Friday, 16 August 2013

MERDEKA KARENA SENJATA SEMATA?

Malam ini malam kemerdekaan Indonesia, 16 Agustus 2013. Ini malam kemerdekaan negeri tercinta yang ke-68. Aku yakin di berbagai tempat diadakan malam tirakatan, sebagaimana yang dilakukan orangtuaku yang hingga saat ini masih berada di luar sana bersama para tetangga. Tadi sore aku sempat ditawari untuk ikut malam tirakatan bersama mereka. Sempat kupertimbangkan untu ikut, tetapi kemudian aku mengatakan tidak. Rupanya aku lebih ingin tirakatan sendiri bergulat bersama pikiranku yang tadi sempat melayang mencari jawab atas pertanyaan yang muncul setelah menonton sebuah tayangan di televisi. Sebuah stasiun televisi dalam memperingati kemerdekaan RI mengajak penontonnya untuk mengunjungi salah satu tempat bersejarah dan melihat dari dekat koleksi berharga di dalamnya. Pada sesi akhir, sang pembawa acara mewawancari beberapa orang veteran yang ada di situ. Di akhir wawancara, sang pembawa acara menggarisbawahi 'pesan' dari sang veteran agar lebih memperhatikan kesejahteraan para veteran. Aku tertegun menonton tayangan itu. Bukan terpesona melihat sang pembawa acara yang nampak begitu bersemangat mengajukan pertanyaan yang sebenarnya memperlihatkan tidak ada persiapan, bukan pula terpana tidak mengerti ketika harapan menyaksikan wawancara yang berbobot dengan sang pelaku sejarah sirna ketika wawancara hanya diakhiri dengan pesan: supaya pemerintah lebih memperhatikan kesejahteraan para veteran, melainkan muncul rasa heran mengapa dari tahun ke tahun peringatan kemerdekaan senantiasa didekati dengan konsep perjuangan dalam bentuk perlawanan mengangkat senjata. Kalau diringkas, kata kunci ulasan kemerdekaan yang disajikan beberapa stasiun televisi adalah: penjajah, pertempuran, dan veteran. Menjemukan buatku. Tidak bisakah melihat perjuangan kemerdekaan dari sudut pandang yang lain? Tidak bisakah melihat bahwa perjuangan kemerdekaan tidak hanya diwujudkan dengan angkat senjata saja? Bukankah perlawanan tidak harus diwujudkan dengan mengangkat senjata. Angkat topi tanda hormat selalu kuberikan kepada para pahlawan termasuk mereka yang sekarang disebut sebagai veteran. Keberanian untuk mengangkat senjata merupakan sebuah keutamaan, terlebih kerelaan hatinya memberikan diri demi cita-cita di masa depan yang masih belum jelas kapan akan terjadi. Meski demikian penghormatan dan penghargaan mestinya tidak hanya berhenti bagi mereka yang mengangkat senjata saja. Penghormatan dan sebutan pahlawan juga mesti ditujukan bagi mereka, para petani, para pedagang, para buruh, mereka orang kecil yang berdiam di pelosok-pelosok desa yang dengan caranya sendiri tetap setia bertahan dan berjuang serta mencita-citakan kemerdekaan. Siapa yang menyediakan logistik bagi para pejuang di medan tempur? Rakyat. Ya, mereka berjuang dengan caranya sendiri, tanpa senjata. Bahkan karena tanpa senjata rakyat kerap dijadikan pelampiasan sementara para pejuang bersenjata memilih lari bersembunyi demi menjalankan apa yang disebut taktik gerilya. Rasa-rasanya kemerdekaan itu ada bukan ketika pejuang yang mengangkat senjata memenangkan sebuah pertempuran, melainkan ketika rakyat jelata bisa hidup dengan aman dan damai. Maka saya membayangkan nanti, entah kapan, ada stasiun televisi yang tidak hanya mewawancarai seorang veteran melainkan juga rakyat dari beragam profesi yang masih sempat mengalami masa perjuangan menuju kemerdekaan. Sudah saatnya pendekatan terhadap arti kemerdekaan tidak hanya diletakkan sempit dengan semata menyamakan berjuang dengan mengankat senjata karena faktanya kemerdekana diperjuangkan dengan banyak cara termasuk oleh mereka yang tak kenal dengan pistol dan peluru.