Tuesday, 8 January 2013

MENYIBAK KABUT KEKERASAN

"Kalau kau tidak tahu masa lalumu maka jangan harapkan kau akan mampu bermimpi tentang masa depanmu." (NN) Mimpi buruk ‘65 Perkenalanku dengan Gerakan 30 September dimulai dengan sebuah film pada dekade 90-an. Sekelompok tentara datang dengan truk memaksa untuk menjemput orang-orang yang mereka sebut sebagai jenderal. Sementara sang istri dan anak-anak menatap cemas melihat sang ayah berjalan menjauh dikawal tentara bersenapan. Tetapi tidak semuanya dibawa hidup-hidup. Beberapa orang dibunuh di rumah mereka dengan berondongan peluru di hadapan anak dan istrinya. Mayat mereka diseret dan dilemparkan ke truk dengan hanya menyisakan genangan darah. Dan lihatlah, seorang gadis menjerit-jerit memanggil ayahnya sementara truk itu telah pergi. Yang terjadi kemudian si gadis hanya bisa bersimpuh di hadapan genangan darah ayahnya lalu mencelupkan kedua tangannya ke dalam genangan darah tersebut dan mengoleskannya di helaian rambut serta raut mukanya. Semua perwira yang disebut jendral itu akhirnya mati. Mayat mereka dilemparkan ke dalam sumur diiringi pandangan penuh kebencian dari setiap laki-laki dan perempuan yang ada di situ. Bahkan, sebelum sebatang pisang ditanam, beberapa laki-laki berseragam menembakkan senapannya ke liang gelap tempat mayat dibuang. Tentu setiap potongan gambar dalam film itu terlihat mengerikan, apalagi buat anak sekecil diriku saat itu. Belakangan baru kutahu judul film yang selalu menghiasi layar kaca setiap tanggal 30 September malam, yaitu Pengkhianatan G-30S. Apa pun alasannya, film Pengkhianatan G-30S menjadi sumber awal pengetahuanku tentang peristiwa ‘65. Dalam ingatanku ini, Gerakan 30 September tak pernah berdiri sendiri, melainkan selalu terhubung dengan PKI. Itulah yang di kemudian hari kukenal sebagai G30S/PKI. Kekejaman berupa penculikan, penyiksaan, pembunuhan melekat padanya sebagai sebuah realitas yang tak terbantahkan. Ketika di bangku sekolah, ingatan itu semakin ditegaskan bahwa Gerakan 30 September tidak lain didalangi oleh PKI dan karenanya ideologi marxisme dan komunisme harus diwaspadai. Rupanya apa yang terjadi di Lubang Buaya belum berakhir. Sebaliknya, ia justru merupakan awal sebuah tragedi berdarah dengan serangkaian penangkapan, penculikan, pembunuhan, dan pembantaian yang mengatasnamakan ‘penumpasan PKI’. Terbunuhnya tujuh perwira tinggi dijadikan alasan pembenaran untuk menumpas jutaan anggota PKI dan mereka yang dituduh PKI. Tentu tidak berlebihan bila kejadian pada 30 September 1965 merupakan awal dari sebuah genosida yang ironisnya dilakukan oleh saudara-saudara sebangsanya sendiri. Malapetaka yang memakan korban hingga ratusan ribu jiwa hanya menyisakan sebuah trauma mendalam yang terus menghantui sejarah perjalanan bangsa ini. Mimpi buruk yang masih menghantui banyak orang hingga saat ini. Peristiwa ’65 tidak hanya meninggalkan jejak sebuah tragedi, tetapi juga menjadi penanda datangnya sebuah rejim bernama Orde Baru. Dalam rejim ini, segala interpretasi, makna, pemahaman, berikut persepsi masyarakat terhadap sejarah menjadi sangat bergantung pada kepentingan dan selera penguasa, termasuk pemahaman terhadap peristiwa 30 September 1965 sendiri. Meski sekarang kesahihannya dipertanyakan dan disangkal, pada masa rejim Orde Baru diperoleh pemahaman tunggal bahwa peristiwa Gerakan 30 September 1965 merupakan sebuah pemberontakan yang didalangi Partai Komunis Indonesia, sehingga akronim G30S/PKI nyaris diiyakan oleh setiap orang. Rejim ini menancapkan kekuasaannya dengan menciptakan sebuah hantu bernama komunisme yang sangat ditakuti. Tiada ampun bagi mereka yang dicap PKI atau antek PKI. Penculikan dan penahanan tanpa proses hukum yang jelas dilakukan dengan legitimasi demi menyelamatkan Pancasila dari rongrongan bahaya laten komunis. Pendekatan represif dengan menggunakan cara-cara militeristik seolah menjadi jalan satu-satunya bagi penguasa untuk menghadapi rakyat. Dari sini dimulailah budaya kekerasan yang digunakan penguasa demi melanggengkan kekuasaannya terekam dalam sejarah bangsa ini. Dengan luka peristiwa ’65 yang masih merah menganga, bangsa ini masuk ke dalam sebuah tirani kekerasan bernama Orde Baru. Legalisasi Kekerasan Sama seperti kebohongan, satu kekerasan selalu akan diikuti oleh kekerasan yang lain, apalagi ketika sebuah kekuasaan dicapai dengan kekerasan. Maka tidak mengherankan pada masa Orde baru kekerasan menjadi ujung tombak perpolitikan Soeharto sekaligus menjadi sarana yang sangat ampuh untuk mempertahankan kekuasaan. Dengan dalih demi ketertiban dan keamanan, hampir setiap hari, antara tahun 1983 hingga 1984, ditemukan mayat bertato dengan luka tembak entah di sawah, pasar, atau jalan raya. Mayat-mayat itu ketika masih hidup dianggap sebagai penjahat, gali, atau bromocorah. Tanpa pernah diungkap siapa pelaku pembunuhan yang korbannya mencapai ribuan, Soeharto dalam autobiografinya, Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1989), Soeharto menguraikan argumen bahwa kekerasan harus dihadapi dengan kekerasan dengan istilahnya, treatment. Berbagai pembunuhan dengan meninggalkan mayatnya begitu saja di jalanan baginya hanyalah sebuah shock therapy dengan maksud supaya bisa menumpas semua kejahatan yang sudah melampaui batas perikemanusiaan. Tentu alasan ini membuat dahi berkerut. Bagaimana mungkin kejahatan yang dianggap melampaui batas perikemanusiaan dipadamkan dengan pembunuhan yang juga melampaui batas perikemanusiaan yang dibenarkan oleh seorang penguasa. Meski kejahatan tidak bisa ditolerir, apakah penghilangan nyawa seseorang dengan dalih keamanan dan ketertiban juga bisa ditolerir? Tidak. Menghilangkan nyawa seseorang dengan dalih apapun tetap sebuah pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang paling dasar, yakni hak untuk hidup. Ketika kekerasan mendapat tempat dalam jalannya proses bernegara, maka pondasi hukum yang sebenarnya berlaku adalah hukum rimba. Kekerasan itu sendiri sekaligus menunjukkan ketidakmampuan pemerintah mengelola keragaman amanat rakyat dan karenanya perbedaan dianggap tabu. Maka, keamanan dan ketertiban yang dihasilkan hanya bersifat semu karena menutup keadaan yang sebenarnya, yakni ketakutan. Tidak Tahu Substansi Meski sudah 45 tahun sejak peristiwa 30 September 1965 berlalu, bayang-bayang kengeriannya masih terasa hingga sekarang. Bagi mereka yang pernah tersangkut di dalamnya, peristiwa ‘65 masih meninggalkan luka, sementara bagi mereka yang tidak tersangkut secara langsung peristiwa itu menimbulkan phobia akan terulangnya kejadian seperti itu. Yang menjadi pertanyaan, apakah masyarakat bangsa ini sadar betul bahwa peristiwa ’65 merupakan sebuah tragedi kemanusiaan yang sungguh berat? Meski masih buram apakah benar PKI dalang dari peristiwa ’65 atau hanya sebagai kambing hitam yang dikorbankan, peristiwa itu sendiri mengindikasikan penghargaan terhadap manusia dan kemanusiaan yang masih rendah di negeri ini. Tentu ironis ketika setiap orang mengaku tahu apa yang kurang lebih terjadi pada tahun ’65 dan kurun waktu sesudahnya tapi ternyata tidak mengetahui substansi peristiwanya sendiri. Dengan kata lain, ketika sebuah peristiwa dipahami hanya dalam kerangka hitam putih atau salah benar, maka apa yang ada di balik peristiwa itu menjadi terlupakan. Sama halnya ketika peristiwa ’65 hanya dipahami sebagai sebuah kudeta dari PKI terhadap pemerintahan yang sah, maka tragedi kemanusiaan berupa terbunuhnya ratusan ribu orang menjadi terlupakan. Bahkan, atas nama menumpas PKI, pembunuhan menjadi seolah dilegalkan. Lalu, inikah yang disebut sebagai bangsa yang menjunjung tinggi kemanusiaan yang adil dan beradab? Akan tetapi inilah yang terjadi. Sebagai sebuah sejarah, peristiwa ’65 hanya dipahami secara sempit sebagai penculikan dan pembunuhan para perwira tinggi, sehingga membenarkan apa yang terjadi kemudian, yakni menumpas PKI yang dianggap sebagai biang keladi atas semuanya. Fakta berupa pembunuhan massal yang dilakukan secara membabi buta menjadi terlupakan, bahkan seolah dimaklumi sebagai tumbal atas terbunuhnya para perwira tinggi. Tanpa bermaksud mereduksi kompleksitas konflik kala itu, kecenderungan orang untuk membenarkan penghilangan nyawa seseorang dengan dalih apapun menunjukkan tingkat keadaban yang rendah. Ketika seseorang tidak bisa menghargai hidup sesamanya, itu sama saja bahwa ia tidak menghargai dirinya sendiri. Lalu, bagaimana membangun sebuah bangsa masing-masing pribadi tidak menghargai saudara sebangsanya sendiri? Membangun Keadaban Ignasius Suparto Ibnu Ruslan, salah seorang mantan tapol Pulau Buru yang meninggal tahun 2005 kemarin menuliskan sebuah kalimat yang mengesankan di dinding kamarnya: ‘Jatuh delapan kali, bangun sembilan kali!’. Semangat itulah yang hendak diwariskannya bagi generasi muda. Pengalaman masa lalunya yang pahit ditelannya sendiri dengan harapan semoga pengorbanan anak-anak bangsa tidak terjadi lagi. Sungguh mengharukan dan membanggakan. Di tengah arus besar mentalitas kerdil yang memaguti bangsa ini, masih tersisa jiwa besar yang bisa berdamai dengan getirnya realita. Sebagaimana petuah Nelson Mandela sebagai refleksi atas pengalamannya sendiri, ”Untuk berdamai dengan musuh, seseorang harus bisa bekerja sama dengan musuh dan musuh itu menjadi mitramu.” Tidak ada yang lebih penting untuk dilakukan bangsa ini selain pertama-tama melakukan rekonsiliasi atas segala pengalaman buruk masa lalu. Dibutuhkan kebesaran jiwa untuk memaafkan kepedihan masa lalu dan berjanji untuk tidak membuat konflik baru. Benar apa yang ditulis Bapak Ignasius Suparto Ibnu Ruslan, jatuh delapan kali bangun sembilan kali. Sebagaimana manusia yang pernah jatuh, bangsa Indonesia mesti menyadari bahwa dirinya pernah jatuh dalam perjalanannya. Keberanian untuk bangkit lagi inilah yang membawa kesadaran baru bahwa dengan jatuh bangsa ini belajar untuk bangkit lagi sekaligus berusaha untuk tidak jatuh lagi. Memaafkan tidak berarti melupakan, melainkan memberikan ruang bagi tumbuhnya kesadaran baru. Tragedi ’65 dan berbagai bentuk penghilangan nyawa demi kekuasaan patut dikenang sebagai masa kelam dalam sejarah bangsa Indonesia, sekaligus sebagai pembelajaran betapa kekerasan harus dijauhi dalam membangun bangsa. Memahami sejarah tragedi ’65 tidak bisa hanya dari sisi hitam-putih atau mencari benar-salah saja, tetapi melihat bahwa di balik tragedi itu terdapat ribuan orang yang menderita dan tersandera rasa dendam. Memahami sejarah tragedi ’65 juga mesti melihat betapa banyak keluarga yang terkoyak-koyak di berbagai tempat. Akhirnya dengan merenungkan tragedi ’65 setiap orang menjadi sadar bahwa batas antara manusia dengan binatang hanya dipisahkan oleh selembar kertas. Tak perlu takut menghadapi kenyataan bahwa bangsa ini pernah jatuh dan terluka dalam peristiwa ’65. Perihnya luka justru sebagai pengingat akan kemanusiaan karena hanya manusia yang bisa merasakan kesedihan. Semoga dengan semakin mengenal kemanusiaannya, bangsa kita juga semakin manusiawi. (Arya Dwiangga)