Monday, 22 July 2013
HUJAN
Pagi ini terasa segar. Aroma tanah basah menyeruak menimbulkan kerinduan bahwa bau seperti inilah yang kutunggu-tunggu. Tadi malam rupanya telah turun hujan dan kegembiraan yang kurasakan lebih karena harapan bahwa hujan ini akan membawa kesegaran dan pertumbuhan yang baik bagi tanaman. Hujan yang biasanya berlalu begitu saja sekarang nampak sebagai peristiwa yang bermakna.
Hujan tidak lagi hanya sebatas fenomena alamiah yang terus berjalan seturut lingkaran musim, akan tetapi menjadi salah satu simpul penting dalam pertanian organik yang sangat menekankan keserasian dengan alam. Alam lingkungan tidak ditempatkan sebagai pihak yang harus dikelabuhi atau diakali bahkan dilawan, melainkan sebagai sahabat. Manusia mesti banyak belajar dari alam dalam menjaga keseimbangan ekosistem di mana ia sendiri masuk di dalamnya. Manusia dengan intelegensinya memang bisa memanipulasi alam sedemikian rupa hingga bisa tunduk pada kemauannya. Akan tetapi manusia lupa untuk belajar bahwa kemajuan di satu sisi hanya seperti neraca yang berat sebelah. Tepat di sinilah alam kembali memperlihatkan kebijaksanaannya bahwa kemajuan bukanlah segala-galanya.
Monday, 15 July 2013
HARAPAN
Kuhisap dalam-dalam rokok yang terjepit di sela jari-jariku. Bau tembakau menyeruak bersamaan keluarnya asap yang sedetik lalu mengisi rongga paru-paruku. Menyesakkan. Ciri khas tembakau murahan demikian kata orang. Tapi tak apalah, meski menyesakkan buatku justru memberikan kelegaan. Letih dan capek rasanya ikut terlepas bersama kepulan asap yang melayang dan kemudian hilang tersapu angin. Tanpa bekas kecuali aroma asap rokok yang khas.
“Kang Kardi, masih punya mbako? Boleh minta?”, tanya Iwan.
“Isih iki, Wan. Bukan tembakau enak, tapi katanya rasa samsu”, kataku sambil menyorongkan plastik berisi tembakau.
Kupandangi pemuda yang tubuhnya nampak hitam licin tersapu keringat. Tumben ia minta tembakau, biasanya ia selalu membeli rokok pak-pakan merek Grendel yang baunya nyegrak itu. Mungkin lagi tongpes, kantong kempes.
Kuhisap kembali rokokku dalam-dalam. Angin semilir seakan memberi penghiburan di tengah garangnya panas matahari. Waktu ngaso selama 1 jam mesti aku gunakan dengan sebaik-baiknya.
Rupanya genap 2 tahun aku ikut Pak Jadi, seorang pemborong yang punya lumayan banyak proyek meski hanya dalam skala lokal. Dalam sekali waktu yang sama ia bisa menerima 4-5 proyek sekaligus di tempat yang berbeda-beda. Jika demikian, maka tukang-tukangnya yang kemudian dioper kesana-kemari sesuai dengan kebutuhan.
Awalnya aku hanya menjadi laden, menyaring pasir, membawa semen, mengaduk semen dengan pasir, lalu membawanya kepada tukang untuk dipakai nglepa. Lama-kelamaan aku naik pangkat menjadi tukang pasang batu bata. Pak Jadi bilang kerjaku rapi dan teliti, maka jadilah sekarang aku yang diladeni, termasuk oleh Iwan, pemuda yang baru kukenal sebulan lalu.
Sebetulnya aku tidak memilih ikut Pak Jadi. Aku tidak pernah dilatih untuk nukang. Jari-jariku tidak terbiasa pegang sekop, stamper, atau ayakan pasir. Akan tetapi waktu itu hanya dia yang bisa kuminta tolong. Petaka menimpaku karena namaku, Yohanes Kardi, ikut tertulis dalam daftar nama mereka yang diminta menghadap bagian personalia. Memang ada isu akan ada PHK masal. Akan tetapi aku yakin diriku tidak masuk hitungan karena aku sudah 19 tahun bekerja di sini, di pabrik garmen Jayatex. Aku orang lama yang setia, demikian pikirku.
Waktu itu aku diminta masuk ke ruangan bercat putih dan berkaca riben yang hanya pernah kumasuki sekali sekian tahun yang lalu. Ada 2 orang duduk menunggu di belakang meja.
“Silahkan duduk Pak”, pria berkaca mata mulai berbicara. Setelah mengambil nafas ia melanjutkan, “Dengan berat hati perusahaan memutuskan Pak Kardi untuk mengikuti program pensiun dini. Beban keuangan perusahaan semakin berat sementara pesanan cenderung turun, oleh karena itu..”.
Kata-kata berikutnya tidak lagi terdengar di telingaku. Mataku rasanya berkunang-kunang dan dadaku rasanya sesak. Pandanganku gelap dan badanku terasa limbung. Bumi seperti terbalik dan aku kehilangan pegangan.
Kuhela nafas mengingat peristiwa itu. Apa yang selama ini tidak pernah kubayangkan malah menjadi kenyataan. Impian bekerja hingga tua di pabrik garmen Jayatex sirna sudah. Pelan-pelan tanganku bergerak mengambil tembakau dan sigaret. Kuplintir sekenanya dan segera kusulut dengan api. Hembusan asap kembali membawa ingatanku melayang.
“Pak Kardi, saya senang panjenengan mau ikut kerja dengan saya. Tapi bapak tahu bahwa kerja saya adalah kerja kasar. Panas ya kepanasan hujan ya kehujanan”, demikian jawab Pak Jadi setelah aku mengutarakan keinginanku. Jawaban yang membuatku lega meski tetap menyisakan kekuatiran. Dan nampaknya Pak Jadi bisa menduga apa yang ada di dalam benakku.
“Soal bayaran sesuai standar. Kalau orang baru itu masuknya jadi laden, bayarannya sehari 30 ribu. Terima bayaran 2 minggu sekali. Bagaimana Pak?”, tanya Pak Jadi.
“Tidak apa-apa, Pak. Bapak mengijinkan saya ikut itu sudah merupakan anugerah buat saya. Saya manut saja”, kataku sambil tersenyum. Pertemuan itu diakhiri dengan jabat tangan yang hangat antara mandor dengan anak buahnya. Sehangat teh manis yang tersaji ditemani sepiring pisang goreng.
Kupandangi Iwan yang duduk ndelosor tak jauh dariku. Matanya tertutup namun mulutnya sedikit terbuka. Lamat-lamat kukenal nada lagu yang muncul dari siulannya. Lagu Jawa berjudul Caping Gunung.
Dhek jaman berjuang, njur kelingan anak lanang, mbiyen tak openi, ning saiki ono ngendi...
Malam itu kegelisahan menderaku. Secarik kertas dalam genggaman membuatku bingung. Istriku diam sambil sesekali melihat ke arahku.
“Sudahlah mas, jangan terlalu dipikir. Nanti pasti ada jalan keluar. mBesok aku tak pinjam uang lagi ke bu carik”, kata istriku memecah kesunyian.
“Kita memang harus pinjam, tapi apa bu carik mau meminjamkan uang lagi. Utang kita sudah banyak..”, jawabku lirih selirih harapanku yang nyaris sirna.
“Iya mas, memang. Tapi ini kan bukan soal sedikit atau banyak. Toh kalau Gusti ngersakake pasti akan ada jalan, meski mungkin bukan dari bu carik. Yang penting tole bisa ikut”.
Kucoba mencerna kata-kata wanita yang kunikahi 22 tahun yang lalu dan sudah memberiku 2 anak ini. Ya, istriku benar. Kesulitan tak kan pernah hilang, akan tetapi selalu ada jalan. Malam pun semakin larut. Mataku masih menerawang sambil tetap memegang secarik kertas bertuliskan ‘BIAYA KARYA WISATA SEKOLAH’.
Beberapa hari kemudian kuberanikan diriku menemui pak ketua lingkungan. Ia seorang guru SD dan orang biasa memanggilnya mbah guru. Usianya sudah lebih dari setengah abad, berkumis dengan rambut yang mulai memutih di sana-sini. Kedatanganku bukan hendak pinjam uang, akan tetapi sekadar menceritakan kesulitan yang sedang kuhadapi.
Ia manggut-manggut mendengar ceritaku. Alisnya nampak terangkat pertanda ia menyimak dengan serius. Sampai beberapa saat setelah kata-kataku habis, ia masih belum membuka suaranya. Sementara suara jangkrik bersahut-sahutan di luar sana.
Rasa penyesalan mulai mendera mempersalahkan diri mengapa mesti bercerita kepada orang belum tentu bisa memberikan solusi. Meski begitu keyakinanku mengatakan hanya dia satu-satunya orang yang bisa mendengar ceritaku.
“Nak Kardi”, kata mbah guru mengagetkan lamunanku. “Saya bisa memahami kesulitan yang dihadapi Nak Kardi sekeluarga. Memang tidak mudah menghadapi banyak persoalan sekaligus, apalagi yang berkaitan dengan kebutuhan hidup. Akan tetapi Nak Kardi saya harap tetap percaya dengan Yang Punya Hidup karena segala sesuatu bersumber dari Dia”.
Mataku menatap ke bawah mendengarkan nasehatnya.
“Saya tidak bisa membantu banyak”, lanjut mbah guru. Kata-kata itu seperti memupuskan harapanku. Aku semakin tertunduk lesu.
“Saya mendengar ada sekolah yang membutuhkan seorang tukang kebun. Kebetulan saya kenal dengan kepala sekolahnya. Jika nak Kardi mau silahkan membuat surat lamaran dan nanti akan saya bawa”.
Senyumku mengembang mendengar tawaran mbah guru. Muncul seberkas harapan meski masih nampak samar. Segera kusanggupi tawaran mbah guru untuk membuat surat lamaran kerja.
“Kang, ayo kang kerja lagi”, ajak Iwan mengagetkanku.
Ah, ternyata waktu 1 jam sudah habis. Saatnya kembali bekerja.
“Bentar Wan, kuhabiskan dulu rokokku. Eman, masih sehisapan lagi”, sahutku pada Iwan.
Segera aku berjalan menuju tumpukan bata merah yang masih yang berdiri setinggi dada. Kubuang rokok dan kuraih cetok yang tadi kurendam dalam ember.
Keringat mulai membasahi tubuhku. Matahari dengan angkuh memandang dari atas sana. Panasnya kian menyengat di atas kepala. Semilir angin pun tak lagi mampu mengimbangi keperkasaan sang surya. Akan tetapi terik siang ini tak sebanding dengan merekahnya harapan dalam hatiku. Sekarang aku punya alasan untuk tersenyum. Tersenyum karena kemarin aku mendapat panggilan atas lamaran yang dulu kubuat.
Sukur bisa nyawang, nggunung desa dadi rejo, bene ora ilang, nggone podho loro lopo.. Sayup-sayup irama Caping Gunung terdengar..
(oleh: Arya Dwiangga)
Subscribe to:
Posts (Atom)