Sunday, 2 September 2012

ANTARA HAK DAN KEWAJIBAN Sebuah Refleksi Kemerdekaan

Baru-baru ini di media massa muncul polemik seputar pemberian gelar pahlawan nasional bagi Bung Karno dan Bung Hatta. Menurut beberapa pihak, gelar pahlawan proklamator tidak dikenal dalam aturan pemberian gelar pahlawan nasional. Ironisnya selama 5 kali pergantian presiden tak seorang pun yang menaruh perhatian pada hal ini. Tentu menjadi pertanyaan, benarkah kedua orang yang tidak diragukan jasanya bagi bangsa Indonesia ini tidak berhak menyandang gelar pahlawan nasional? Gagasan tentang hak dan kewajiban tidak muncul begitu saja. Sejarah menunjukkan bahwa ide tentang hak dan kewajiban senantiasa berkembang dalam setiap fase perjalanan manusia. Artinya, ide tentang hak dan kewajiban berjalan beriringan dengan perkembangan kesadaran manusia dalam mengidentifikasi dirinya berhadapan dengan alam, masyarakat, negara, termasuk dengan Yang Maha Kuasa. Bila dicermati, manusia sekarang sangat mudah menuntut apa yang menjadi hak-haknya. Entah hak sebagai karyawan, hak sebagai individu, atau hak sebagai warga negara. Sebaliknya, bila saya tanya, pernahkah Anda menyaksikan ada demonstrasi yang menuntut diberi kewajiban? Tentu tidak pernah. Yang banyak kita saksikan adalah demonstrasi di mana orang menuntut hak-haknya dipenuhi karena alam demokrasi memang menyediakan ruang yang sangat luas bagi individu untuk menyuarakan dan menuntut itu semua. Sementara itu arus individualisme tanpa terasa semakin kentara menjadi paradigma yang berlaku di mana-mana dalam tiap relasi sosial. Kata ‘aku’ semakin kuat menggerus kata ‘kita’. “Berikan kepada kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar, dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah”. Kutipan Injil Matius 22 ayat 21 ini sering dipakai sebagai rujukan dalam memandang hubungan kita, warga negara, dengan ‘Kaisar’ (baca:negara). Banyak pendapat orang dikumandangkan berpijak dari kutipan itu. Akan tetapi bila kita perhatikan lebih lanjut, pada ayat tersebut Yesus hanya menyebut soal kewajiban. Sekali lagi, hanya soal kewajiban. Sama sekali bukan soal hak. Mengapa kewajiban? Selama ini kita terbiasa dengan gagasan bahwa antara kewajiban dan hak itu mesti berimbang. Seolah ada ikatan perkawinan antara kewajiban dengan hak, di mana bila salah satu tidak ada maka layak dan pantaslah dipertanyakan ke mana perginya sang pasangan. Tanpa disadari, berbagai arus di masa sekarang juga semakin membuat konstruksi pemikiran bahwa yang mesti didahulukan adalah hak, bukan kewajiban. Arus individualisme sendiri dengan pasti dan lantang menempatkan hak di atas kewajiban. Sementara itu perkataan Yesus dalam kutipan di atas pertama-tama menunjuk dengan tegas bagi tiap manusia untuk melaksanakan kewajiban. Kewajiban ditempatkan sebagai sebuah pemberian cuma-cuma. Maka jelas bahwa dalam setiap relasi apapun hendaknya manusia tidak mengharapkan pamrih atau imbalan. Artinya, apa yang memang menjadi kewajiban masing-masing orang, entah sebagai pendidik, entah sebagai kepala keluarga, entah sebagai anak, hendaknya dilakukan begitu saja tanpa mengharapkan, bahkan memikirkan balasan. Dengan kata lain, kewajiban dalam pengertian ini tidak berhenti pada tugas semata, melainkan pemberian diri sebagai seorang pribadi. Dengan demikian mekanisme yang terjalin bukanlah soal untung-rugi, melainkan pelayanan. Untung rugi hanya ada dalam dunia perdagangan, sementara pelayanan tidak mengenalnya. Kewajiban dan hak sendiri tidak berdiri sejajar dan tidak bisa disamaratakan dengan soal memberi dan menerima karena ketika kewajiban dilakukan dengan dasar pelayanan, maka dengan sendirinya hak itu akan terpenuhi. Mudahnya, bila masing-masing orang melakukan apa yang seharusnya dilakukan baik sebagai pribadi maupun profesional, niscaya hak masing-masing individu juga akan terpenuhi. Maka ketika tuntutan hak individu keras menggema di sekitar kita, patut kita bertanya, sudahkah diriku sebagai pribadi melakukan kewajibanku tanpa pertama-tama menuntut pamrih? Pekik ‘merdeka’ dalam setiap perayaan 17 Agustus pun mesti dimaknai dalam kerangka ini. Ketika seseorang masih dibayang-bayangi oleh keinginan untuk mendapatkan pamrih atas apa yang telah dilakukannya, maka dengan sendirinya ia belum dalam keadaan merdeka. Ia masih disetir oleh keinginan-keinginan pribadinya sendiri. Maka selama masih berkutat pada soal keinginan diri, takkan terjadi pelayanan. Apa yang ia dapat dan ia sebut sebagai hak tak lebih dari sekadar balasan atas apa yang sudah dilakukan. Roh kewajiban berupa nilai-nilai luhur yang menyertai sebuah tindakan menguap ketika balas jasa menjadi harapan. Gelar pahlawan adalah sebentuk penghargaan atas jasa yang dilakukan seseorang bagi bangsa dan negara. Di sini bukan tempat untuk mencari definisi apa itu pahlawan, pun bukan pula tempat menilai siapa yang pantas disebut sebagai pahlawan. Yang mestinya kita lakukan adalah bersyukur karena di sekitar kita banyak pribadi yang layak kita tempatkan sebagai pahlawan atas pelayanan mereka yang tanpa pamrih. Lepas dari soal Bung Karno dan Bung Hatta yang belum dianugerahi gelar pahlawan nasional, patutlah kita mengingat bahwa mereka layak disebut pahlawan karena ketulusan mereka dalam melaksanakan kewajiban. Merdeka! (arya dwiangga)