian jiwa adalah sebuah hasil dari terang intelegensi”. Diciptakan dalam rupa Allah hal itu tidak hanya menguasai dan memerintah tubuh, seperti Allah memerintah alam semesta, tetapi jiwa bertanggung jawab pada eksistensi tubuh, sebagaimana Allah adalah pencipta dunia. Dan sebagaimana pula Allah melampaui ciptaanNya, demikian juga jiwa manusia melampaui tubuh dalam perhatiannya. Fungsi transendental dari jiwa ini membuat Albert memfokuskan pada apa yang dia percayai merupakan esensi dari jiwa – intelek manusia.
Jiwa manusia merupakan sebuah substansi yang tak bertubuh. Albert membedakan substansi spiritual ini ke dalam dua bentuk daya - intelek agen (the agent intellect) dan intelek yang memungkinkan (the possible intellect). Tak satu pun dari daya-daya ini yang membutuhkan tubuh agar berfungsi. Dibawah kondisi-kondisi tertentu mengenai daya-daya tersebut, intelek manusia mampu untuk bertransformasi. ‘Intelek yang mungkin’ dapat mempertimbangkan sebuah bentuk ilusi yang dapat dimengerti serta beroperasi dibawah satu-satunya pengaruh ‘intelek agen’. ‘intelek yang mungkin’ menjalani suatu transformasi yang lengkap dan menjadi teraktualisasi secara utuh yang disebut sebagai “intelek yang cakap” (intellectus adeptus). Pada tahap ini intelek manusia rentan terhadap iluminasi oleh intelek kosmis yang lebih tinggi yang disebut “intelegensi”. Iluminasi seperti itu membawa jiwa manusia ke dalam harmoni yang utuh dengan seluruh urutan penciptaan dan merupakan kebahagiaan alami manusia. Kondisi perkembangan puncak manusia ini disebut “intelek yang terasimilasi” (intellectus assimilativus); kondisi tercapainya suatu intelek yang terasimilasi merupakan kebahagiaan alami manusia dengan menyadari semua aspirasi dari kondisi manusia dan kebudayaan manusia. Akan tetapi pikiran manusia tidak dapat mencapai asimilasi ini pada dirinya sendiri karena ‘kebenaran ilahi terletak melampaui pikiran sedang pikiran tidak akan mampu untuk menemukannya, kecuali dengan merendahkan diri’ …hal itu merupakan penggerak dari dalam, yang tanpanya penggerak dari luar bekerja tanpa tujuan. Ada suatu infusi termasuk iluminasi ilahi, yang merupakan infusi dari penggerak yang ada di dalam, yang dikenali oleh kebenaran ilahi itu sendiri. Penggerak dari dalam ini menguatkan kelemahan intelek manusia yang olehnya sendiri tidak dapat maju tanpa dorongan eksternal. Albert membedakan pendorong mengenai pengajar dari dalam (interior teacher) dan obyek final dari yang sejati. Terang ilahi merupakan sarana yang olehnya intelek dapat mencapai objeknya. Hal ini tetap, dengan penekanan atas analogi mengenai terang ilahi dan terang fisik, bahwa di dalam urutan pengetahuan manusia yang pertama dari semua bentuk berasal dari hal-hal eksternal. Semua itu tidak bisa mengajarkan apa-apa sampai terang penggerak dari dalam mengiluminasinya. Jadi, terang merupakan perantara visi ini. Akan tetapi, penggerak dari dalam itu sendiri dikenali bersama kebenaran ilahi, yang merupakan obyek final dan kesempurnaan dari intelek manusia.

Tanggapan
Melihat pemikiran Albertus, rupanya ia membuat pembedaan antara apa yang berkaitan dengan Yang Ilahi dan apa yang berkaitan dengan dunia; antara teologi yang bersandar pada iman dengan filsafat yang bekerja dengan akal budi. Pemikiran Albertus banyak dikuasai oleh unsur-unsur ajaran Aristoteles, seperti mengenai “Penggerak Pertama yang tidak digerakkan” (actus purus). Meski demikian Albertus masih menggunakan beberapa unsur pemikiran Neoplatonis, terutama ajaran Dionisius dari Aeropagus yang menyatakan bahwa segala sesuatu berasal dari Yang Ilahi dan segala nama yang digunakan untuk menyebut Allah sama sekali tidak memadai karena Allah jauh melebihi segala sebutan dan pengertian manusia. Selain itu, juga disinggung bahwa Penggerak Pertama merupakan Yang baik itu sendiri, atau yang disebut sebagai “to agathon”, sebagai sesuatu yang paling padat dan paling sempurna yang merupakan “mengadanya segala mengada”.
Pandangannya mengenai manusia juga berkisar pada pemikiran Platonis yang mengatakan bahwa makhluk hidup mempunyai dua aspek, yaitu jiwa dan badan yang merupakan dua substansi yang berbeda. Sedang pandangannya mengenai penciptaan tidak mengikuti pandangan Neoplatonis bahwa segala sesuatu yang berasal dari Yang Ilahi, melainkan konsep penciptaan dari Kitab Suci yang mengatakan bahwa penciptaan itu dari “yang tidak ada” (creatio ex nihilo).
Berdasarkan itu semua, bisa dilihat bahwa pemikiran Albertus ini merupakan gabungan pemikiran antara pemikiran Aristoteles dengan unsur-unsur dari Neoplatonis untuk menjelaskan apa yang gereja ajarkan saat itu. Sebagai seorang pemikir besar gereja, Albertus memberi jalan pada pemikiran mengenai pembuktian “beradanya Allah” yang dibuktikan secara a posteriori, yang kemudian dilanjutkan oleh Thomas Aquinas dengan memberikan 5 bukti mengenai adanya Allah.


Daftar Pustaka
Bertens, K. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1976
Copleston, Frederick. A History of Philosophy Volume II Medieval Philosophy. New York: Image Book, 1993.
Hadiwijono, R. Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 1. Yogyakarta: Kanisius, 1980.
http://www.seop.leeds.ac.uk/entries/albert-great/, diakses 16 April 2008 pkl. 20:35

No comments: