Wednesday, 22 October 2008

MENGGAGAS NASIONALISME INDONESIA, Berangkat Dari Proyek Bersama




“Di samping segala-galanya,
perjuangan untuk kemerdekaanlah yang harus menjadi pokok pekerjaan semua orang
Indonesia di jaman-jaman kesukaran seperti sekarang ini.”
(Ismail Marzuki, dalam
“Minggu Merdeka”, 1/6/1958)

Nasionalisme
Bagi Benedict Anderson, nasionalisme bukanlah sesuatu yang diwariskan oleh nenek moyang. Maka, nasionalisme bukanlah sesuatu yang sudah tua umurnya. Anggapan yang keliru seperti ini membuat nasionalisme terkesan sudah ada sejak lahir dan muncul secara alamiah dalam darah dan daging.
Nasionalisme merupakan sesuatu yang dibentuk (constructed). B.Anderson melihat nasionalisme sebagai sesuatu yang merupakan “proyek bersama” pada masa kini dan masa mendatang yang menuntut adanya pengorbanan diri, bukan pengorbanan orang lain. Nasionalisme tumbuh ketika, dalam sebuah wilayah tertentu, penduduknya mulai merasa bahwa mereka memiliki tujuan yang sama; mempunyai masa depan yang sama. Mereka juga merasa terikat dengan sebuah persahabatan yang setara dan dalam yang tumbuh secara tiba-tiba dan cepat sebagai pembaruannya. Dengan kata lain, mereka terikat dengan visi dan harapan yang sama dengan orientasi pada masa depan dan berbasis pada kaum muda.
Rupanya Soekarno sendiri sudah menyadari hal ini. Dalam pidato tanggal 1 Juni 1945 beliau menempatkan “nasionalisme” di urutan nomor satu dari deretan lima nilai Pancasila. Soekarno tahu bahwa hanya dengan kesadaran bahwa “kita ini satu bangsa, bangsa Indonesia”, maka masyarakat yang sedemikian beraneka ragam – yang hidup di kepulauan Nusantara antara Asian dan Australia/Oseania, bisa menjadi satu Indonesia. Nasionalisme bagi Bung Karno adalah cinta sepenuh hati kepada Indonesia, rasa bangga bahwa “kita orang Indonesia”, adalah suatu rasa persatuan di antara orang-orang yang sedemikian berbeda, yang terbangun dalam sebuah sejarah penderitaan karena penjajahan dan perjuangan pembebasan bersama selama ratusan tahun. Dengan istilah sekarang, nasionalisme yang digerakkan oleh para pemimpin waktu itu menghindari setiap kemungkinan identity politics (politik identitas). Seluruh rakyat dikerahkan dan diajak untuk bersatu padu dan seakan harus “melupakan” buat sementara waktu asal-usulnya, suku bangsanya, dan kelompok budayanya.
Memang ada berbagai gerakan pemuda yang terhimpun dalam Jong Java, Jong Soematra, Jong Celebes, atau Jong Ambon, tetapi jelas itu bukanlah perhimpunan etnis untuk gerakan kebudayaan, melainkan komponen dari suatu gerakan besar di kalangan pemuda di seantero negeri. Di kalangan pendidikan Ki Hadjar Dewantara mendirikan Taman Siswa, tetapi itu bukanlah pendidikan berasaskan kebudayaan Jawa, melainkan berdasarkan kepercayaan diri seorang nasionalis yang enggan bahwa pendidikan dijadikan alat kolonial. Di Sumatera, MS Latif mendirikan INS Kayutanan sebagai alternatif terhadap pendidikan kolonial, tetapi asasnya bukanlah kebudayaan Melayu, tetapi kemandirian orang merdeka.
Bagi Hatta, yang berangkat dari keprihatinannya terhadap masalah kemelaratan yang dihadapi bangsa ini, visinya didasarkan pada 2 kata kunci, yaitu kerakyatan dan kebangsaan. Kerakyatan adalah kedaulatan yang berada di tangan rakyat di mana perasaan keadilan dan kebenaran yang hidup di hati rakyat adalah sumber utama. Sedang kebangsaan adalah hidup-matinya keindonesiaan yang ditentukan oleh rakyat. Hatta menolak kebangsaan ningrat dan otokratis dan feodal. Ia juga menolak kebangsaan intelektualistis, karena dalam kebangsaan macam ini rakyat dijadikan obyek, yakni alat kaum intelek yang merasa lebih mampu memimpin bangsa. Oleh karena itulah Hatta dengan demokrasi kerakyatannya sampai ke praksis sistem ekonomi koperasi.

Tantangan nasionalisme
Jika nasionalisme merupakan sebuah proyek bersama untuk masa sekarang dan masa mendatang, maka pemenuhannya tidak akan pernah selesai. Nasionalisme harus senantiasa diperjuangkan dalam setiap generasi karena tidak serta-merta seseorang yang lahir di Indonesa langsung memiliki kesadaran sebagai orang Indonesia. Dia harus memperjuangkan keindonesiaannya dengan resiko bahwa hal itu bisa gagal layaknya suatu pertaruhan. Pertaruhan antara ambisi-ambisi pribadi dengan kesetiaan terhadap gagasan proyek bersama. Pertaruhan ini bisa dimenangkan jika orang-orang Indonesia berjiwa besar dan berpikiran luas untuk menerima keanekaragaman dan kompleksitas bangsa Indonesia.
Banyak orang Indonesia yang memiliki pandangan keliru bahwa Indonesia adalah “warisan”, bukan sebagai sebuah proyek bersama. Karena Indonesia adalah warisan, berarti mereka yang hidup sesudahnya adalah pewaris yang memiliki hak terhadap warisan itu. Lalu timbulah perselisihan untuk memperebutkan warisan tersebut. Orang pun juga berpikir bahwa Indonesia sebagai suatu warisan berarti juga harus dipertahankan dengan segala cara. Inilah yang terjadi di Aceh dan Irian, di mana secara pemerintah pusat menekan rakyat setempat secara represif-militeristik karena dianggap pemberontak.
Masih segar di ingatan kita keberanian mahasiswa untuk menduduki kubah Gedung DPR yang akhirnya menandai berakhirnya sebuah rezim, yang selama 30 tahun menjaga kekuasaannya dengan penciptaan simulakrum berupa cerita hantu bernama komunis yang setiap saat bisa membuat orang ketakutan seperti sedang kerasukan. Memang demikianlah yang terjadi. Ada kontestasi simulakrum – suatu proses pembentukan kesadaran yang dihasilkan oleh strategi narasi dan pencitraan sekaligus suatu indoktrinasi ideologi, seperti halnya penataran P4. Tak bisa dipungkiri pula bahwa dalam konteks sekarang ini, niscaya kita akan sampai pada problematik nasionalisme di jaman konsumsi. Kita juga harus melihat bagaimana generasi sekarang memaknai nasionalisme sebagai suatu proyek bersama dan pembentukan formasi politik yang kemudian membawa perasaan sebagai satu bangsa.
Globalisasi menyentuh setiap orang tanpa terkecuali karena dampaknya pada kehidupan ekonomis, karena menghadapkan setiap individu pada nilai-nilai, wawasan-wawasan dan kesadaran akan alternatif-alternatif kehidupan bermakna yang pasti mengguncangkan semua lapisan. Hubungan antara pria dan wanita, individualisme, konsumsi sebagai makna hidup, kemungkinan hidup tanpa tatanan eksternal keagamaan dan adat, janji kebahagiaan dan status dalam pesona kenikmatan konsumsi yang ditawarkan, yang kesemuanya itu bisa menimbulkan krisis identitas. Krisis identitas dalam arti bahwa kepastian-kepastian tradisional yang kepadanya orang membangun dirinya sendiri menjadi tidak lagi pasti, bahkan barangkali terasa kontraproduktif. Lalu, hidup macam apa yang betul-betul bermakna sesudah hidup tradisional yang maknanya taken for granted ternyata tidak dapat lagi dipertahankan?
Krisis identitas itu juga berarti bahwa baik ikatan kebangsaan (“sama-sama orang Indonesia”) maupun ikatan umat beragama seakan-akan sulit ditempatkan. Mau tak mau individu tidak lagi dapat begitu saja mengandalkan unsur-unsur sosial tradisional yang menjadi dukungan dan acuan identitas pribadinya. Di satu sisi, orang bisa begitu saja larut dalam budaya konsumsi yang ditawarkan oleh budaya konsumsi yang ditawarkan oleh globalisasi dengan sepenuhnya terserap oleh apa yang ditawarkan lewat iklan sebagai “hidup bergaya” atau “hidup gengsi”. Disisi lain, orang bisa menjadi begitu tertutup dan menolak secara total sebagai reaksi atas globalisasi. Hal itu jelas terlihat sosoknya dalam fundamentalisme agama di samping fundamentalisme adat dan kesukuan. Orang menolak alam modern dengan nilai-nilainya secara total dan membangun sebuah dunia yang tertutup di sekelilingnya atas dasar ajaran agamanya.
Sebagaimana Bung Hatta yang prihatin atas kondisi kemelaratan bangsa ini, demikian juga kita tidak bisa menutup mata terhadap kemiskinan yang terjadi pada saudara-saudara kita. Kesejahteraan sebagai wujud nyata bahwa kedaulatan untuk memanfaatkan apa yang terkandung dalam bumi Indonesia sebesar-besarnya bagi rakyat ternyata masih jauh dari harapan. Bahkan saudara tega menindas saudara sebangsa demi kepentingannya sendiri. Hak asasi bahwa setiap manusia berhak atas taraf hidup yang menjamin kesehatan dan kesejahteraan untuk dirinya dan keluarganya, termasuk pangan, pakaian, perumahan dan seterusnya, belum terpenuhi seluruhnya kalau tidak mau mengatakan tidak terpenuhi sama sekali. Penggusuran masih terjadi di mana-mana. Fakir miskin dan anak-anak terlantar yang seharusnya dipelihara oleh negara malah terusir dan tercabut dari akar budayanya karena tak ada yang membela. Lalu inikah wujud proyek bersama yang telah berjalan setelah sekian lama dan yang telah dimulai founding fathers kita?

Tatapan nasionalisme keIndonesiaan sekarang dan ke depan
Tahun 2008 ini bangsa Indonesia memperingati 80 tahun Sumpah Pemuda. Peristiwa di mana beberapa pemuda, wakil organisasi Jong Java, Jong Soematra, Jong Celebes, dan lain-lain mengikrarkan diri pada satu tanah, satu bangsa, satu bahasa Indonesia, oleh sejarawan Onghokham disebut sebagai Hari Kelahiran Bangsa Indonesia. Enambelas tahun kemudian Sumpah Pemuda mengalami ujian berat. Sebagian dari BPUPKI yang oleh Jepang ditugaskan mempersiapkan kemerdekaan Indonesia mau mendasarkan negara pada kebangsaan, sedang sebagian yang lain pada agama Islam. Untuk mengatasi konflik ini, Soekarno mencetuskan Pancasila – di mana “nasionalisme” ada di urutan nomor satu – pada 1 Juni 1945 yang disambut hangat oleh semua pihak sesudah usaha bersama yang berat. Pancasila mendapat bentuk definitif pada tanggal 18 Agustus 1945 dalam Pembukaan UUD 1945. dan disinilah Pancasila menjadi bukti kemenangan Sumpah Pemuda terhadap egoisme golongan.
Apabila bangsa yang sedemikian beraneka etnik, ras, budaya dan agama seperti bangsa Indonesia, yang tersebar atas ribuan pulau, mau tetap bersatu, maka negara yang mengungkapkan kesatuan bangsa itu haus memenuhi tiga syarat: tatanannya harus inklusif, demokratis, dan berusaha mewujudkan solidaritas dengan anggota-anggotanya yang paling lemah. Inklusif, karena hanya kalau komponen bangsa itu merasa memiliki negara sebagai rumah bersama, mereka mau dan akan bersama. Demokratis, karena hanya kalau semua komponen bangsa dapat mengungkapkan harapan dan kritikan mereka, konflik-konflik yang selalu terjadi di antara mereka dapat diselesaikan secara wajar dan damai. Lalu solider, karena hanya apabila beban-beban dan keuntungan-keuntungan hasil kerja kolektif seluruh bangsa dibagi adil, dan bila tidak ada kelompok yang merasa dikorbankan, orang bersedia memberikan pengorbanan yang mutlak diperlukan oleh bangsa dan negara untuk bisa hidup dan berkembang terus.
Banyaknya organisasi-organisasi, institusi-institusi yang memperjuangkan hak-hak manusia sekarang ini merupakan suatu fenomena yang wajar. Bahkan memang sudah seharusnya demikian. Tetapi, dalam konteks keIndonesiaan dan tantangan yang telah menanti, yang lebih mendesak ialah bagaimana mengajak setiap individu untuk memperjuangkan hak-hak manusia Indonesia serta untuk berpartisipasi secara sukarela, bersemangat, bersama, dalam proyek bersama ini tanpa adanya ketakutan. “Hak-hak asasi manusia Indonesia” hanya bisa diperjuangkan dan direalisasikan oleh orang-orang Indonesia sendiri. Dan suatu kebangkitan yang nyata dari proyek bersama ini telah diprakarsai hampir seratus tahun yang lalu oleh tokoh-tokoh macam Dr. Soetomo, Natsir, Sjahrir, dsb.

Penutup
Nasionalisme Indonesia belumlah usai. Dalam arti ini, nasionalisme masih harus diperjuangkan terus-menerus dan akan selalu dalam proses menjadi. Semangat ini masih harus digali dengan berbagai macam upaya dan cara. Sebagaimana kemerdekaan yang terus mencari makna bagi dirinya, keIndonesiaan juga harus diperjuangkan menghadapi berbagai macam arus yang datang dari berbagai sudut. Karena merupakan usaha bersama, menjadi Indonesia hendaknya diupayakan agar menjadi milik dari masing-masing pribadi yang mengaku bertumpah darah Indonesia. Mestinya masih ada rasa kebangsaan sebagai modal nasionalisme yang dapat diandalkan dalam usaha semua rakyat Indonesia untuk menjaga api ini.

N. Arya Dwiangga Martiar


Sumber Bacaan
Anderson, Benedict, Indonesian Nationalism Today and In The Future, Indonesia Magazine, no. 67, April 1999.
Kleden, Ignas, Kebudayaan dan Kebangsaan, KOMPAS, edisi 8 September 2008.
Leksono, Ninok, Musik Pun Menggugah Kebangsaan, KOMPAS, edisi 15 September 2008.
Magnis-Suseno, Berebut Jiwa Bangsa, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006.
Redana, Bre, Nasionalisme di Zaman Konsumsi, KOMPAS, edisi 22 September 2008.
Sutrisno, Mudji, dkk, Sejarah Filsafat Nusantara Alam Pikiran Indonesia, Yogyakarta: Galang Press, 2005.