Friday, 16 August 2013
MERDEKA KARENA SENJATA SEMATA?
Malam ini malam kemerdekaan Indonesia, 16 Agustus 2013. Ini malam kemerdekaan negeri tercinta yang ke-68.
Aku yakin di berbagai tempat diadakan malam tirakatan, sebagaimana yang dilakukan orangtuaku yang hingga saat ini masih berada
di luar sana bersama para tetangga.
Tadi sore aku sempat ditawari untuk ikut malam tirakatan bersama mereka. Sempat kupertimbangkan untu ikut, tetapi kemudian
aku mengatakan tidak. Rupanya aku lebih ingin tirakatan sendiri bergulat bersama pikiranku yang tadi sempat melayang mencari
jawab atas pertanyaan yang muncul setelah menonton sebuah tayangan di televisi.
Sebuah stasiun televisi dalam memperingati kemerdekaan RI mengajak penontonnya untuk mengunjungi salah satu tempat
bersejarah dan melihat dari dekat koleksi berharga di dalamnya. Pada sesi akhir, sang pembawa acara mewawancari beberapa
orang veteran yang ada di situ. Di akhir wawancara, sang pembawa acara menggarisbawahi 'pesan' dari sang veteran
agar lebih memperhatikan kesejahteraan para veteran.
Aku tertegun menonton tayangan itu. Bukan terpesona melihat sang pembawa acara yang nampak begitu bersemangat mengajukan pertanyaan yang sebenarnya memperlihatkan tidak ada persiapan, bukan pula terpana tidak mengerti ketika harapan menyaksikan wawancara yang berbobot dengan sang pelaku sejarah sirna ketika wawancara hanya diakhiri dengan pesan: supaya pemerintah lebih memperhatikan kesejahteraan para veteran, melainkan muncul rasa heran mengapa dari tahun ke tahun peringatan kemerdekaan senantiasa didekati dengan konsep perjuangan dalam bentuk perlawanan mengangkat senjata. Kalau diringkas, kata kunci ulasan kemerdekaan yang disajikan beberapa stasiun televisi adalah: penjajah, pertempuran, dan veteran. Menjemukan buatku. Tidak bisakah melihat perjuangan kemerdekaan dari sudut pandang yang lain? Tidak bisakah melihat bahwa perjuangan kemerdekaan tidak hanya diwujudkan dengan angkat senjata saja? Bukankah perlawanan tidak harus diwujudkan dengan mengangkat senjata.
Angkat topi tanda hormat selalu kuberikan kepada para pahlawan termasuk mereka yang sekarang disebut sebagai veteran. Keberanian
untuk mengangkat senjata merupakan sebuah keutamaan, terlebih kerelaan hatinya memberikan diri demi cita-cita di masa depan yang masih belum jelas kapan akan terjadi.
Meski demikian penghormatan dan penghargaan mestinya tidak hanya berhenti bagi mereka yang mengangkat senjata saja. Penghormatan
dan sebutan pahlawan juga mesti ditujukan bagi mereka, para petani, para pedagang, para buruh, mereka orang kecil yang berdiam di pelosok-pelosok desa yang dengan caranya sendiri tetap setia bertahan dan berjuang serta mencita-citakan kemerdekaan. Siapa yang menyediakan logistik bagi para pejuang di medan tempur? Rakyat. Ya, mereka berjuang dengan caranya sendiri, tanpa senjata. Bahkan karena tanpa senjata rakyat kerap dijadikan pelampiasan sementara para pejuang bersenjata memilih lari bersembunyi demi menjalankan apa yang disebut taktik gerilya. Rasa-rasanya kemerdekaan itu ada bukan ketika pejuang yang mengangkat senjata memenangkan sebuah pertempuran, melainkan ketika rakyat jelata bisa hidup dengan aman dan damai.
Maka saya membayangkan nanti, entah kapan, ada stasiun televisi yang tidak hanya mewawancarai seorang veteran melainkan juga
rakyat dari beragam profesi yang masih sempat mengalami masa perjuangan menuju kemerdekaan.
Sudah saatnya pendekatan terhadap arti kemerdekaan tidak hanya diletakkan sempit dengan semata menyamakan berjuang dengan mengankat senjata karena faktanya kemerdekana diperjuangkan dengan banyak cara termasuk oleh mereka yang tak kenal dengan pistol dan peluru.
Monday, 22 July 2013
HUJAN
Pagi ini terasa segar. Aroma tanah basah menyeruak menimbulkan kerinduan bahwa bau seperti inilah yang kutunggu-tunggu. Tadi malam rupanya telah turun hujan dan kegembiraan yang kurasakan lebih karena harapan bahwa hujan ini akan membawa kesegaran dan pertumbuhan yang baik bagi tanaman. Hujan yang biasanya berlalu begitu saja sekarang nampak sebagai peristiwa yang bermakna.
Hujan tidak lagi hanya sebatas fenomena alamiah yang terus berjalan seturut lingkaran musim, akan tetapi menjadi salah satu simpul penting dalam pertanian organik yang sangat menekankan keserasian dengan alam. Alam lingkungan tidak ditempatkan sebagai pihak yang harus dikelabuhi atau diakali bahkan dilawan, melainkan sebagai sahabat. Manusia mesti banyak belajar dari alam dalam menjaga keseimbangan ekosistem di mana ia sendiri masuk di dalamnya. Manusia dengan intelegensinya memang bisa memanipulasi alam sedemikian rupa hingga bisa tunduk pada kemauannya. Akan tetapi manusia lupa untuk belajar bahwa kemajuan di satu sisi hanya seperti neraca yang berat sebelah. Tepat di sinilah alam kembali memperlihatkan kebijaksanaannya bahwa kemajuan bukanlah segala-galanya.
Monday, 15 July 2013
HARAPAN
Kuhisap dalam-dalam rokok yang terjepit di sela jari-jariku. Bau tembakau menyeruak bersamaan keluarnya asap yang sedetik lalu mengisi rongga paru-paruku. Menyesakkan. Ciri khas tembakau murahan demikian kata orang. Tapi tak apalah, meski menyesakkan buatku justru memberikan kelegaan. Letih dan capek rasanya ikut terlepas bersama kepulan asap yang melayang dan kemudian hilang tersapu angin. Tanpa bekas kecuali aroma asap rokok yang khas.
“Kang Kardi, masih punya mbako? Boleh minta?”, tanya Iwan.
“Isih iki, Wan. Bukan tembakau enak, tapi katanya rasa samsu”, kataku sambil menyorongkan plastik berisi tembakau.
Kupandangi pemuda yang tubuhnya nampak hitam licin tersapu keringat. Tumben ia minta tembakau, biasanya ia selalu membeli rokok pak-pakan merek Grendel yang baunya nyegrak itu. Mungkin lagi tongpes, kantong kempes.
Kuhisap kembali rokokku dalam-dalam. Angin semilir seakan memberi penghiburan di tengah garangnya panas matahari. Waktu ngaso selama 1 jam mesti aku gunakan dengan sebaik-baiknya.
Rupanya genap 2 tahun aku ikut Pak Jadi, seorang pemborong yang punya lumayan banyak proyek meski hanya dalam skala lokal. Dalam sekali waktu yang sama ia bisa menerima 4-5 proyek sekaligus di tempat yang berbeda-beda. Jika demikian, maka tukang-tukangnya yang kemudian dioper kesana-kemari sesuai dengan kebutuhan.
Awalnya aku hanya menjadi laden, menyaring pasir, membawa semen, mengaduk semen dengan pasir, lalu membawanya kepada tukang untuk dipakai nglepa. Lama-kelamaan aku naik pangkat menjadi tukang pasang batu bata. Pak Jadi bilang kerjaku rapi dan teliti, maka jadilah sekarang aku yang diladeni, termasuk oleh Iwan, pemuda yang baru kukenal sebulan lalu.
Sebetulnya aku tidak memilih ikut Pak Jadi. Aku tidak pernah dilatih untuk nukang. Jari-jariku tidak terbiasa pegang sekop, stamper, atau ayakan pasir. Akan tetapi waktu itu hanya dia yang bisa kuminta tolong. Petaka menimpaku karena namaku, Yohanes Kardi, ikut tertulis dalam daftar nama mereka yang diminta menghadap bagian personalia. Memang ada isu akan ada PHK masal. Akan tetapi aku yakin diriku tidak masuk hitungan karena aku sudah 19 tahun bekerja di sini, di pabrik garmen Jayatex. Aku orang lama yang setia, demikian pikirku.
Waktu itu aku diminta masuk ke ruangan bercat putih dan berkaca riben yang hanya pernah kumasuki sekali sekian tahun yang lalu. Ada 2 orang duduk menunggu di belakang meja.
“Silahkan duduk Pak”, pria berkaca mata mulai berbicara. Setelah mengambil nafas ia melanjutkan, “Dengan berat hati perusahaan memutuskan Pak Kardi untuk mengikuti program pensiun dini. Beban keuangan perusahaan semakin berat sementara pesanan cenderung turun, oleh karena itu..”.
Kata-kata berikutnya tidak lagi terdengar di telingaku. Mataku rasanya berkunang-kunang dan dadaku rasanya sesak. Pandanganku gelap dan badanku terasa limbung. Bumi seperti terbalik dan aku kehilangan pegangan.
Kuhela nafas mengingat peristiwa itu. Apa yang selama ini tidak pernah kubayangkan malah menjadi kenyataan. Impian bekerja hingga tua di pabrik garmen Jayatex sirna sudah. Pelan-pelan tanganku bergerak mengambil tembakau dan sigaret. Kuplintir sekenanya dan segera kusulut dengan api. Hembusan asap kembali membawa ingatanku melayang.
“Pak Kardi, saya senang panjenengan mau ikut kerja dengan saya. Tapi bapak tahu bahwa kerja saya adalah kerja kasar. Panas ya kepanasan hujan ya kehujanan”, demikian jawab Pak Jadi setelah aku mengutarakan keinginanku. Jawaban yang membuatku lega meski tetap menyisakan kekuatiran. Dan nampaknya Pak Jadi bisa menduga apa yang ada di dalam benakku.
“Soal bayaran sesuai standar. Kalau orang baru itu masuknya jadi laden, bayarannya sehari 30 ribu. Terima bayaran 2 minggu sekali. Bagaimana Pak?”, tanya Pak Jadi.
“Tidak apa-apa, Pak. Bapak mengijinkan saya ikut itu sudah merupakan anugerah buat saya. Saya manut saja”, kataku sambil tersenyum. Pertemuan itu diakhiri dengan jabat tangan yang hangat antara mandor dengan anak buahnya. Sehangat teh manis yang tersaji ditemani sepiring pisang goreng.
Kupandangi Iwan yang duduk ndelosor tak jauh dariku. Matanya tertutup namun mulutnya sedikit terbuka. Lamat-lamat kukenal nada lagu yang muncul dari siulannya. Lagu Jawa berjudul Caping Gunung.
Dhek jaman berjuang, njur kelingan anak lanang, mbiyen tak openi, ning saiki ono ngendi...
Malam itu kegelisahan menderaku. Secarik kertas dalam genggaman membuatku bingung. Istriku diam sambil sesekali melihat ke arahku.
“Sudahlah mas, jangan terlalu dipikir. Nanti pasti ada jalan keluar. mBesok aku tak pinjam uang lagi ke bu carik”, kata istriku memecah kesunyian.
“Kita memang harus pinjam, tapi apa bu carik mau meminjamkan uang lagi. Utang kita sudah banyak..”, jawabku lirih selirih harapanku yang nyaris sirna.
“Iya mas, memang. Tapi ini kan bukan soal sedikit atau banyak. Toh kalau Gusti ngersakake pasti akan ada jalan, meski mungkin bukan dari bu carik. Yang penting tole bisa ikut”.
Kucoba mencerna kata-kata wanita yang kunikahi 22 tahun yang lalu dan sudah memberiku 2 anak ini. Ya, istriku benar. Kesulitan tak kan pernah hilang, akan tetapi selalu ada jalan. Malam pun semakin larut. Mataku masih menerawang sambil tetap memegang secarik kertas bertuliskan ‘BIAYA KARYA WISATA SEKOLAH’.
Beberapa hari kemudian kuberanikan diriku menemui pak ketua lingkungan. Ia seorang guru SD dan orang biasa memanggilnya mbah guru. Usianya sudah lebih dari setengah abad, berkumis dengan rambut yang mulai memutih di sana-sini. Kedatanganku bukan hendak pinjam uang, akan tetapi sekadar menceritakan kesulitan yang sedang kuhadapi.
Ia manggut-manggut mendengar ceritaku. Alisnya nampak terangkat pertanda ia menyimak dengan serius. Sampai beberapa saat setelah kata-kataku habis, ia masih belum membuka suaranya. Sementara suara jangkrik bersahut-sahutan di luar sana.
Rasa penyesalan mulai mendera mempersalahkan diri mengapa mesti bercerita kepada orang belum tentu bisa memberikan solusi. Meski begitu keyakinanku mengatakan hanya dia satu-satunya orang yang bisa mendengar ceritaku.
“Nak Kardi”, kata mbah guru mengagetkan lamunanku. “Saya bisa memahami kesulitan yang dihadapi Nak Kardi sekeluarga. Memang tidak mudah menghadapi banyak persoalan sekaligus, apalagi yang berkaitan dengan kebutuhan hidup. Akan tetapi Nak Kardi saya harap tetap percaya dengan Yang Punya Hidup karena segala sesuatu bersumber dari Dia”.
Mataku menatap ke bawah mendengarkan nasehatnya.
“Saya tidak bisa membantu banyak”, lanjut mbah guru. Kata-kata itu seperti memupuskan harapanku. Aku semakin tertunduk lesu.
“Saya mendengar ada sekolah yang membutuhkan seorang tukang kebun. Kebetulan saya kenal dengan kepala sekolahnya. Jika nak Kardi mau silahkan membuat surat lamaran dan nanti akan saya bawa”.
Senyumku mengembang mendengar tawaran mbah guru. Muncul seberkas harapan meski masih nampak samar. Segera kusanggupi tawaran mbah guru untuk membuat surat lamaran kerja.
“Kang, ayo kang kerja lagi”, ajak Iwan mengagetkanku.
Ah, ternyata waktu 1 jam sudah habis. Saatnya kembali bekerja.
“Bentar Wan, kuhabiskan dulu rokokku. Eman, masih sehisapan lagi”, sahutku pada Iwan.
Segera aku berjalan menuju tumpukan bata merah yang masih yang berdiri setinggi dada. Kubuang rokok dan kuraih cetok yang tadi kurendam dalam ember.
Keringat mulai membasahi tubuhku. Matahari dengan angkuh memandang dari atas sana. Panasnya kian menyengat di atas kepala. Semilir angin pun tak lagi mampu mengimbangi keperkasaan sang surya. Akan tetapi terik siang ini tak sebanding dengan merekahnya harapan dalam hatiku. Sekarang aku punya alasan untuk tersenyum. Tersenyum karena kemarin aku mendapat panggilan atas lamaran yang dulu kubuat.
Sukur bisa nyawang, nggunung desa dadi rejo, bene ora ilang, nggone podho loro lopo.. Sayup-sayup irama Caping Gunung terdengar..
(oleh: Arya Dwiangga)
Tuesday, 8 January 2013
MENYIBAK KABUT KEKERASAN
"Kalau kau tidak tahu masa lalumu maka jangan harapkan kau akan mampu bermimpi tentang masa depanmu." (NN)
Mimpi buruk ‘65
Perkenalanku dengan Gerakan 30 September dimulai dengan sebuah film pada dekade 90-an. Sekelompok tentara datang dengan truk memaksa untuk menjemput orang-orang yang mereka sebut sebagai jenderal. Sementara sang istri dan anak-anak menatap cemas melihat sang ayah berjalan menjauh dikawal tentara bersenapan. Tetapi tidak semuanya dibawa hidup-hidup. Beberapa orang dibunuh di rumah mereka dengan berondongan peluru di hadapan anak dan istrinya. Mayat mereka diseret dan dilemparkan ke truk dengan hanya menyisakan genangan darah. Dan lihatlah, seorang gadis menjerit-jerit memanggil ayahnya sementara truk itu telah pergi. Yang terjadi kemudian si gadis hanya bisa bersimpuh di hadapan genangan darah ayahnya lalu mencelupkan kedua tangannya ke dalam genangan darah tersebut dan mengoleskannya di helaian rambut serta raut mukanya. Semua perwira yang disebut jendral itu akhirnya mati. Mayat mereka dilemparkan ke dalam sumur diiringi pandangan penuh kebencian dari setiap laki-laki dan perempuan yang ada di situ. Bahkan, sebelum sebatang pisang ditanam, beberapa laki-laki berseragam menembakkan senapannya ke liang gelap tempat mayat dibuang. Tentu setiap potongan gambar dalam film itu terlihat mengerikan, apalagi buat anak sekecil diriku saat itu. Belakangan baru kutahu judul film yang selalu menghiasi layar kaca setiap tanggal 30 September malam, yaitu Pengkhianatan G-30S.
Apa pun alasannya, film Pengkhianatan G-30S menjadi sumber awal pengetahuanku tentang peristiwa ‘65. Dalam ingatanku ini, Gerakan 30 September tak pernah berdiri sendiri, melainkan selalu terhubung dengan PKI. Itulah yang di kemudian hari kukenal sebagai G30S/PKI. Kekejaman berupa penculikan, penyiksaan, pembunuhan melekat padanya sebagai sebuah realitas yang tak terbantahkan. Ketika di bangku sekolah, ingatan itu semakin ditegaskan bahwa Gerakan 30 September tidak lain didalangi oleh PKI dan karenanya ideologi marxisme dan komunisme harus diwaspadai.
Rupanya apa yang terjadi di Lubang Buaya belum berakhir. Sebaliknya, ia justru merupakan awal sebuah tragedi berdarah dengan serangkaian penangkapan, penculikan, pembunuhan, dan pembantaian yang mengatasnamakan ‘penumpasan PKI’. Terbunuhnya tujuh perwira tinggi dijadikan alasan pembenaran untuk menumpas jutaan anggota PKI dan mereka yang dituduh PKI. Tentu tidak berlebihan bila kejadian pada 30 September 1965 merupakan awal dari sebuah genosida yang ironisnya dilakukan oleh saudara-saudara sebangsanya sendiri. Malapetaka yang memakan korban hingga ratusan ribu jiwa hanya menyisakan sebuah trauma mendalam yang terus menghantui sejarah perjalanan bangsa ini. Mimpi buruk yang masih menghantui banyak orang hingga saat ini.
Peristiwa ’65 tidak hanya meninggalkan jejak sebuah tragedi, tetapi juga menjadi penanda datangnya sebuah rejim bernama Orde Baru. Dalam rejim ini, segala interpretasi, makna, pemahaman, berikut persepsi masyarakat terhadap sejarah menjadi sangat bergantung pada kepentingan dan selera penguasa, termasuk pemahaman terhadap peristiwa 30 September 1965 sendiri. Meski sekarang kesahihannya dipertanyakan dan disangkal, pada masa rejim Orde Baru diperoleh pemahaman tunggal bahwa peristiwa Gerakan 30 September 1965 merupakan sebuah pemberontakan yang didalangi Partai Komunis Indonesia, sehingga akronim G30S/PKI nyaris diiyakan oleh setiap orang. Rejim ini menancapkan kekuasaannya dengan menciptakan sebuah hantu bernama komunisme yang sangat ditakuti. Tiada ampun bagi mereka yang dicap PKI atau antek PKI. Penculikan dan penahanan tanpa proses hukum yang jelas dilakukan dengan legitimasi demi menyelamatkan Pancasila dari rongrongan bahaya laten komunis. Pendekatan represif dengan menggunakan cara-cara militeristik seolah menjadi jalan satu-satunya bagi penguasa untuk menghadapi rakyat. Dari sini dimulailah budaya kekerasan yang digunakan penguasa demi melanggengkan kekuasaannya terekam dalam sejarah bangsa ini. Dengan luka peristiwa ’65 yang masih merah menganga, bangsa ini masuk ke dalam sebuah tirani kekerasan bernama Orde Baru.
Legalisasi Kekerasan
Sama seperti kebohongan, satu kekerasan selalu akan diikuti oleh kekerasan yang lain, apalagi ketika sebuah kekuasaan dicapai dengan kekerasan. Maka tidak mengherankan pada masa Orde baru kekerasan menjadi ujung tombak perpolitikan Soeharto sekaligus menjadi sarana yang sangat ampuh untuk mempertahankan kekuasaan.
Dengan dalih demi ketertiban dan keamanan, hampir setiap hari, antara tahun 1983 hingga 1984, ditemukan mayat bertato dengan luka tembak entah di sawah, pasar, atau jalan raya. Mayat-mayat itu ketika masih hidup dianggap sebagai penjahat, gali, atau bromocorah. Tanpa pernah diungkap siapa pelaku pembunuhan yang korbannya mencapai ribuan, Soeharto dalam autobiografinya, Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1989), Soeharto menguraikan argumen bahwa kekerasan harus dihadapi dengan kekerasan dengan istilahnya, treatment. Berbagai pembunuhan dengan meninggalkan mayatnya begitu saja di jalanan baginya hanyalah sebuah shock therapy dengan maksud supaya bisa menumpas semua kejahatan yang sudah melampaui batas perikemanusiaan.
Tentu alasan ini membuat dahi berkerut. Bagaimana mungkin kejahatan yang dianggap melampaui batas perikemanusiaan dipadamkan dengan pembunuhan yang juga melampaui batas perikemanusiaan yang dibenarkan oleh seorang penguasa. Meski kejahatan tidak bisa ditolerir, apakah penghilangan nyawa seseorang dengan dalih keamanan dan ketertiban juga bisa ditolerir? Tidak. Menghilangkan nyawa seseorang dengan dalih apapun tetap sebuah pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang paling dasar, yakni hak untuk hidup. Ketika kekerasan mendapat tempat dalam jalannya proses bernegara, maka pondasi hukum yang sebenarnya berlaku adalah hukum rimba. Kekerasan itu sendiri sekaligus menunjukkan ketidakmampuan pemerintah mengelola keragaman amanat rakyat dan karenanya perbedaan dianggap tabu. Maka, keamanan dan ketertiban yang dihasilkan hanya bersifat semu karena menutup keadaan yang sebenarnya, yakni ketakutan.
Tidak Tahu Substansi
Meski sudah 45 tahun sejak peristiwa 30 September 1965 berlalu, bayang-bayang kengeriannya masih terasa hingga sekarang. Bagi mereka yang pernah tersangkut di dalamnya, peristiwa ‘65 masih meninggalkan luka, sementara bagi mereka yang tidak tersangkut secara langsung peristiwa itu menimbulkan phobia akan terulangnya kejadian seperti itu. Yang menjadi pertanyaan, apakah masyarakat bangsa ini sadar betul bahwa peristiwa ’65 merupakan sebuah tragedi kemanusiaan yang sungguh berat?
Meski masih buram apakah benar PKI dalang dari peristiwa ’65 atau hanya sebagai kambing hitam yang dikorbankan, peristiwa itu sendiri mengindikasikan penghargaan terhadap manusia dan kemanusiaan yang masih rendah di negeri ini. Tentu ironis ketika setiap orang mengaku tahu apa yang kurang lebih terjadi pada tahun ’65 dan kurun waktu sesudahnya tapi ternyata tidak mengetahui substansi peristiwanya sendiri. Dengan kata lain, ketika sebuah peristiwa dipahami hanya dalam kerangka hitam putih atau salah benar, maka apa yang ada di balik peristiwa itu menjadi terlupakan. Sama halnya ketika peristiwa ’65 hanya dipahami sebagai sebuah kudeta dari PKI terhadap pemerintahan yang sah, maka tragedi kemanusiaan berupa terbunuhnya ratusan ribu orang menjadi terlupakan. Bahkan, atas nama menumpas PKI, pembunuhan menjadi seolah dilegalkan. Lalu, inikah yang disebut sebagai bangsa yang menjunjung tinggi kemanusiaan yang adil dan beradab?
Akan tetapi inilah yang terjadi. Sebagai sebuah sejarah, peristiwa ’65 hanya dipahami secara sempit sebagai penculikan dan pembunuhan para perwira tinggi, sehingga membenarkan apa yang terjadi kemudian, yakni menumpas PKI yang dianggap sebagai biang keladi atas semuanya. Fakta berupa pembunuhan massal yang dilakukan secara membabi buta menjadi terlupakan, bahkan seolah dimaklumi sebagai tumbal atas terbunuhnya para perwira tinggi. Tanpa bermaksud mereduksi kompleksitas konflik kala itu, kecenderungan orang untuk membenarkan penghilangan nyawa seseorang dengan dalih apapun menunjukkan tingkat keadaban yang rendah. Ketika seseorang tidak bisa menghargai hidup sesamanya, itu sama saja bahwa ia tidak menghargai dirinya sendiri. Lalu, bagaimana membangun sebuah bangsa masing-masing pribadi tidak menghargai saudara sebangsanya sendiri?
Membangun Keadaban
Ignasius Suparto Ibnu Ruslan, salah seorang mantan tapol Pulau Buru yang meninggal tahun 2005 kemarin menuliskan sebuah kalimat yang mengesankan di dinding kamarnya: ‘Jatuh delapan kali, bangun sembilan kali!’. Semangat itulah yang hendak diwariskannya bagi generasi muda. Pengalaman masa lalunya yang pahit ditelannya sendiri dengan harapan semoga pengorbanan anak-anak bangsa tidak terjadi lagi.
Sungguh mengharukan dan membanggakan. Di tengah arus besar mentalitas kerdil yang memaguti bangsa ini, masih tersisa jiwa besar yang bisa berdamai dengan getirnya realita. Sebagaimana petuah Nelson Mandela sebagai refleksi atas pengalamannya sendiri, ”Untuk berdamai dengan musuh, seseorang harus bisa bekerja sama dengan musuh dan musuh itu menjadi mitramu.” Tidak ada yang lebih penting untuk dilakukan bangsa ini selain pertama-tama melakukan rekonsiliasi atas segala pengalaman buruk masa lalu. Dibutuhkan kebesaran jiwa untuk memaafkan kepedihan masa lalu dan berjanji untuk tidak membuat konflik baru.
Benar apa yang ditulis Bapak Ignasius Suparto Ibnu Ruslan, jatuh delapan kali bangun sembilan kali. Sebagaimana manusia yang pernah jatuh, bangsa Indonesia mesti menyadari bahwa dirinya pernah jatuh dalam perjalanannya. Keberanian untuk bangkit lagi inilah yang membawa kesadaran baru bahwa dengan jatuh bangsa ini belajar untuk bangkit lagi sekaligus berusaha untuk tidak jatuh lagi.
Memaafkan tidak berarti melupakan, melainkan memberikan ruang bagi tumbuhnya kesadaran baru. Tragedi ’65 dan berbagai bentuk penghilangan nyawa demi kekuasaan patut dikenang sebagai masa kelam dalam sejarah bangsa Indonesia, sekaligus sebagai pembelajaran betapa kekerasan harus dijauhi dalam membangun bangsa. Memahami sejarah tragedi ’65 tidak bisa hanya dari sisi hitam-putih atau mencari benar-salah saja, tetapi melihat bahwa di balik tragedi itu terdapat ribuan orang yang menderita dan tersandera rasa dendam. Memahami sejarah tragedi ’65 juga mesti melihat betapa banyak keluarga yang terkoyak-koyak di berbagai tempat. Akhirnya dengan merenungkan tragedi ’65 setiap orang menjadi sadar bahwa batas antara manusia dengan binatang hanya dipisahkan oleh selembar kertas. Tak perlu takut menghadapi kenyataan bahwa bangsa ini pernah jatuh dan terluka dalam peristiwa ’65. Perihnya luka justru sebagai pengingat akan kemanusiaan karena hanya manusia yang bisa merasakan kesedihan. Semoga dengan semakin mengenal kemanusiaannya, bangsa kita juga semakin manusiawi.
(Arya Dwiangga)
Subscribe to:
Posts (Atom)